Berbeda Bukan untuk Dipertentangkan

Berbeda Bukan untuk Dipertentangkan

- in Narasi
1374
0

Tidak ada suatu orang (individu), apalagi kelompok masyarakat dan bahkan suatu bangsa yang diciptakan Tuhan YME sama atau seragam (monolitik) antara satu dengan yang lain. Itu artinya, perbedaan adalah suatu kepastian yang tak terelakan. Orang kembar siam pun, bisa dipastikan keduanya berbeda. Entah itu sikap, cara berfikir, dan atau yang lainnya.

Apalagi yang lainnya, suatu komunitas yang lebih besar (bangsa). Tak terkecuali Indonesia, yang di dalamnya terdapat banyak suku, etnis, dan lain sebagainya dan bahkan agama. Sudah tentu berpedaan yang lahir atas konsekuensi logisnya juga beragam pula. Maka sebagai suatu hal yang tak terelakan, secara prinsipil perbedaaan itu wajib diterima oleh siapa saja. Tidak boleh dinafikan, apalagi dipertentangkan.

Dengan demikian kemajemukan (bangsa ini) bukanlah barang yang istimewa, alias biasa saja. Sebab nyaris semua bangsa yang ada di dunia ini memilikinya. Hanya saja, sesuatu yang biasa itu tidak lantas berdiam diri atau berjalan ditempat. Karena barang yang biasa itu bisa menjadi sesuatu yang istimewa di satu sisi, dan menjadi petaka pada sisi yang lain. Menjadi hal yang istimewa, “rahmat” jika meminjam istilah agama, manakala dalam kemajemukan itu antar elemen di dalamnya bisa hidup bersama dalam kerukunan dan ketentraman.

Tidak sampai di situ, mereka bahkan bisa saling bersinergi bersama. Di sini perlu ditandaskan, bahwa hidup berdampingan satu sama lain tanpa ada konflik bisa jadi dianggap hidup dalam kerukunan. Namun agaknya kerukunan itu masih bersifat kering kerontang. Mudah lapuk, dan sangat cepat terbakar jika tersulut sedikit api.

Berbeda halnya jika mereka dapat saling bersinergi. Bisa saling bekerja sama satu sama lainnya. Seperti bermitra usaha dan sejenisnya. Tentu saja bersamanya akan melekat kepercayaan satu sama lainnya. Sebab mereka memiliki banyak kesempatan untuk saling bertatap muka, mengenal, dan memahami antar sesama. Dengan begitu tali persaudaraan yang terjalin dapat menjadi erat dan kuat. Tak akan mudah retak khususnya saat dirongrong oleh pihak-pihak yang sengaja ingin memecah belah bangsa.

Sedangkan pada sisi yang lain, dikatakan kemajemukan bisa menjadi malapetaka, manakala kemajemukan itu hanya melahirkan pertikaian, pertumpahan darah. Hal ini bisa dipahami, sebab kemajemukan memang sarat konflik dan pertikaian. Apalagi jika sengaja disulut dengan api. Ibarat kayu kering dibakar api, sulutan itu ibarat siraman minyak yang dapat membuat kebakaran itu kian besar dan sulit dikendalikan.

Keresahan Bersama

Jika kita melihat situasi dan kondisi saat ini, agaknya kita akan merasa khawatir terhadap masa depan bangsa kita. Selanjutnya kita akan bertanya-tanya kepada diri kita sendiri, terkait kemajemukan ini, apakah bangsa kita termasuk kemajemukan yang membawa keistimewaan (rahmat), atau sebaliknya akan membawa petaka.

Sebab dewasa ini kemajemukan kita lagi-lagi dipertaruhkan. Tahun 2018, yang diidentikan oleh sebagian masyarakat sebagai tahun politik, agaknya telah berjalan secara prematur dan sarat kegaduhan. Identitas kepartaian sudah mulai nampak pada sebagian orang. Si A partai A, Si B partai B, dan sejenisnya.

Dikatakan prematur dan sarat kegaduhan, diketahui bersama, sebab sebelum komisi pemilihan umum (KPU) meniup peluit bahwa pemilu sudah dimulai, tetapi tidak sedikit para simpatisan partai sudah saling berkoar-koar membuat kegaduhan. Sesama simpatisan sudah saling mengunggulkan calon dan partai yang diusungnya. Tidak sampai di situ, mereka juga saling mencaci maki.

