Awasi Anak, Jangan Sampai Jadi Pelaku Radikal

Awasi Anak, Jangan Sampai Jadi Pelaku Radikal

- in Narasi
1384
0

“Ini kesalahan kami, keluarga yang tidak mampu mengawasi anak yang masih labil, IAH itu masih 17 tahun. Kami meminta maaf, mudah-mudahan peristiwa ini tidak terjadi lagi. Semoga Kepastoran Uskup Agung dapat memaafkan kejadian itu. Kami, keluarga sekali lagi meminta maaf.”

Itulah kesaksian sekaligus acapan permintaan maaf Makmur Husagian (66), ayah pelaku teror bom di Medan, IAH. Pada Minggu (28/8/2016) lalu, IAH yang memiliki kakek serta keluarga besar beragama Kristen melakukan penyerangan di Gereja Khatolik Santo Yosep Jalan Dr Mansur Medan. Ibundanya merupakan sembilan bersaudara, dan dirinya adalah satu-satunya orang yang memeluk agama Islam. Meski berbeda keyakinan, tidak pernah ada gesekan demi gesekan. Makmur dan keluarga besar istrinya selama ini hidup rukun.

Ada benarnya juga ketika IAH melakukan penyerangan dikarenakan kelabilannya. Dalam tinjauan psikologis, anak-anak usia kisaran 17 tahun merupakan usia di mana seseorang mencari jati diri. Ia akan berusaha menjadi sosok yang unggulan dan memiliki kepribadian kuat. Tidak hanya dalam bidang material, para generasi muda usia kisaran 17 tahun juga secara spiritual ingin menampakkan diri sebagai orang yang unggulan. Sehingga, tak heran jika di usia-usia ini banyak pemuda yang mencari guru spiritual dengan maksud menguatkan jati dirinya.

Di saat-saat seperti inilah orang tua dan pendidik memiliki peran sentral dalam mencarikan pembimbing dan pengawasan. Hal ini disebabkan para pemuda mudah terpengaruh oleh perkara-perkara baru yang dianggapnya spektakuler. Dalam menjalankan agama, para pemuda ini akan dengan mudah terpikut oleh gerakan-gerakan aneh yang menjanjikan kespektakuleran ganjaran menjalankan ibadah. Segendang sepenarian dengan kondisi pemuda yang sangat labil ini, terdapat kelompok radikalis yang sengaja memanfaatkan kesempatan ini. Mereka memperdaya para pemuda untuk menjalankan visi perpecahan antar-umat beragama.

Kelompok radikalis dapat dengan mudah mencuci otak para pemuda sehingga mereka dapat dijadikan manusia bak robot. Hanya dengan iming-iming mendapatkan surga beserta para bidadari, mereka tega menghabisi nyawa sendiri dan orang-orang yang tidak berdosa. Akal mereka sengaja ditutup oleh kelompok radikalis sehingga tidak dapat berfungsi dengan sempurna. Mereka juga lupa, atau sengaja dilupakan oleh kelompok radikalis, jika agama mengajarkan perdamaian. Agama tidak pernah mengajarkan kerusahan, baik sesama umat beragama atau berlainan agama.

Tak kurang-kurangnya kisah betapa dalam agama Islam mengajarkan perdamaian antar-umat beragama. Selain Nabi Muhammad SAW yang menjadi uswah terbaik umat akhir zaman, para sahabat pun demikian besar perhatiannya terhadap perdamaian. Dikisahkan, sahabat Ali bin Abi Thalib suatu ketika berjalan menuju masjid untuk menjalankan ibadah shalat subuh. Ia berjalan dengan pelan karena di depannya terdapat orang tua yang juga berjalan. Sahabat Ali sangat menghormat orang yang lebih tua usianya sehingga tidak mau mendahului perjalanan. Padahal, usut punya usut, orang tua tersebut tidak beragama Islam.

Bermula dari sini, menjadi tugas utama orang tua untuk selalu mendidik dan mengawasi anak-anaknya. Anak-anak harus memiliki pondasi kuat dalam beragama. Dengan pondasi yang kuat, ia tidak mudah terombang-ambing oleh simpang-siurnya pemahaman agama yang sangat beragam. Ketika seorang anak mendapatkan pemahaman baru, termasuk hal yang spektakuler, ia akan mempertimbangkan dengan baik. Bahkan, hal yang terasa sangat tidak masuk akal akan dicurigai sehingga dirinya mencari asal-usul dan misi di balik semua hal yang sangat spektakuler tersebut.

Sungguh, orang tua sekarang tidak selamanya dapat mengawasi anak dengan baik. Selain pemahaman mereka terhadap agama dapat dikatakan lemah, anak-anak memiliki pemahaman agama yang aneh-aneh. Dengan doktrin yang tinggi, anak-anak mereka seakan memiliki pemahaman agama yang jauh lebih besar dari orang tuanya. Orang tua pun merasa tidak memiliki kapasitas untuk memberikan nasihat agama terhadap anak-anak. Di samping itu, saat ini banyak orang tua yang tidak memiliki banyak waktu untuk mengawasi anak-anaknya. Mereka disibukkan oleh pekerjaan yang menuntut dirinya harus menghabiskan waktu seharian berada di tempat kerja.

Dalam pada itulah, ketika orang tua merasa tidak memiliki kapasitas mendidik dan atau mengawasi anak-anak serta tidak memiliki waktu, maka harus mencari alternatif lain. Anak-anak harus diserahkan kepada orang atau lembaga yang memiliki kemampuan serta kemauan mendidik dan mengawasi anak-anak. Di Indonesia, salah satu lembaga yang sudah teruji mampu mendidik dan mengawasi anak-anak adalah pondok pesantren. Hanya saja, kewaspadaan orang tua harus ditingkatkan karena tidak semua pondok pesantren memiliki isi yang sama. Bahkan, para pelaku radikalis juga kebanyakan berasal dari pondok pesantren. Sehingga, orang tua mesti selektik memilih pondok pesantren untuk anak-anaknya. Jangan sampai anak-anak dimasukkan ke dalam pondok pesantren yang justru mengajarkan kekerasan.

Untuk dapat mengidentifikasi apakah pondok pesantren yang akan digunakan untuk “menitipkan” anak adalah pondok pesantren humanis atau mengajarkan kekerasan, orang tua dapat melihat sejarah pondok pesantren tersebut. Orang tua dapat memilih pondok pesantren tua yang sudah teruji menelorkan para ulama humanis, semisal pondok pesantrennya Hadratus Syaik KH Hasyim Asy’adi di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur atau milik Mbah Munawwir di Krapyak Yogyakarta. Jika tidak, orang tua juga bisa menitipkan anak-anaknya pada kiai-kiai alumni pesantren-pesantren tersebut. Dengan begitu, anak-anak dapat belajar agama dengan benar dan tepat. Jangan sampai mereka tersesat menjadi robotnya kaum radikalis gara-gara orang tua salah mencarikan tempat menuntut ilmu. Wallahu a’lam.

Facebook Comments