Bahaya Polarisasi; Ruang Gelap Demokrasi yang Rawan Disusupi Radikalisme

Bahaya Polarisasi; Ruang Gelap Demokrasi yang Rawan Disusupi Radikalisme

- in Narasi
56
0
Bahaya Polarisasi; Ruang Gelap Demokrasi yang Rawan Disusupi Radikalisme

Tujuh dekade lebih bangsa ini merdeka dan dua dekade lebih hidup di alam Reformasi. Namun, problem demokrasi kita dari masa ke masa itu tetap sama. Yakni ketiadaan kelas menengah sipil (civil society) yang kritis namun tetap independen dan rasional.

Dua dekade Reformasi ini memang melahirkan kelas menengah yang kritis terhadap pemerintah. Namun, kelompok ini kerap tidak independen, alias partisan. Mereka masih mudah dimobilisasi sikapnya dan eksploitasi pandangan politiknya oleh kelompok tertentu. Baik itu oleh kelompok oposisi destruktif yang anti-pemerintah, maupun kelompok radikal ekstrem berkedok gerakan agama.

Ketiadaan kelompok sipil menengah yang kritis dan independen inilah yang membuat bangsa kita begitu mudah terpolarisasi oleh isu-isu sosial, politik, dan agama. Seperti yang terjadi beberapa hari ini ketika terjadi silang pendapat antara Mahkamah Konstitusi dan DPR RI tentang RUU Pilkada. Masyarakat pun terbelah ke dalam dua kelompok besar yang saling berhadapan.

Di satu sisi, ada kelompok masyarakat yang kecewa atas niat DPR menganulir putusan MK tentang RUU Pilkada. Mereka pun menggelar aksi jalanan, dimotori oleh mahasiswa dari beragam universitas dan perguruan tinggi. Di sisi lain, ada kelompok masyarakat yang menyayangkan bahwa aksi protes itu dilakukan dengan penuh aksi kekerasan dan vandalisme.

Misalnya merusak pagar gedung DPR, membakar pos polisi, dan merusak fasilitas umum lainnya. Polariasi ini terjadi, sekali lagi, karena ketiadaan kelas menengah yang kritis dan independen. Kelompok sipil yang kritis dan independen ini dibutuhkan sebagai penyampai aspirasi publik secara elegan, bukan dengan jalur kekerasan.

Bahaya Polarisasi Bagi Masyarakat Multikultur dan Multireliji

Dalam konteks Indonesia yang multikultur dan multireliji, polarasasi adalah fenomena yang berbahaya. Polarisasi tidak hanya memecah-belah masyarakat menjadi dua kelompok besar yang saling berhadapan dan rawan konflik. Polarisasi tidak melulu membuat masyarakat ada dalam kondisi konfliktul dengan sesamanya.

Lebih dari itu, polarisasi akan menciptakan ruang gelap atau celah yang bisa dijadikan jalan bagi kaum radikal untuk menyusup ke dinamika demokrasi kita dan menghadirkan propaganda anti-kebangsaan. Dalam kondisi normal, ideologi radikal ekstrem seperti daulah islamiyyah atau khilafah islamiyyah itu dipastikan tidak akan laku.

Ideologi transnasional radikal itu hanya laku di negara yang tengah mengalami kekacauan sosial akibat sengketa politik atau kekuasaan. Ambil contoh misalnya di Suriah, ketika rezim Bassar al Ashad goyah akibat pemberontakan militant anti-pemerintah, maka muncullah ISIS yang menjadi monster baru dalam dunia terorisme global.

Atau kemunculan Taliban di Afganistan yang memanfaatkan momentum ketiadaan kekuasaan pasca berakhirnya peperangan melawan Uni Soviet. Belakangan, pola yang sama juga terjadi di Bangladesh. Ketika negeri itu tengah dilanda revolusi politik, kaum islamis militant yang sebelumnya tiarap tetiba bangkit dan melakukan genosida terhadap warga minoritas Hindu.

Gejala menyusupnya kelompok radikal ekstrem dalam setiap isu politik yang memantik polarisai ini tampak sangat jelas terjadi di Indonesia. Jika kita perhatikan, saban kali ada isu politik yang menimbulkan polemik publik, hampir bisa dipastikan kelompok radikal akan hadir dengan narasi khasnya.

Edukasi Politik untuk Mewujudkan Ekosistem Demokrasi yang Sehat

Pola yang selalu dipakai adalah narasi bahwa setiap persoalan yang dihadapi bangsa ini dilatari oleh penerapan sistem demokrasi. Problem korupsi, keterbelakangan pendidikan, sengkarut dunia kesehatan, bahkan sampai kerusakan lingkungan diklaim terjadi lantaran penerapan sistem demokrasi. Puncak dari klaim itu adalah narasi bahwa demokrasi itu sistem kafir dan tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Lalu, seperti mudah diduga mereka akan menawarkan ideologi khilafah sebagai solusi sapu jagat atas problem kebangsaan dan kenegaraan. Maka, salah satu cara efektif meredam propaganda khilafahisme dan ideologi radikal lainnya adalah dengan mencegah munculnya polarisasi yang dilatari isu politik. Carannya adalah dengan membangun ekosistem demokrasi yang sehat.

Sebagaimana kita tahu, demokrasi merupakan sistem politik yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan berekspresi di muka umum. Maka, menjadi wajar jika demokrasi pun rentan mengalami dinamika. Perbedaan pandangan dalam alam demokrasi dianggap sebagai hal yang niscaya. Kritik dan demonstrasi sebagai bagian dari kebebasan berekspresi pun tentu tidak dapat dipisahkan.

Memperkuat kelompok sipil kelas menengah yang kritis dan independen (non-partisan) adalah prasyarat penting untuk mewujudkan ekosistem demokrasi yang sehat. Disinilah edukasi politik menjadi penting untuk membangun literasi politik yang kuat. Masyarakat perlu dibangun kesadarannya tentang bagaimana berdemokrasi secara sehat dan steril dari ancaman polarisasi.

Selain itu, masyarakat harus belajar bagaimana mengekspresikan kebebasan berpendapat di muka publik dengan konstruktif, bukan destruktif. Sikap kritis publik adalah pilar penting berdemokrasi. Namun, sikap kritis yang destruktif seperti mewujud pada demonstrasi vandalistik hanya akan membuka celah bagi menyusupnya radikalisme dalam dinamika demokrasi.

Mewujudkan ekosistem demokrasi yang sehat adalah tanggung jawab semua elemen bangsa. Mulai dari keluarga, lembaga pendidikan, organisasi keagamaan, dan masyarakat pada umumnya. Edukasi politik penting dilakukan terutama pada gen Z yang idealisme dan kritisisme tengah memuncak, namun acapkali tidak dibarengi dengan kematangan berpikir dan bersikap.

Facebook Comments