Gelombang demonstrasi mahasiswa dan siswa sekolah menengah memprotes rencana DPR menganulir putusan MK tentang RUU Pilkada bisa dibaca dari dua perspektif atau sudut pandang. Pertama, demonstrasi mahasiswa dan anak SMA itu menunjukkan adanya animo anak muda terutama generasi Z terhadap isu politik termutakhir.
Bagaimana pun juga, sikap kritis gen Z adalah bagian dari keberhasilan demokratisasi yang selama ini berjalan di era Reformasi. Keberadaan gen Z yang kritis dan berpartisipasi aktif dalam isu politik adalah prasyarat mewujudkan agenda Indonesia Emas 2045. Generasi muda yang aktif dalam isu sosial politik akan membuat demokrasi kian dinamis. Dari situ, lahirlah diskursus pemikiran yang melahirkan inovasi atau terobosan yang visioner.
Kedua, fenomena demonstrasi yang dimotori kalangan anak muda itu menggambarkan bahwa mereka masih kurang dewasa dalam berdemokrasi dan kurang bijak dalam menerjemahkan makna kebebasan berekspresi dan berpendapat di muka umum. Salah satu indikasinya adalah masih banyaknya aksi demo yang berakhir ricuh dan menimbulkan korban fisik maupun kerusakan fasilitas umum.
Praktik anarkisme dan vandalisme dalam aksi demonstrasi menunjukkan bahwa ghiroh berdemokrasi gen Z itu masih dibayangi oleh praktik vandalisme dan anarkisme yang destruktif. Anarkisme merujuk pada perilaku sikap tidak percaya pada institusi atau lembaga negara yang punya otoritas untuk merumuskan kebijakan publik. Anarkisme ini berbahaya, lantaran berpotensi mendelegitimasi otoritas pemerintahan yang sah.
Sedangkan vandalisme adalah perilaku destruktif yang menyasar fasilitas umum. Misalnya merusak gedung pemerintah atau sekadar mencorat-coret tembok sebuah bangunan. Vandalisme berbahaya karena bisa menyulut api kekerasan yang lebih besar.
Demonstrasi Haruskah Diwarnai Vandalisme?
Di satu sisi kita tentu mengapresiasi antusiasme gen Z dalam merespons isu politik kontemporer. Namun, di sisi lain kita patut menyayangkan perilaku mereka yang masih dibayangi oleh anarkisme dan vandalisme. Tersebab, dua hal itu yang bisa menjadi celah bagi masuknya provokasi kekerasan yang kerap disebar kelompok radikal. Apalagi gen Z dikenal sebagai generasi yang menjadi sasaran atau target rekrutmen gerakan radikal keagamaan.
Maka, adalah hal yang urgen untuk memberikan pendidikan politik pada kaum generasi Z. Edukasi politik yang dimaksud dalam hal ini adalah membangun kesadaran Gen Z dalam mensinkronkan antara kepentingan menjaga demokrasi dengan kewajiban merawat integrasi bangsa. Bahwa kepentingan menjaga demokrasi itu tidak boleh memunggungi spirit mewarat integrasi. Integrasi bangsa dan eksistensi negara ini tidak lagi bisa ditawar dengan apa pun.
Selain itu, edukasi politik pada generasi Z idealnya diorientasikan untuk membangun kesadaran tentang pentingnya menyampaikan pendapat di muka umum dengan cara santun dan elegan. Kaum gen Z harus paham bahwa demokrasi Indonesia bukan liberal, melainkan berbasis pada Pansasila. Dalam bingkai demokrasi Pancasila, kebebasan tidak bersifat absolut melainkan dibatasi oleh aturan hukum positif dan etika sosial.
Jika dibaca dalam konteks kekinian, cara penyampaian aspirasi publik dengan protes jalanan apalagi dibumbui dengan anarkisme dan vandalisme sebenarnya kurang relavan. Di era digital seperti sekarang, penyampaian aspirasi publik sebenarnya bisa melalui media sosial. Penetrasi media sosial yang kian masif ke seluruh lini kehidupan sosial, terutama kaum gen Z seharusnya menghadirkan model baru dalam berdemokrasi.
Teknologi digital memungkinkan media sosial menjadi ruang publik baru sebagai arena kontestasi opini atau gagasan publik. Di media sosial itulah, diskursus pemikiran diproduksi dan dikontestasi untuk mendapatkan perspektif baru dalam menyelesaikan masalah. Termasuk masalah yang muncul karena sengketa antarlembaga negara seperti terjadi antara MK dan DPR belakangan ini.
Pentingnya Edukasi Politik
Edukasi politik ini tentu harus dimulai dari lingkup yang paling kecil, yaitu keluarga. Model pengasuhan anak di ranah domestik atau rumah tangga idealnya berbasis pada model pengasuhan terbuka. Membiasakan anak untuk menyampaikan pandangannya serta menyelesaikan persoalan dengan cara diskusi dan dialog akan menjadi fondasi penting sikap politik anak di masa depan.
Selanjutnya, di lingkup pendidikan, siswa harus diajarkan untuk menyampaikan pendapat secara konstruktif sejak dini. Desain pembelajaran yang mendorong siswa untuk menyampaikan pandangan secara etis akan membentuk generasi demokratis yang anti pada perilaku anarkistis dan vandalistik.
Artinya, secara umum kita harus membangun budaya demokrasi yang subtansial, bukan sekadar prosedural atau formalistik. Esensi demokrasi bukan sekadar memberikan suara ketika Pemilu atau melakukan demonstrasi merespons kebijakan pemerintah. Hakikat demokrasi yang sesungguhnya adalah bagaimana kita mengelola perbedaan pandangan itu dengan diskusi dan dialog, bukan dengan pengerahan massa apalagi disertai praktik kekerasan.
Demokratisasi mustahil tercapai tanpa adanya tradisi critical thinking. Sayangnya, kita kerap salah kaprah memahami apa itu critical thinking. Masyarakat kadung mengidentikkan critical thinking sebagai tindakan memprotes segala sesuatu. Padahal, critical thinking adalah kemampuan untuk memetakan dan mencari solusi atas sebuah persoalan. Gen Z tentu harus punya critical thingking dalam definisi yang benar.