Tahun politik memang selalu diringi dengan hal-hal yang mengejutkan. Sesuatu yang di hari biasa tidak jadi soal, begitu masuk tahun politik, mendadak viral dan jadi bincangan warganet serta warga di warung-warung ataupun akademisi di kampus. Suatu hal yang tidak terlalu bertendensi, bisa dimaknai sebagai serangan kepada kelompok tertentu.
Begitu juga dengan ungkapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini. Saat menghadiri pembagian sertifikat hak atas tanah untuk Masyarakat di Jakarta Selatan, Selasa (23/10), Presiden RI ini mengeluarkan istilah yang dianggap sementara kalangan sedikit kasar dan tidak pantas, yakni ‘Politik Sontoloyo’. Ungkapan tersebut sebenarnya muncul dari kegeraman Jokowi melihat perpolitikan tanah air yang mendadak gaduh, tiap lima tahun sekali. Bahwa hanya karena musim pemilu, niat baik pemerintah selalu dimaknai sebagai langkah politis untuk meraup simpati masyarakat.
Lebih lanjut, presiden menjelaskan maksud dari ungkapannya. Ungkapan tersebut merujuk pada politik kebencian, politik adu domba, dan politik pecah belah. Pun, termasuk politik sontoyo cara-cara meraup simpati masyarakat dengan segala cara sekalipun itu menyimpang. Menyerang lawan politik dengan cara tidak beradab, tidak beretika, dan tidak bertata krama.
Sebenarnya, istilah sontoloyo, telah dikenalkan oleh Soekarno. Istilah yang dipakai waktu itu adalah untuk mengkritisi umat Islam yang miskin spiritualitas. Mereka dengan bangga menuduh orang lain atau produk Barat sebagai kafir dan haram untuk memakai atau mempelajarinya. Juga, kritik atas muslim yang ahistoris dan taklid buta. Inilah yang oleh Soekarno disebut-sebut sebagai pemicu kemunduran peradaban Islam, khususnya di Indonesia.
Setali tiga uang dengan ungkapan Soekarno, Jokowi sebenarnya cerdas dengan mengenalkan istilah sontoloyo kepada publik. Meski itu bernada makian (sontoloyo dalam KBBI bermakna konyol, bodoh, tidak beres), tapi mampu menjelaskan realitas politik tanah air yang mulai kehilangan spirit keberagamannya -atau meninggalkan etika politik. Spirit yang dulu digaungkan dan diagung-agungkan politikus-negarawan Indonesia, kini dikangkangi dan dihinakan oleh (oknum) politisi yang menghalalkan segala cara untuk raih dukungan publik. Pada akhirnya, begitu kata Jokowi, kebhinekaan yang telah terjalin indah-rapi, terkoyak kembali lantaran politik sontoloyo.
Santri Cerdas, Tangkal Politik Sontoloyo
Dinamika politik semacam ini sangat sayang untuk diabaikan, terutama kaum santri yang nota bene memiliki daya lebih dalam merespon realitas hidup -karena hidupnya telah terlatih selama di pesantren, agama dipelajari, pengetahuan umum dipelajari, dan perkembangan zaman diikuti. Maka dari itu, santri zaman sekarang, yakni santri milenial (lahir tahun 1980-an sampai 2000), mesti ikut andil dalam mengedukasi masyarakat.
Berkaitan dengan realitas politik sontoloyo, santri mesti mampu menjadi garda terdepan dalam meredam kegaduhan. Cara-cara yang sontoloyo mesti disikapi dengan cerdas, jangan malah ikut di dalamnya. Adu domba dan provokasi bernuansa politis mesti ditangkal oleh santri, baik dalam sikap maupun perbuatan. Secara sikap, santri tetap pegang teguh prinsip-prinsip islam dan kebangsaan. Sementara perilakunya, tak lain adalah pengejawantahan atas sikap tersebut. Politik sontoloyo hanya akan membawa Indonesia pada kegaduhan tiada ujung, karena itu, diperlukan agen yang tidak hanya berwawasan luas untuk meredam, tapi juga memiliki kedalaman batin yang luar biasa. Di mana lagi bisa menemukan pribadi sekaliber itu, jika bukan di pesantren?
Santri cerdas, mampu dan siap menangkal efek samping politik sontoloyo. Jika tidak bisa dengan kekuasaan, karena bukan jatahnya, maka bisa dengan keypad gawai dengan menyebarkan konten positif di media sosial. Kiranya itu yang bisa dilakuka santri hari ini. Semoga, peringatan Hari Santri Nasional tahun ini (yang telah berlalu) tidak sekadar seremonial belaka. Semoga.