Begitu mudah membuat masyarakat bergerak. Tidak penting detail peristiwa, yang terpenting adalah narasi propagandis. Tidak penting fakta dan data, yang terpenting adalah narasi provokasi. Semua dikembangkan untuk membentuk opini dan memanipulasi kesadaran kolektif.
Membangun narasi, entah didukung fakta atau tidak, untuk membentuk opini menjadi cara jitu dalam membunuh kesadaran logis dan tindakan rasional masyarakat. Pertanyaannya, narasi seperti apa yang paling ampuh untuk menggerakkan massa?
Ternyata dalam banyak kasus, masyarakat mudah digerakkan dengan narasi emosional dan solidaritas komunal tentang ketertindasan dan ketidakadilan. Perasaan sedang didzalimi, ditindas, diancam dan dikriminalisasi menjadi kondisi yang ditransfer oleh segelintir orang menjadi perasaan kolektif massa. Berbagai kejadian apapun yang menyinggung identitas primordial seperti keagamaan, etnisitas, dan suku akan ditafsir dalam bungkus narasi yang emosional dan provokatif.
Pada gilirannya, perasaan ditindas dan diancam akan melahirkan perlawanan dengan meletakkan yang mengancam dan yang berbeda sebagai musuh yang layak dibenci. Di era di digital seperti saat ini, sungguh ajaib, narasi-narasi kebencian mudah menjalar dan demikian massif di media sosial. Dan, secara faktual narasi kekebencian di dunia maya mempunyai korelasi signifikan dengan potensi benturan sosial di dunia nyata. Karena itulah, cara jitu mengadu domba adalah mengumbar narasi emosional dan sentimen identitas melalui media sosial.
Indonesia telah banyak menelan pengalaman akibat sentimen identitas yang dibungkus dengan narasi ketertindasan dan kebencian yang ditularkan melalui media sosial. Dalam berbagai kasus, pola dan modus ini berhasil menciptakan pengerahan massa dan suasana yang mencekam bahkan mengancam keanekaragaman. Dalam kondisi yang sangat tidak diinginkan tradisi pengerahan massa dengan sentimen identitas akan mudah ditunggangi oleh pesan-pesan radikal yang dapat menimbulkan kekerasan dan perpecahan.
Di Negara dengan kekayaaan perbedaan yang sungguh memukau seperti Indonesia ini, narasi kebencian dan emosional yang mencoba membenturkan antar identitas primordial merupakan sarana ampuh untuk memecah belah. Jika masyarakat tidak bisa menahan diri dari berbagai serbuan narasi kebencian dan provokasi di media sosial, tentu semuanya akan terjebak dalam permainan adu domba yang sangat mengkhawatirkan memecah belah persatuan.
Masyarakat Indonesia harus mengambil pelajaran dari berbagai kasus kekerasan dan konflik di negara seperti Timur Tengah yang tak kunjung reda. Kondisi yang damai dan penuh persaudaraan pada mulanya mudah dicabik dalam waktu singkat dengan narasi adu domba yang banyak menyebar di media sosial. Kegaduhan, perpecahan, konflik dan kekerasan adalah ladang bagi kelompok kepentingan untuk merusak keutuhan dan kedaulatan suatu bangsa.
Menyikapi hal tersebut, masyarakat harus mengedepankan kehati-hatian dan tidak gegabah dalam menangkap, memaknai dan menyikapi setiap peristiwa. Setidaknya, kondisi dengan potensi narasi adu domba dan hasutan ini akan terus muncul dengan menunggangi isu apapun yang dapat mempertemukan benturan identitas.
Sejak dari awal masyarakat harus menyadari bahwa ada kepentingan yang ingin memecah belah persatuan dengan narasi adu domba. Kesadaran ini harus ditanam sehingga dalam kondisi apapun masyarakat bisa melakukan tiga langkah ini. Pertama, cerdas bermedia sosial. Narasi adu domba akan banyak bertebaran di media sosial dengan bungkus informasi yang menyesatkan (hoax). Jangan mudah percaya dengan cara selalu rajin memverifikasi kebenaran suatu informasi. Pahami suatu peristiwa secara utuh dari berbagai sudut pandang dan perspektif yang luas.
Kedua, bisa menahan diri. Masyarakat tidak boleh gegabah dan reaktif terhadap peristiwa kontroversial yang nyata ingin menggiring pada kericuhan dan kegaduhan. Ambil langkah cerdas dengan tanpa harus dipaksa masuk dalam lingkaran adu domba. Banyak saluran aspirasi yang secara prosedural dapat dilakukan ketimbang harus menghakimi sesuatu peristiwa dengan cara main hakim sendiri. Budaya musyawarah harus dikembalikan menjadi cara masyarakat Indonesia menyelesaikan kontroversi.
Ketiga, menguatkan persaudaraan kebangsaan. Inilah yang terpenting untuk selalu terpatri di setiap sanubari masyarakat sebagai warga Negara. Serumit apapun persoalan dan sekeras apapun benturan antar identitas, kita semua berada dalam kerangka persaudaraan sebangsa dan setanah air. Ketika benturan identitas primordial terjadi, masyarakat harus mengembalikan pada imajinasi komunitas yang terbentuk karena kesamaan nasib dan sejarah sebagai suatu bangsa yang bernama Indonesia. Indonesia bukan milik kelompok agama tertentu, bukan etnis tertentu, dan bukan suku tertentu, tetapi Indonesi adalah rumah besar yang menaungi dan melindungi seluruh masyarakat yang beragam.
Berbagai peristiwa kontroversial yang terjadi di media sosial telah banyak menyedot energi dan emosi masyarakat. Tentu saja, semua itu harus menjadi pelajaran dan kesadaran bahwa bangsa ini akan terus kuat karena persatuan dan persaudaraan. Jangan mudah diadu domba dengan narasi apapun yang dapat memecahbelah persatuan dan persaudaraan.
Jaga Indonesia dari adu domba.