“Islam memajukan nasionalisme sejati dan bukan nasionalisme yang sempit” (HOS Tjokroaminoto). Sepenggal pernyataan pendiri Sarekat Islam (SI) tersebut, bisa menjadi penguat bahwa Islam merupakan agama yang mendukung nasionalisme dan menghormati kebhinekaan. Dalam lembaran sejarah nasional, Islam pun mudah masuk ke Nusantara yang notabene mempunyai latar struktur sosial dan kultural beragam. Meski kala itu, agama mayoritas yang berkembang ialah Hindu dan Budha atau kepercayaan animisme dan dinamisme, tetapi karena Islam lembut, anti-kekerasan, dan cinta damai, membuatnya mudah diterima.
Kalau kita kuliti sejarah, Islam turut berperan besar di dalam perumusan Pancasila. Cendekiawan Islam, KH. Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, beberapa di antara Panitia Sembilan yang urun rembuk di dalam perumusan Pancasila. Pun demikian dengan rumusan dasar negara UUD 1945, dalam alenia ketiga Pembukaan (Preambule) UUD 1945, yang berbunyi,”atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur”, merupakan penggalan yang mengandung nilai-nilai keislaman.
Penegasan ini perlu ditekankan lagi, mengingat dewasa ini jamak mencuat anggapan keliru, bahwa ber-Islam, berarti tidak nasionalis, bukan pancasilais, bahkan anti-kebhinekaan. Atau bahkan ada segelintir golongan yang memaknai Islam secara ekstrem, sampai-sampai ingin mendirikan negara Khilafah. Padahal sedari dulu, negara ini terbentuk atas jerih payah bersatunya berbagai etnis, agama, dan budaya. Islam pun mengakui dan menghormati keberagaman itu.
Sangat tak elok tentu jika kita sebagai anak bangsa membandingkan, apalagi membenturkan Islam dan Pancasila ke dalam ranah ke-Indonesiaan. Karena jelas, keduannya berbeda dalam banyak dimensi, akan tetapi bukan berarti keduanya bertentangan. Sejarah telah mengajarkan bahwa jangan sekali-kali membenturkan antara agama dengan ideologi. Jika dipaksakan, maka yang ada hanyalah akan melahirkan berbagai bentuk militansi dan radikalisme bangsa.
Karenanya, persandingan antara Islam dan Pancasila harus dibangun sebagai bentuk kontruksi yang saling mengisi, bukanlah kolonial yang saling menguasai atau berebut dominasi. Pancasila merupakan “grand idea” dan Islam ialah agama mayoritas bangsa Indonesia. Gusdur pernah mengungkapkan bahwa hubungan Islam sebagai agama dengan Pancasila sebagai ideologi terjalin hubungan saling mengisi yang akan menyuburkan keduannya. Islam dan Pancasila harus terjalin harmonis, tanpa saling merusak tatanan dasar satu sama lain.
Islam dan Pancasila yang terbangun harmonis dalam sistem demokratisasi Indonesia diharapkan akan mampu menangkal virus kapitalis dan sosialis yang hanya bertumpu pada satu sisi. Nilai-nilai luhur (values) universal yang dimiliki keduannya menjadi kekuatan pengokoh NKRI. Pola pikir yang dibangun adalah pola kontruksif bukan pembenturan. Dengan pola kontruksif Islam dan Pancasila disandingkan dan diramu untuk menguatkan nasionalisme.
Islam dan Pancasila di Indonesia ibarat satu tubuh, yang ketika disakiti salah satunya akan melukai yang lainnya juga. Pancasila tidak terima jika Islam dihina, demikian juga Islam sangatlah menentang tindakan anti-Pancasila. Pendek kata, Islam dan Pancasila saling menjaga dan mengokohkan satu sama lain. Nilai-nilai suci nan mulia keduanya saling menyuburkan satu sama lain.
Janganlah sampai kita ber-Islam secara parsial, taklid, dan fanatik. Pun jangan sampai Pancasila mengalami redup, ditinggalkan di pojok sejarah, diusangkan (outlived) atau bahkan terkoyak. Kewajiban umat Islam ialah berakhlak Islami sesuai tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, menjaga keutuhan Pancasila, menghindari dan mencegah segala bentuk tindakan anti-Pancasila. Dan yang tidak kalah penting ialah bagaimana mengamalkan ajaran Islam secara kaffah. Relasi Islam dan Pancasila akan kokoh apabila saling menguatkan satu sama lain, bersatu patu demi keutuhan NKRI.