Darurat Propaganda Khilafah; Waspada Polarisasi Politik Ditunggangi Kaum Ekstremis

Darurat Propaganda Khilafah; Waspada Polarisasi Politik Ditunggangi Kaum Ekstremis

- in Narasi
42
0
Darurat Propaganda Khilafah; Waspada Polarisasi Politik Ditunggangi Kaum Ekstremis

Gelombang protes massa menyikapi sikap DPR RI yang berencana menganulir keputusan MK tentang RUU Pilkada kian meluas. Tidak hanya di Jakarta sebagai episentrum demonstrasi. Aksi massa juga terjadi di sejumlah kota di Indonesia. Ironisnya, aksi demonstrasi itu sebagian besarnya berkahir dengan kericuhan. Massa bertindak anarkistis dan vandalistik.

Fenomena ini mengingatkan kita pada pepatah lama, yakni “revolusi akan memakan anaknya sendiri”. yang masyhur dalam konteks Revolusi Perancis tahun 1789. Maknanya, revolusi kerap menimbulkan korban di kalangan anak bangsa.

Satu hal yang patut diwaspadai dalam kondisi ini adalah munculnya para free rider alias penumpang gelap yang menyusup ke gerakan massa tersebut. Mereka pura-pura mendukung agenda yang diusung oleh para mahasiswa dan masyarakat sipil. Padahal, sebenernya mereka punya agenda politik dan ideologisnya sendiri. Penumpang gelap itu dapat diidentifikasi ke dalam setidaknya dua kelompok.

Pertama, kelompok anti-pemerintah yang menang sejak awal sudah bersikap menolak semua kebijakan pemerintah. Kelompok ini selalu membangun narasi bahwa apa yang dilakukan pemerintah selalu salah. Kelompok ini selalu berupaya mendelegitimasi kinerja pemerintah dengan berbagai narasi maupun alibi. Menariknya, saban kali terjadi aksi demonstrasi, kelompok ini seolah ikut bersimpati dan mendukung gerakan rakyat. Padahal, sebelumnya mereka juga tidak pernah menunjukkan keberpihakan nyata pada rakyat.

Manuver Pengasong Khliafah Menunggangi Demonstrasi Massa

Kedua, kelompok kalah Pemilu atau Pilpres yang masih memendam sakit hati atau kekecewaan, lantaran jagoannya kalah dalam kontestasi beberapa saat lalu. Para barisan sakit hati ini akan melakukan apa saja untuk melampiaskan sakit hatinya kepada pemerintah atau pun pihak pemenang Pilpres 2024. Mereka juga tidak segan menunggangi isu sosial politik terkini untuk menyerang pemerintahan yang sah. Termasuk menunggangi demonstrasi mahasiswa belakangan ini.

Terakhir, kelompok pengusung agenda khilafah yang sejak awal memang menginginkan negara ini mengalami kekacauan sosial dan perpecahan dari dalam. Mereka memanfaatkan momentum sengketa antara DPR RI dan Mahkamah Konstisusi ini untuk membangun narasi bahwa sistem demokrasi itu rentan konflik, buruk, dan tidak sesuai dengan Islam. Meraka mem-framing bahwa kericuhan yang terjadi akibat demonstrasi itu sebagai bukti kegagalan demokrasi. Tujuan mereka jelas, yakni mengganti Pancasila dengan ideologi khilafah.

Di media sosial, kelompok ekstrem ini aktif menunggangi fenomena polarisasi politik ini dengan beragam narasi. Antara lain narasi “Indonesia Buruh Khilafah”, “Demokrasi Gagal, Khilafah Solusinya”, “Peringatan Darurat Penegakan Khilafah” dan lain sebagainya. Intinya, mereka berusaha mengail di air keruh. Memanfaatkan situasi chaos dan panas ini untuk mempropagandakan khilafah.

Lantas, apa yang kita kita lakukan untuk meredam manuver kaum ekstremis di tengah polarisasi politik ini? Langkah pertama, masyarakat sipil perlu mengkonsolidasikan ulang arah gerakannya. Jika tujuan demonstrasi adalah mencegah DPR RI membatalkan putusan MK tentang RUU Pilkada, maka hal itu telah tercapai. Para pimpinan DPR telah menggelar jumpa pers dan menjelaskan bahwa mereka membatalkan sidang pembahasan RUU Pilkada. Atau dengan kata lain, mereka memenuhi tuntutan demonstran.

Spirit Demokratisasi Harus Sejalan Dengan Kepentingan Menjaga NKRI

Demikian pula Pemerintah yang berkomitmen akan mematuhi aturan MK. Komitmen ini dijelaskan oleh perwakilan resmi Kantor Sekretariat Presiden. Dan yang terpenting, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga telah menyatakan akan memakai putusan MK sebagai dasar penyelenggaraan Pilkada 2024. Ini artinya, tidak ada alasan lagi bagi demonstran untuk terus melakukan aksi massa apalagi disertai aksi anarkistis dan vandalistik.

Kedua, media massa arus utama hendaknya mampu menghadirkan informasi yang membuat publik tenang dan tidak terprovokasi. Seperti kita tahu, dalam dua atau tiga hari belakangan ini media sosial kita riuh oleh berita simpang siur mengenai aksi demonstrasi massa. Ada informasi liar yang menyebutkan aparat keamanan menculik pada demonstran. Ada pula narasi yang menyatakan bahwa polisi akan menembaki para demonstran dengan peluru tajam.

Di tangah banjirnya informasi palsu dan kesimpang-siuran ini, media massa arus utama harus tampil menjadi clearing house dengan menghadirkan informasi yang valid, verifikatkif, dan komprehensif alias utuh. Informasi yang utuh ini penting mengingat kebanyakan informasi tentang demontrasi yang beredar di media sosial telah mengalami distorsi. Yakni dikurangi atau ditambahi dengan maksud menumbuhkan kebencian pada pemerintah.

Terakhir, para tokoh bangsa mulai dari intelektual sampai tokoh agama hendaknya perlu menyuarakan sikap yang menghimbau agar masyarakat bijak menyikapi situasi belakangan ini. Para tokoh masyarakat dan tokoh agama harus mengeluarkan seruan semua pihak, baik demonstran maupun aparat keamanan bisa sama-sama menahan diri untuk mencegah kekerasan terus meluas.

Arkian, kita patut menyadari bahwa situasi yang dipenuhi polarisasi apalagi kericuhan sosial adalah momen yang sangat ditunggu oleh kelompok ekstrem. Lantaran, di situasi seperti itulah mereka bisa dengan leluasa memperjuangkan agenda ideologisnya, yakni mendirikan khilafah Islamiyyah. Maka, kita tidak boleh lengah. Kepentingan untuk menyuarakan demokratisasi tentu harus sejalan dengan kewajiban untuk menjaga eksistensi Pancasila dan NKRI.

Facebook Comments