Damaikan Indonesia dengan Segelas Kopi

Damaikan Indonesia dengan Segelas Kopi

- in Narasi
1411
0
Damaikan Indonesia dengan Segelas Kopi

Wajah Indonesia tampak semakin tegang dengan hadirnya konflik pada hampir semua lapisan masyarakat. Media-media baca terbilang ramai dengan isu kekerasan akibat permusuhan antar sesama warga Negara yang muncul silih berganti. Mulai dari konflik antar umat beragama, disusul oleh perang supporter sepak bola, dan yang lebih me-nasional ialah konflik dua kubu calon presiden untuk Pemilu 2019 mendatang. Keadaan ini jelas telah menodai semboyan Indonesia yang sejak dulu digaung-gaungkan, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”.

Barangkali, quote Soekarno yang berbunyi, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri” ini memang gambaran nyata kehidupan sekarang. Tantangan bangsa kita hari ini bukan lagi penjajah dari Negara lain seperti dulu, melainkan sekawan sendiri yang tak henti-henti membuat konflik dan mengajak perang. Hal ini justru lebih sulit dari perjuangan orang terdahulu di masa kolonial Belanda. Kalau dulu, kita puas melihat penjajah terkapar akibat tangan kita sendiri, sekarang mungkinkah tega berbuat demikian pada saudara sebangsa sendiri?

Ketenangan masyarakat Indonesia sungguh terganggu. Petugas kepolisian, media dan pihak pembela kelompok tertentu kewalahan menyelesaikan konflik yang tak kunjung usai ini. Belum selesai satu konflik, malah disusul konflik lain yang lebih mengerikan. Salahnya, kita lalai untuk menelaah faktor yang memunculkan konflik tersebut. Kita lupa bertanya, apa sebenarnya yang memicu ‘lahirnya’ dan ‘berkembang-biak’-nya masalah ini?

Sejauh yang penulis amati, adanya konflik yang menimpa masyarat kita ini dipicu oleh beberapa hal. Pertama, karena masyarakat kita masih terlalu awam untuk menolerir perbedaan. Ketika satu golong menemui golongan lain yang tidak sama, maka golongan lain tersebut dicap salah dan mesti dibumi-hanguskan. Padahal, sejatinya, perbedaan adalah rahmat Tuhan yang menjadi kekayaan bagi Indonesia tersendiri.

Kedua, karena masyarakat kita tidak terbuka. Ketidak-terbukaan inilah yang acapkali menimbulkan kesalahpahaman. Antar masyarakat tidak saling mengerti apa yang sebetulnya ingin diekspresikan demi memenuhi kebutuhan masing-masing. Juga tidak saling mendengar curahan saudara sebangsanya terkait alasan dalam mengambil jalan pikiran. Masyarakat kita masih mudah keburu mengatai ‘munafik’.

Ketiga, saling tidak percaya. Masyarakat terlalu dalam menaruh kecurigaan antar sesama sehingga akan sangat mudah didorong emosinya oleh hasutan-hasutan yang sengaja disebar demi kepentingan yang sifatnya politis. Dalam hal ini, masyarakat kita dengan mudahnya menelan hasutan itu dan menyikapinya secara reaksional.

Ketua Gusdurian, Yenni Wahid, dalam sebuah acara Catatan Najwa pada tanggal 25 Mei lalu di UIN Sunan Kalijaga mengungkapkan bahwa segenap konflik yang terjadi di Indonesia cenderung didasari penyebab karena kekurang-terbukaan satu sama lainnya. Masyarakat kita masih kurang aktif berkomunikasi untuk menyampaikan aspirasinya sehingga sulit dimengerti oleh masyarakat kalangan lain.

Pendapat ini memperoleh dukungan dari ketua Pemuda Muhammadiyah, Danhil Anzar Simajuntak tetapi dengan diksi berbeda. Bahwa pertikain di Indonesia disebabkan karena masyarakat Indonesia kurang ngopi. Dalam hal ini, untuk kalangan pemuda Yogyakarta, ngopi tidak berarti duduk minum kopi diwarung dengan me-ghiba orang lain. Akan tetapi, lebih kepada aktivitas berkomunikasi antar orang yang satu dengan yang lainnya. Untuk pemuda Yogya, kegiatan ngopi biasanya diisi diskusi dan membicarakan permasalahan serius serta mencari-cari solusi permasalahan yang tengah diperbincangkan.

Setelah mengetahui ungkapan dua tokoh di atas, maka kita akan mendapati bahwa sebetulnya penyebab munculnya konflik bangsa kita sebenarnya sangat sederhana, yaitu bahwa kita hanya jarang terbuka untuk berkomunikasi. Dengan istilah lain, kita melalaikan kegiatan ngopi yang sebenarnya manfaatnya sangat besar.

Di Yogyakarta, dampak ngopi begitu jelas bagi kalangan mahasiswa, terutama aktivis Jogja. Baik dari segi kekompakan dan toleransi sudah tak perlu diragukan lagi. Boleh jadi hal ini juga berlaku pada masyarakat luar Yogyakarta kalau dibudayakan. Perlu digaris-bawahi dalam pernyataan ini lebih menyudutkan kepada pemuda atau mahasiswa yang ‘sering’ ngopi. Kalau ditemukan konflik sesama pemuda di Yogyakarta, maka perlu dicurgai mereka jarang ngopi.

Dalam secangkir kopi, sudah sangat cukup untuk membicarakan segenap kegelisahan yang ditimbulkan oleh gejala-gejala sosial yang terjadi di lingkungan sekitar. Ada yang sampai larut malam tidak berhenti berdiskusi, bahkan ada yang pulang pagi. Biasanya ketika suatu permasalah sudah dikaji ke akar-akarnya, akan lebih mudah untuk dicarikan solusi. Setelah segenap permasalahan bisa diatasi, barulah perdamaian bisa tercipta. Maka dari itu, marilah budayakan ngopi.

Facebook Comments