Umat Islam kembali dihebohkan dengan sebuah analisa adanya peristiwa besar di pertengahan bulan Ramadhan tahun 2020 ini. Peristiwa ini terjadi adanya suara besar yang mengoncang warga dunia. Kemudian, di bulan Syawal terjadi hura-hara dan kekacuan serta perselisihan antar kelompok yang melibatkan warga dunia dan di Bulan Zul’qadah, Zulhijjah dan Muharam terkadi peperangan mengakibatkan banyaknya korban.
Narasi demikian dihembuskan beberapa kaum agamawan dalam memberikan tausiyah, ditambahkan isu pandemi Covid-19 menjadi masyarakat tambah panik, takut bahkan gelisah. Asumsi diperkuat dengan peristiwa aneh di masa pandemi, mulai dari masjidil Haram yang sempat ditutup untuk beribadah, serta bunyi aneh yang tidak diketahui sumberya beberapa hari yang lalu oleh sebagian orang Jakarta, Depok, dan Bogor. Hingga yang terakhir, muncul fenomena mendadak cacing di daerah solo, klaten dan sekitarnya.
Narasi-narasi ini bersifat prediktif telah menyebar hampir semua lapisan masyarakat, mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, hingga grup Whastup. Pertanyaan sekarang dari mana sumber narasi-narasi demikian, bukankah saat ini dunia sedang mengalami keprihatinan dan rasa duka mendalam. Tapi, masih saja narasi demikian yang meresahkan masyarakat.
Jika memahami prinsip dasar beragama mengenai isu “Hari Akhir” dalam ranah agama Islam boleh-boleh saja. Itu menjadi hak keimanan seorang, namun dalam ajaran Islam menegaskan bahwa “kiamat” informasi masih rahasia. Tetapi banyak aneka narasi yang mencoba diolah ulang dan dipaparkan sebagai informasi keagamaan di masyarakat.
Solusi utama menghadapi “Dukhon” sebagai tanda hari kiamat
Kapitalisasi narasi isu “Hari Akhir” menjadi bahan ceramah tersebar luas di linimasa. Isu “Hari Akhir” mengaitkan dengan adanya “Dukhan” yang terjadi di pertegahan bulan Ramadhan akan datang. Berbagai dalil dibangun untuk menganalisis kejadian akan bener-bener terjadi tidak lama lagi.
Baca Juga : Puasa di Masa Corona: Perkuat Institusi Keluarga dan Lawan Provokasi Agama!
Pertama-pertama dalam menghadapi kapitalisasi isu “Dukhon” sebagai tanda akhir zaman disadari atau tidak sebagai produk wacana saja. Belum ada yang menjamin atas kejadian tersebut. Untuk itu masyarakat tetap tenang tak usah terpancing, apalagi melakukan tindakan yang memperkeruh suasana di tengah pandemi global.
Kedua, sebagai umat Islam harus mempercayai dan iman terhadap hari akhir. Tetapi, proses dalam menelaah isu akhir zaman dikaitkan isu “Dukhan” harus arif dan bijak. Literasi keagamaan kita harus dibuka untuk memahami apa sebenarnya peristiwa-peristiwa tanda akhir zaman. Itu tanda sebagai masyarakat tak latah dalam menyaring suatu informasi.
Terakhir, dialetika perdebatan mengenai pusaran “Dukhon” dalam isu tanda hari kiamat pada ramadhan ini, melihat beragam ulama-ulama beragumen dalam menengahi isu “Dukhon”. Salah satunya, al-Qurtubhi dalam tafsirnya, Proyeksi proses “Dukhan” dijelaskan di dalam tafsirnya Qs. Al-Dukhon ayat 10.
Dalam surat al-Dukhan ayat 10, Allah berfirman:
فَارْتَقِبْ يَوْمَ تَأْتِي السَّمَاءُ بِدُخَانٍ مُبِينٍ
Artinya:
“Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata”
Pertama, “Dukhan” salah satu syarat atau pertanda kiamat yang sebelum tidak pernah terjadi. Al-Dhukhan mendiami bumi selama empat puluh hari, memenuhi kosong langit. Adapun orang mumin akan mengamalami al zukam semacam flu, pilek atau demam, sementara pada orang-orang kafir dhukhan akan masuk melalui hidung dan telinga mereka sehingga mereka sesak nafas.
Al-Qurthubi juga menukil riwayat bahwaal-dukhanini belum pernah terjadi sebelumnya. Ia menyebut nama-nama yang sepakat dengan ini yakni sayyidina Ali, ibn Abbas, Abu Hurairah, Zaid bin Ali, al-Hasan, dan ibn Abi Mulaikah. Al-Qurthubi mengutip dari al-Mawardi riwayat marfu’ dari Abu Said al-Khudri bahwasanyaal-Dukhanmenimpa manusia pada hari kiamat. Mukmin akan terkenaal-zukamsementara orang kafir akan dirasukial-Dukhanmelalui telinga.
Beberapa umat manusia mengidefikasi al-dukhan dan al-zukam dengan covid-19. Tafsir ini menurut peneliti Muhammad Fathur Rozaq dalam tulisan Tafsir Surat Al-Dhukhan ayat 10 : Tanda Kiamat, Dukhan dan Covid 19 ? mengatakan, Apa yang diterangka al-Qurtubhi bukanlah kaul satu-satunya. Dua pendapat sesudah melemahkan kaul pertama tersebut. Lagi pula apabila ada yang meyakini pertama lebih unggul mengatakan bahwa al-dukhon covid-19 maka keyakinan ini tertolak dengan adanya fakta bahwa wabah ini telah wujud lebih dari 40 hari.
Dakwah Agama Menyejukan bukan Menakutkan
Beragam counter-narasi ini, menjadi langkah yang tempat dalam mengatasi kecemasan sosial, merujuk apa yang ditulis Fakhrudin Ar-Razi dalam kitab Mafatih Al-Ghaib bahwa diantara himah tidak diketahui waktu terjadi hari kiamat adalah agar setiap musim tetap beribah dan mencegah diri agar setiap muslim tetap beribadah tanpa harus mengetahui kapan terjadi kiamat.
Pendapat Fakhrudin Ar-Razi relavan hingga saat ini, tugas kita saat ini beribadah yang semestinya, tampa memperhatikan narasi-narasi ini. Ini menjadi penting, agar kondisi dalam akar rumput masyarakat beragama menjadi kondusif dalam menyambut suasana Ramadhan. Di samping itu para agamawan mampu hadir di dalam masyarakat menjelaskan agama yang menyejukan bukan menakutkan. Itu dimensi agama yang saat ini hilang, dakwah yang menyejukan menjadi solusi utama dalam menyelesaikan beragam narasi ini. Wallahu ala’ bis showaf