Demokrasi : Kritikan atau Umpatan?

Demokrasi : Kritikan atau Umpatan?

- in Narasi
417
0
Demokrasi : Kritikan atau Umpatan?

Kritik merupakan dimensi yang fundamental dari bangunan demokrasi. Maka, perlu ada oposisi, entah parlemen ataupun jalanan, yang secara konsisten menyampaikan suara kenabian atas nama rakyat. Sayangnya, oposisi yang muncul di panggung sering kali kehilangan legitimasi moral karena motif, intensi, dan modus kontradiktif dengan prinsip etika politik. Sebagaimana kritikan Rocky Gerung kepada Presiden Jokowi dengan menggunakan kata-kata yang tidak pantas diucapkan.

Kritik yang ideal mengandaikan hal-hal dasar ini ada. Pertama, oposisi memahami kritik sebagai penguatan terhadap demokrasi, bukan senjata merebut kekuasaan dengan mengotori ruang publik dengan fitnah, berita palsu, dan kebencian. Berikut, proses dialektis dalam ruang publik mengedepankan tak sekadar fakta empiris, tetapi juga motif moral, karena tanpa keduanya, kritik hanyalah kobaran api yang berpotensi menghanguskan. Yang ketiga, ruang publik sebagai medan diskursif yang bebas, terbuka, dan transparan.

Tokoh generasi kedua Mazhab Frankfurt, Jurgen Habermas (lahir 1929), menekankan tindakan komunikatif dalam praksis demokrasi. Baginya, kritik tanpa adanya ”interaksi komunikatif” (dengan adanya saling pengertian) hanya merupakan tindak penaklukan. Pandangan Habermas mungkin dipengaruhi hilangnya harapan pada gerakan mahasiswa Kiri yang malah cenderung anarkis dan penuh kekerasan—sebagaimana tertuang dalam Protestbewegung und Hochschulreform (1969).

Yang jelas, ia telah mengakhiri kebuntuan Teori Kritis di tangan para pendahulunya (Adorno, Horkheimer, dan Marcuse), sekaligus memberikan pencerahan baru dalam memahami ontologi demokrasi modern di tengah faksionalisme sosial dan ideologis yang kompleks dan tajam. Kalau Teori Kritis lama penuh pesimisme tanpa solusi yang jelas, Habermas justru memasukkan konsep komunikasi ke dalam gerakan kritis ini yang berlanjut pada pendalaman tentang demokrasi deliberatif.

Ketika berbicara demokrasi deliberatif, Habermas menekankan sentralitas ruang publik sebagai wahana masyarakat untuk menghimpun kekuatan solidaritas melawan mesin pasar dan mesin politik. Berdemokrasi tak hanya berbicara tentang prosedur, tetapi bagaimana prosedur dibuat dan apa peran warga negara di dalam proses tersebut.

Mereka yang berseberangan dengan administrasi Presiden Jokowi harusnya masuk ke langgam paling luhur dari proses politik yaitu kedaulatan rakyat. Karena sebagai tindakan komunikatif yang menempatkan publik sebagai subyek dari perubahan sosial-politik, deliberasi mesti memantulkan suara rakyat dan bermakna pencerdasan publik.

Demokrasi Pancasila

Dengan demikian, Indonesia memiliki demokrasi yang khas. Yakni demokrasi dengan dasar nilai-pancasila. Sehingga bebas berpendapat, tetapi juga diharuskan untuk menjaga persatuan dan kesatuan NKRI. Maka, mengkritik pemimpin boleh, asalkan menggunakan etika yang baik dan dengan prisnsip tidak memmecah belah bangsa.

Facebook Comments