Benarkah Tatanan Kehidupan Baru Itu Sistem Khilafah?

Benarkah Tatanan Kehidupan Baru Itu Sistem Khilafah?

- in Narasi
1509
0
Benarkah Tatanan Kehidupan Baru Itu Sistem Khilafah?

Hari Lahir Pancasila yang jatuh pada tanggal 01 Juni kemarin sungguh memberikan suntikan moral dan mental terhadap seluruh bangsa Indonesia untuk tetap selalu optimis dan gotong royong untuk menghadapi Covid-19 dan era new moral life.

Covid-19 yang sudah melanda hampir seluruh negara di dunia ini memang memberikan dampak yang luar biasa terhadap cara manusia menjalani hidup. Bahkan sistem ekonomi, politik, dan sosial juga turut berubah. Fenomena pandemi Corona ini juga mengundang beberapa pakar untuk menganalisa dan memproyeksikan dunia pasca Covid-19. Para pakar ini dengan meyakinkan mengatakan bahwa dunia akan mengalami transformasi atau perubahan pasca Covid-19.

Analisa para pakar ini, dimanfaatkan dengan cukup apik oleh pendukung khilafah. Sebelum lebih jauh, berikut penulis kutip beberapa pendapat pakar dunia yang belakangan ini dikutip oleh kelompok pendukung khilafah dalam media yang mereka kelola (media-umat, majalah al-Wa’ie edisi 402-403-404 Tahun ke-34/Maret-April 2020).

Pertama ada Richard N. Haass, mantan diplomat AS. ia mengatakan bahwa sebagian besar pemerintah akan akan bersandar pada kekuatan dalam negeri, dan menggali kemandirian. Pada saat yang sama, pemerintah tersebut akan memusuhi imigrasi. Kemudian ia juga mengingatkan bahwa dalam perubahan ini, negara yang gagal akan menjadi semakin terpuruk.

Kedua, John Allen, Direktur Brookings Institute, dan seorang pensiunan Jenderal Korps Marinir AS. Allen memprediksi keadaan yang lebih fundamental dalam aspek ekonomi. Ia percaya bahwa krisis akan membentuk kembali “struktur kekuatan global dengan cara yang tak terbayangkan”. Lanjutnya, Covid-19 akan terus memberi tekanan pada kegiatan ekonomi dan meningkatkan ketegangan antar negara, di mana dalam jangka panjang pandemi akan mengurangi kemampuan produksi ekonomi global.

Ketiga, Shivshankar Menon, seorang diplomat, dan mantan penasihat Dewan Keamanan Nasional India, melihat bahwa politik akan berubah setelah pandemi Corona “baik di dalam negara, atau di antara negara-negara”. Dia mengatakan bahwa di tingkat internasional akan ada kecenderungan yang tertutup.

Yang menggelitik, setelah mengutip pernyataan beberapa tokoh dunia tentang Covid-19 akan merubah tatanan dunia, media pendukung khilafah itu lantas menyimpulkan bahwa : “Hampir ada konsensus di antara para pakar dan peneliti internasional tentang pendapat bahwa tatanan dunia akan berubah akibat virus Corona, dan ini benar. Namun bagaimana dan seperti apa bentuknya, di situlah mereka gagal mengungkapkannya. Sementara kami mengatakan bahwa tatanan dunia yang baru itu tidak lain kecuali sebagaimana kabar gembira dari Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallama: “Kemudian akan ada Khilafah ‘ala minhājin nubuwah” (Simak: majalah al-Wa’ie edisi 402-403-404 Tahun ke-34/Maret-April 2020).

Narasi Basi

Benar apa yang disampaikan oleh Ahmad Ali Mashum dalam artikelnya “Kesaktian Pancasila di Tengah Pandemi dan Penumpang Gelap Pengasong Khilafah, yang diterbitkan perdana di Jalan Damai (02/6/2020), bahwa kelompok khilafah selalu menjadi penumpang gelap atas isu-isu strategis seperti Covid-19 untuk menarasikan kewajiban dan pentingnya khilafah.

Tidak hanya sekedar itu, para pendukung khilafah, agar terlihat perkasa, tidak hanya ‘melucuti’ Pancasila sebagai dasar negara, melainkan mereka juga mengkritik habis-habisan sistem internasional seperti kapitalisme dan komunisme.

