Belajar dari Suku Bajo: Menjadikan Toleransi sebagai “idealisme Hidup”

Belajar dari Suku Bajo: Menjadikan Toleransi sebagai “idealisme Hidup”

- in Narasi
626
0
Belajar dari Suku Bajo: Menjadikan Toleransi sebagai “idealisme Hidup”

Pada hakikatnya, segala ideologi trans-nasional akan tumbang dan rapuh ketika berhadapan dengan sikap dan kesadaran masyarakat yang selalu tolerant. Begitulah kira-kira (prinsip nilai) yang sejak lama dipegang teguh oleh masyarakat Suku Bajo, hingga saat ini. Karena bagi mereka, sikap toleransi adalah cara mengekspresikan “idealisme hidup” yang paripurna. Berperan sebagai (benteng) utama agar terhindar dari konflik, pertumpahan darah serta provokasi yang memecah-belah persatuan dan kebersamaan.

Bahkan, masyarakat Suku Bajo tidak hanya mengimplementasikan sikap toleransi pada dimensi untuk (menghargai) saja. Karena, mereka justru mampu merealisasikan sikap toleransi yang sangat (mendarah-daging) ke dalam segala aspek kehidupannya. Baik secara sosial ekonomi, keagamaan dan adat-istiadat. Karena, sikap toleransi bagi Suku Bajo menjadi semacam tiang utama dari idealisme alamiah mereka yang sejak dulu dipertahankan.

Oleh sebab itulah, kita perlu memperkokoh sikap toleransi itu. Dengan menjadikan toleransi tidak hanya dalam dimensi istilah, kata, atau-pun ungkapan. Melainkan sebagai “idealisme hidup” kita. Agar, segala ideologi trans-nasional tidak mudah memporak-porandakan pola hidup berbangsa kita.

Hal demikian kita perlu belajar terhadap Suku Bajo yang selalu menjadikan sikap toleransi sebagai sarana kehidupan yang mapan dan anti konflik. Pun, prinsip yang mereka bangun selalu terarah ke dalam (keseimbangan) dan (keselarasan) dengan alam serta relasi kemanusiaan. Bagaimana mereka tegas untuk selalu menjaga alam agar tidak rusak dan tidak terjadi bencana. Serta, mereka selalu berinisiatif untuk hidup berdampingan agar terhindar dari konflik dan perpecahan tersebut.

Misalnya dalam aspek adat istiadat atau tradisi Suku Bajo yang sangat menarik untuk kita cermati. Perihal kebiasaan mereka untuk (memakan pinang sirih). Hal demikian dilakukan oleh semua usai dan kalangan; baik tua mau-pun muda. Baik tokoh agama, tokoh adat atau-pun mereka yang berada di instansi pemerintahan. Kenapa? Karena ini memiliki makna filosofis akan terbentuknya persaudaraan. Karena, pinang sirih bagi masyarakat Suku Bajo memiliki nilai magis untuk (mempersatukan masyarakat).

Pun, ini juga sebagai bentuk dari penghormatan bagi orang yang berkunjung (tamu). Karena, memakan pinang sirih secara bersamaan bagi masyarakat Suku Bajo adalah lambang (pengikat) untuk merasa saling bersaudara satu sama lain. Di satu sisi, ini adalah ritual mereka yang memang dilakukan sejak dulu. Tetapi, point penting dari tujuan memakan pinang sirih itu, adalah untuk mempersaudarakan, mempersatukan dan mengikat sebuah kebersamaan.

Bahkan, secara prinsip keagamaan yang mereka anut, selalu menitikberatkan pada ajaran Islam yang lebih mengacu ke dalam jalinan silaturahmi satu sama lain. Untuk menyatakan akan pentingnya pemahaman bahwa semua manusia sejatinya bersaudara. Pun, dalam segi amal makruf nahi munkar, mereka selalu bertindak kepada sesuatu yang membawa manfaat dan mennggalkan sesuatu yang membawa mudharat. Begitu juga dalam segi ekonomi yang mengoptimalkan saling kemanfaatan dan saling menyejahterakan untuk tetap membangun kebersamaan tadi.

Bahkan, di Suku Bajo, Masjid justru dijadikan ajang untuk silaturahmi dan dijadikan tempat untuk menyelesaikan segala persoalan sosial. Termasuk pentingnya menjaga sikap toleransi dan persaudaraan di dalam kelompok mereka serta sikap toleransi terhadap di luar kelompok mereka itu sendiri. Kenapa? Karena hal ini berkaitan dengan idealisme hidup yang mereka bangun adalah untuk (anti konflik).

Oleh sebab itulah kita perlu meneruskan prinsip kearifan lokal yang ada di Suku Bajo tersebut. Untuk membentangkan sikap dan prinsip toleransi terhadap sesama untuk mengikat kebersamaan dan persatuan di bumi Nusantara ini. Sebagaimana kita ketahui saat ini, Segala kemudahan dan kemajuan teknologi informasi, tampaknya ini mulai menggerus dan mengikis tradisi leluhur di bumi Nusantara khususnya di Suku Bajo yang perlu kita pertahankan saat ini. Yaitu sikap toleransi yang bisa (mendarah-daging) dalam segala aspek kehidupan kita.

Facebook Comments