Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

- in Narasi
19
0
Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat (kesejahteraan umat) dalam menghadapi konflik. Ketika Rasulullah SAW dan para sahabat berupaya memasuki Makkah untuk umrah, mereka dihadapkan pada penolakan dari kaum Quraisy.

Meskipun kondisi perjanjian tampak kurang menguntungkan bagi umat Islam pada awalnya, Rasulullah SAW dengan kebijaksanaan yang luar biasa menerimanya. Keputusan ini didasari oleh visi jangka panjang bahwa perdamaian akan membuka jalan bagi kebaikan yang lebih besar dan penyebaran Islam secara damai. Tindakan ini menjadi teladan bagaimana menahan diri dari konfrontasi langsung dan memilih solusi damai dapat membawa manfaat yang lebih luas bagi umat manusia.

Kisah Perjanjian Hudaibiyah memiliki relevansi yang kuat dalam menanggapi fatwa seruan jihad ke Palestina yang dikeluarkan oleh International Union of Muslim Scholars (IUMS). Seruan ini mengajak umat Islam untuk mengambil tindakan melawan pendudukan Israel melalui berbagai cara. Namun, dalam menyikapi fatwa ini, umat Islam perlu bertindak dengan bijaksana dan mempertimbangkan prinsip maslahat umat sebagai panduan utama.

Dalam kerangka hukum Islam, maslahat umat adalah prinsip fundamental. Tujuan utama syariat adalah mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kemudaratan (jalb al-masalih wa dar’u al-mafasid). Oleh karena itu, interpretasi terhadap konsep jihad dalam konteks fatwa IUMS harus diukur berdasarkan dampaknya terhadap kesejahteraan umat secara keseluruhan.

Menimbang fatwa IUMS dari perspektif maslahat umat, penting untuk mempertimbangkan potensi mudharat (kerugian dan bahaya) yang mungkin timbul. Keterlibatan dalam konflik bersenjata dapat memicu eskalasi yang lebih luas, menyebabkan kehancuran dan penderitaan yang lebih mendalam bagi rakyat Palestina yang telah lama menjadi korban. Prinsip la dharara wa la dhirara (tidak membahayakan diri sendiri maupun orang lain) menjadi landasan penting dalam pertimbangan ini.

Mengedepankan maslahat umat dalam konteks Palestina dapat diwujudkan melalui berbagai cara yang lebih konstruktif dan damai. Upaya diplomasi yang intensif di tingkat internasional dapat memberikan tekanan politik yang signifikan kepada Israel untuk menghentikan agresi dan menghormati hak-hak rakyat Palestina.

Bantuan kemanusiaan yang berkelanjutan dan terarah sangat dibutuhkan untuk meringankan beban penderitaan rakyat Palestina. Dukungan ekonomi bagi kemandirian Palestina juga merupakan langkah penting. Selain itu, meningkatkan kesadaran dunia tentang isu Palestina melalui edukasi dan media dapat membangun pemahaman yang benar dan mendorong dukungan yang lebih luas. Aksi-aksi damai dan gerakan solidaritas masyarakat sipil juga merupakan wujud dukungan yang kuat bagi perjuangan Palestina.

Indonesia, sebagai negara dengan komitmen terhadap perdamaian dunia dan kemanusiaan, memiliki peran penting dalam mendukung Palestina melalui cara-cara yang mengedepankan maslahat umat. Melalui diplomasi aktif, pemberian bantuan kemanusiaan, dan dukungan politik di forum internasional, Indonesia dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi perjuangan Palestina tanpa harus terlibat dalam konflik yang lebih luas.

Dalam menyikapi seruan jihad Palestina, umat Islam perlu menginterpretasikannya dengan mengedepankan maslahat umat, sebagaimana dicontohkan dalam hikmah Perjanjian Hudaibiyah. Mengutamakan kemaslahatan yang lebih besar dan menghindari potensi kemudaratan yang lebih luas adalah kunci dalam memberikan dukungan yang efektif dan berkelanjutan bagi perjuangan Palestina, tanpa menimbulkan dampak negatif yang lebih besar bagi diri sendiri, negara, maupun dunia secara keseluruhan.

Dengan pendekatan yang bijaksana dan mengedepankan maslahat umat, kita dapat berkontribusi secara lebih konstruktif dalam mewujudkan perdamaian yang adil dan abadi di tanah Palestina. Kita harus tahu kapan momen yang tepat untuk terjun ke militer atau tidak. Jangan menjadi orang yang nekat karena sikap tersebut adalah akhlak yang buruk, namun juga jangan menjadi pengecut, karena itu juga akhlak yang buruk. Berani bukan berarti nekat.

Facebook Comments