Kini peluit itu sudah ditiup dengan kencang. Kegaduhan itupun semakin nampak nyata. Media sosial (medsos) sebagai media yang saat ini kita gandrungi bersama misalnya, saat ini tidak bisa dielakkan telah dijadikan sebagai wahana kampanye hitam (black campaign). Penyebaran berita bohong (hoax), ujaran kebencian (hate speech), fitnah, dan bahkan provokasi untuk melakukan tindakan kekerasan, nyaris mudah sekali kita dapati. Lebih lagi bahwa hal itu seringkali disusupi oleh isu-isu yang menyangkut Suku, Ras, Agama, dan Antargolongan (SARA).

Agaknya inilah yang dimaksud Muhajir Affandi (2017: 71) bahwa media medsos telah tumbuh menjadi alat baru untuk propaganda. Oleh sebab ia diyakini mempunyai dampak yang dahsyat, maka medsos (meminjam istilah Marshal McLuhan) tak lain the extension ofman (kepanjangan manusia). Artinya, apa yang menjadi hasrat manusia diperluas dan disebarkan melalui medsos.

Melihat situasi lapangan yang semakin memanas sejak dini ini, maka kita patut mengapresiasi upaya pemerintah yang belum lama ini mendirikan Badan Siber Nasional (BSN). Lembaga yang akan menjadi satu badan, yang memayungi dan mengkoordinasikan badan cyber deffence yang ada di Kementerian Pertahanan, cyber intelligence di Badan Intelijen Negara (BIN), dan cyber security di Kepolisian RI (Polri) ini memang sengaja dibentuk pemerintah melihat maraknya penyebaran berita “hoax”, cyber terrorism, dan penyebaran paham radikalisme yang berujung pada tindakan intoleransi. Kita do’akan semoga lembaga ini bertugas dengan penuh tanggung jawab sebagaimana mestinya.

Bukan untuk Dipertentangkan

Pengelompokan diri dalam suku, agama, dan bahkan kepartaian pun, sebetulnya tidak salah dan/atau membawa masalah. Yang membawa masalah ialah kalau terjadi, menurut istilah Al-Quran, setiap kelompok membanggakan apa yang ada pada mereka (Q.S. 23: 53), yang dalam bahasa kontemporer disebut chauvinisme golongan. Sikap ini dalam bahasa Arab disebut ta‘ashshub, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan fanatik.

Rahman (2011) mengatakan, sebetulnya al-Quran telah member kesan atau isyarat bahkan penegasan, bahwa pengelompokan di antara manusia merupakan sunnatullah, yaitu firman Allah Swt., “Sekiranya Allah menghendaki niscaya Ia menjadikan kamu satu umat, tetapi Ia hendak menguji kamu atas pemberian-Nya (Q.S, 5: 48).

Oleh sebab keharusan itu, maka sudah sejatinya perbedaan itu tidak kita sikapi dengan saling mempertentangkan. Malahan sebaliknya, dengan perbedaan itu membuat diri kita untuk bisa berlomba-lomba dalam hal kebaikan (fastabiq al-khairat). Kata khairat di sini berbentuk jamak (plural), yang menyiratkan bukan kebaikan tunggal, tetapi banyak sekali.Selain itu juga bisa saling membangun kerjasama, sinergi, dan saling melengkapi. Dari hal yang remeh temeh hingga yang kompleks. Dari untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan minum hingga kebutuhan besar bersama, termasuk membina perdamaian bangsa.

Dan lagi, berkaitan erat dengan tahun politik ini, maka sudah sejatinya kita jangan mau jika mau diadudomba sesama anak bangsa. Karenanya, kita harus lebih cerdas dalam bermedia massa. Termasuk di antaranya menyikapi isu-isu terkait perbedaan yang orang-orang berkepentingan berusaha untuk membenturkan. Semoga pesta demokrasi kita 2018 ini dan yang akan datang tetap membawa perbedaan yang memberikan keistimewaan. Aamiin.

Facebook Comments