Menjadi Manusia Indonesia; Perkuat Kearifan Lokal, Tangkal Ideologi Transnasional

Menjadi Manusia Indonesia; Perkuat Kearifan Lokal, Tangkal Ideologi Transnasional

- in Narasi
470
0
Menjadi Manusia Indonesia; Perkuat Kearifan Lokal, Tangkal Ideologi Transnasional

Di tengah gempuran arus ideologi transnasional dalam dua dekade belakangan ini, kita dipaksa untuk menegaskan kembali identitas keindonesiaan kita. Pertanyaan tentang bagaimana menjadi manusia Indonesia di tengah kontestasi ideologi transnasioal mau tidak mau menyeruak ke permukaan. Arus deras ideologi transnasional radikal selama beberapa tahun belakangan harus diakui cukup mengubah lanskap keberagamaan dan kebangsaan kita.

Dampak paling nyata dari penetrasi ideologi transnasional itu ialah kian tergerusnya spirit nasionalisme, menguatnya fanatisme agama, bangkitnya sentimen primordialisme serta tergerusnya kearfian lokal. Puncaknya, ada semacam upaya untuk membenturkan dua identitas, yakni keindonesiaan di satu sisi dan keislaman di sisi lain. Kelompok Islam konservatif menganggap identitas keislaman bisa kaffah apabila seorang muslim melepas identitas kebangsaannya. Sebaliknya, di kalangan nasioalis yang berpandangan sempit, identitas keindonesiaan hanya bisa tegak jika warganegara melepas identitas keagamaannya.

Cara pandang ekstrem yang demikian itu jelas problematis. Indonesia sejak awal berdiri didesain sebagai negara beragama. Artinya, Indonesia tidak menjadikan agama tertentu sebagai dasar hukum negara. Namun, nilai-nilai universal agama menjadi komponen penting fondasi kenegearan dan kebangsaan Indonesia. Maka, logika mempertentangkan dua identitas, yakni keislaman dan keindonesiaan, utamanya yang dilakukan oleh kelompok konservatif-radikal pada dasarnya tidak relevan. Menjadi manusia Indonesia bukan berarti harus melepas identitas keagamaannya. Demikian pula, menjadi umat beragama tidak lantas harus melepaskan identitas keindonesiaannya.

Residu Ideologi Transnasional

Berbagai residu yang diciptakan oleh infiltrasi ideologi transnasional kiranya tidak bisa dipandang sepele. Lunturnya nasionalisme, menguatnya fanatisme agama dan kesukuan, serta tergerusnya kearifan lokal ialah gejala-gejala serius sebuah bangsa atau negara menuju perpecahan, bahkan kehancuran. Menegaskan identitas keindonesiaan kita hari ini idealnya dimanifestasikan ke dalam kerja nyata, yakni menangkal ideologi transnasional di satu sisi dan menguatkan kearifan lokal di sisi lain.

Kerja menangkal ideologi transnasional memang urusan kolektif yang tidak bisa didelegasikan ke satu pihak saja. Pemerintah di satu sisi, harus lebih banyak bekerja di sektor penegakan hukum, keamanan dan penyusunan regulasi. Otoritas yang dimiliki pemerintah hendaknya digunakan untuk menjaga bangsa dan negara dari ancaman ideologi transnasional. Pemerintah memiliki hak untuk melakukan tindakan koersif pada entitas yang mengancam keutuhan bangsa.

Di sisi lain, masyarakat kiranya lebih banyak memainkan perannya dalam ranah sosial-budaya, yakni dengan melestarikan dan menguatkan kearifan lokal. Masyarakat harus menyadari tergerusnya kearifan lokal akibat globalisasi dan penetrasi ideologi transnasional berpotensi menghilangkan jatidiri bangsa. Dalam ungkapan Jawa, masyarakat atau bangsa yang kehilangan identitas dan jatidiri itu layaknya seperti “kali ilang kedunge” atau “pasar ilang kumandange”. Dua ungkapan yang menggambarkan situasi ketika masyarakat lupa akan adat-istiadatnya, nilai tradisionalisme dan kearifan lokal yang sebenarnya mengandung segudang nilai filosofi kehidupan.

Identitas Nusantara

Menguatkan kearfian lokal bukan berarti mengajak masyarakat berpikir regresif alias kembali ke belakang. Menguatkan kearifan lokal ialah menarik benang merah antara kebudayaan asli Nusantara (Indonesia) dengan situasi modern-kontemporer ini. Tujuannya ialah membangun jembatan antara masa lalu dan masa sekarang juga masa depan. Benang merah dan jembatan itu penting agar perjalanan kita sebagai bangsa tidak kehilangan arah.

Dalam bukunya Manusia Indonesia (1990), wartawan dan budayawan Mochtar Lubis mengklasifikasikan karakter (buruk) manusia Indonesia ke dalam lima ciri. Yakni hipokrit atau munafik, tidak bertanggung jawab, feodalistik, tidak rasional, berawatak lemah. Meski bisa diperdebatkan lebih lanjut, namun harus diakui bahwa klasifikasi itu dalam banyak hal menggambarkan realitas masyarakat Indonesia hari ini. Akibatnya, kita begitu dipengaruhi oleh gerakan atau paham dari luar yang tujuannya ialah untuk memecah-belah bangsa dari dalam.

Karakter negatif yang demikian itu sebenarnya bukan watak asli masyarakat Nusantara, yang notabene merupakan nenek moyang bangsa Indonesia. Watak negatif yang demikian itu sebenarnya merupakan bentukan kolonial yang memang menginginkan bangsa Indonesia lemah dan bodoh sehingga bisa terus dijajah.

Sejarawan Koentjoroningrat menjelaskan bahwa masyarakat Nusantara umumnya berkarakter relijius, non-doktriner, toleran, akomodatif, optimistik, terbuka dan memiliki etos kerja tinggi. Itulah watak asli masyarakat Nusantara yang seharusnya menjadi rujukan kita hari ini. Maka, menjadi manusia Indonesia hari ini ialah kembali ke karakter dasar masyarakat Nusantara yang relijius, namun toleran dan akomodatif. Itulah modal sosial-kultural kita untuk melawan penetrasi ideologi transnasional sekaligus menguatkan kearfian lokal.

Saatnya kita tinggalkan watak atau karakter buruk yang dibentuk dan diwariskan oleh kolonial. Yakni watak lemah, inferior dan mudah dipengaruhi pihak lain. Saatnya kita tunjukkan pada dunia bahwa kita ialah bangsa besar yang memiliki akar sejarah dan keterikatan yang kuat pada budaya dan kearifan Nusantara yang relijius dan humanis.

Facebook Comments