Mari kita simak penggalan artikel yang berjudul “Tegaknya Wabah: Harapan di Tengah Wabah” yang ditulis oleh Umar Syarifudin dalam laman al-wa’ie.id (26/5) berikut ini:

Pandemi global ini menyingkap watak ideologi Kapitalisme yang dibangun di atas kredo sekular yang terkonfirmasi dari kegagalan negara-negara kapitalis dalam mengatasi pandemi Corona virus. Hari ini para politisi, ekonom dan ideolog di berbagai media digambarkan sedang mencari solusi yang kredibel tanpa mengubah kerusakan sistem Kapitalisme dalam menjaga jiwa dan harta masyarakat.”

“…dalam peradaban kapitalisme terungkap semacam ‘kemalasan’ negara untuk menjaga industri farmasi agar aktif mengembangkan penelitian untuk menghasilkan obat dan vaksin. Ini sesuatu yang tidak mau mereka lakukan karena jumlahnya ‘labanya’, menurut mereka, sangat kecil dan tidak sepadan dengan investasi. Ini menunjukkan kebangkrutan moral perilaku kapitalisme yang kosong akan kerangka etika dan sosial.”

Narasi di atas, jika dibaca oleh orang awam yang wawasan kebangsaannya dan keagamaannya minim, maka akan dianggap sebagai “pencerahan” yang berujung menaruh rasa simpati dan menjadi terpengaruh oleh narasi tersebut. Memang, pernyataan di atas sekilas tidak menimbulkan masalah yang berarti dan menunjuk kondisi riil di beberapa kesempatan.

Namun narasi di atas menjadi bermasalah manakala diikuti dengan narasi pemaksaan menegakkan khilafah sebagai solusi terbaik mengatasi wabah dan untuk kehidupan baru yang lebih baik. “Bagi banyak umat Islam, saat yang tepat bagi seluruh dunia Muslim sekarang adalah Khilafah. Ghirah umat makin kuat. Dari Tunisia hingga Indonesia. Dari Suriah hingga Bangladesh. Rakyat menuntut Khilafah”, masih dikutip dari penulis dan sumber yang sama. Narasi ini seolah merupakan aspirasi mayoritas umat Islam, padahal semua itu hanya sekedar klaim sebagai pemanis belaka.

Upaya kelompok pendukung khilafah untuk menciptakan sistem yang lebih baik sebenarnya patut kita apresiasi dan bahkan dukung. Namun, menjadi sesuatu yang tak bermutu ketika mereka ngotot semua itu harus dijalankan dengan menegakkan khilafah. Terlebih ketika kita menilik sejarah, tak semua negara yang diklaim menerapkan sistem khilafah mampu mensejahterakan rakyat. Sebaliknya, semua sistem, demokrasi misalnya, yang mampu mensejahterakan rakyat, itulah yang disebut khilafah.

Karena idealisasi negara dalam pandangan Islam bukan mutlak harus berbentuk atau menegakkan khilafah. Misalnya, QS Al-Baqarah [2]” 126, memberikan gambaran negara ideal adalah yang aman damai serta kemakmuran untuk semua penduduk baik yang beriman maupun tidak. Di lain surat, seperti yang terdapat dalam QS at-Tin [95): 3, adalah negara yang mampu melindungi hak-hak warga negara. Dan sampai di sini, bahkan juga menurut nas yang lain, tidak menyebutkan secara spesifik harus bersistem khilafah.

Jadi, menarik kesimpulan bahwa Covid-19 yang akan menyebabkan terjadinya perubahan dunia itu adalah tegaknya khilafah, bukan saja tergesa-gesa atau bahkan gegabah, melainkan juga menunjukkan bahwa khilafah sesungguhnya belum cukup kuat dan meyakinkan akan mampu menyatukan dan mensejahterakan umat. Maka, dalam konteks ini, kita patut bercermin kepada Nabi Daud. Bahwa kepemimpinan politik yang diamanahkan kepada digunakan untuk kesejahteraan dan telah mempraktekkan ajaran yang sejalan dengan idealisasi negara dan asas-asas penyelenggarannya yang diajarkan al-Qur’an tanpa harus ngotot harus bersistem khilafah. Keteladanan Nabi Daud ini pula, menurut Hanim Ilyas (2020), adalah wujud pemaknaan khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, yaitu negara kesejahteraan

Facebook Comments