Densus 88 Tangkap Terduga Teroris di NTB: Jejak Indoktrinasi Ideologi Kekerasan yang Masih Menjadi Ancaman Nyata!

Densus 88 Tangkap Terduga Teroris di NTB: Jejak Indoktrinasi Ideologi Kekerasan yang Masih Menjadi Ancaman Nyata!

- in Faktual
17
0
Densus 88 Tangkap Terduga Teroris di NTB: Jejak Indoktrinasi Ideologi Kekerasan yang Masih Menjadi Ancaman Nyata!

Kamis, 19 Juni 2025, Densus 88 Anti Teror Polri mengepung sebuah rumah sederhana di tengah pemukiman warga. Tanpa suara ledakan atau tembakan, seorang pria berinisial AH digiring keluar dari kediamannya. Penangkapan berlangsung cepat dan senyap, tetapi maknanya jauh lebih dalam: Indonesia belum benar-benar bebas dari cengkeraman jaringan radikal dan terorisme. Di balik keheningan itu, sebuah pesan jelas tersampaikan—ancaman terorisme masih hidup, bersembunyi di balik wajah-wajah yang tampak biasa-biasa.

Ini bukan sekadar penangkapan. Ini adalah peringatan. Bahwa sel-sel tidur masih eksis, menyusup dalam lapisan masyarakat yang tampak damai. AH bukan figur publik, bukan nama besar, tapi itulah justru bentuk ancaman hari ini: tersembunyi, tidak mencolok, namun berpotensi mematikan. Ketika masyarakat merasa aman, ketika perhatian publik tertuju ke hiruk-pikuk politik global, kelompok-kelompok radikal bekerja dalam senyap—membangun jaringan dan menyebar doktrin dengan janji-janji palsu atas nama agama dan perjuangan.

Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) bukan wilayah yang asing dalam peta radikalisme Indonesia. Dalam dua dekade terakhir, kota ini beberapa kali disebut sebagai tempat persembunyian, rekrutmen, atau pelarian bagi jaringan teroris domestik. Kombinasi antara keterbatasan ekonomi, akses pendidikan yang belum merata, serta ruang-ruang keagamaan yang minim pengawasan dari otoritas keagamaan nasional, membuat sebagian masyarakatnya rentan menjadi sasaran indoktrinasi. Tidak mengherankan jika kelompok-kelompok ekstrem memanfaatkan ruang-ruang itu untuk menyusup dan memperluas pengaruh mereka.

Penangkapan AH, menurut informasi sementara, terkait dengan dugaan keterlibatan dalam jaringan teroris berbasis ideologi takfiri—paham yang mengkafirkan pihak di luar kelompoknya. Meski belum diungkap secara rinci apa peran AH dalam jaringan tersebut, langkah Densus 88 menunjukkan bahwa ancaman bukan lagi berskala besar seperti dulu—bukan soal bom di hotel mewah atau pusat perbelanjaan, melainkan individu-individu yang bergerak sunyi namun menjadi bagian dari ekosistem kekerasan ideologis yang meluas.

Fenomena ini merefleksikan perubahan wajah terorisme di era digital. Bila dulu proses rekrutmen dan pelatihan dilakukan secara fisik melalui pelatihan militer di pedalaman, hari ini cukup dengan koneksi internet dan ponsel pintar, seseorang bisa diseret dalam arus radikalisme. Propaganda berbentuk ceramah daring, kutipan ayat-ayat yang dikaburkan maknanya, hingga video martyrdom yang mengagungkan kekerasan, menjadi alat utama bagi kelompok teroris untuk menjaring simpati dan loyalitas dari kelompok masyarakat.

Kita patut mengapresiasi langkah cepat aparat dalam mengantisipasi potensi bahaya. Namun, lebih dari itu, kita harus belajar untuk tidak terlena oleh kondisi yang tampak tenang di permukaan. Radikalisme tidak selalu muncul dalam bentuk kerumunan atau teriakan lantang. Ia bisa tumbuh dalam diam—melalui percakapan di grup kecil, melalui postingan singkat di media sosial, atau melalui ajakan halus dari sesama warga. Masyarakat harus menjadi mata dan telinga bangsa dalam mendeteksi potensi bahaya yang bergerak di antara kita.

Penangkapan AH adalah cermin bahwa kita tidak bisa menganggap perang melawan terorisme sudah selesai. Ancaman mungkin tidak selalu berbentuk bom yang meledak di pusat kota, tapi bisa berupa pola pikir yang menyusup ke rumah-rumah, sekolah, dan bahkan masjid. Indonesia membutuhkan kewaspadaan kolektif, keberanian untuk menegur yang menyimpang, dan komitmen untuk terus menjaga ideologi kebangsaan dari infiltrasi paham kekerasan. Karena jika kita lengah, sejarah bisa berulang—dan kali ini, bisa jadi lebih mematikan.

Facebook Comments