Distorsi Dakwah Kaum Fundamentalis; Antara Obsesi Politis dan Ambisi Ideologis

Distorsi Dakwah Kaum Fundamentalis; Antara Obsesi Politis dan Ambisi Ideologis

- in Narasi
72
0

Islam adalah agama dakwah. Dalam artian, setiap muslim mengemban kewajiban untuk menyebarkan ajaran Islam. Secara etimologis Bahasa Arab, makna dakwah adalah mengajak pada kebaikan. Sedangkan secara teknologis, dakwah bermakna mengajak, menyeru, atau memanggil orang lain untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran agama (Islam).

Dakwah mengalami perkembangan sesuai dengan dinamika peradaban Islam itu sendiri. Di masa periode awal Rasulullah, dakwah berorientasi mengajak masyarakat Arab untuk memeluk Islam.

Pendekatan dakwah yang dilakukan Rasulullah awalnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan personal. Rasulullah juga mengedepankan cara perdamaian untuk menarik simpati komunitas Arab pada ajaran tauhid yang dia bawa.

Di masa Khulafaur Rasyidin, dakwah keislaman disebarluaskan melalui pendekatan yang lebih terbuka dan masif. Pada titik tertentu, dakwah Islam juga dilakukan dengan cara konfrontatif, bahkan peperangan. Di masa itu, dakwah keislaman berkelindan dengan kepentingan ekspansi wilayah.

Di masa sekarang, perkembangan dakwah secara garis besar bisa diklasifikasikan ke dalam dua corak. Pertama, dakwah yang mengedepankan pendekatan sosio-kultural. Model dakwah ini tidak semata berorientasi pada konversi keagamaan alias mengislamkan orang lain. Melainkan juga sebagai media menyebarkan pesan perdamaian antar umat manusia. Model dakwah sosio-kultural ini berkembang di Nusantara sejak era Walisongo.

Menyoal Dakwah Konfrontatif

Kedua, model dakwah konfrontatif yang cenderung berorientasi semata pada agenda konversi agama (mengislamkan sebanyak mungkin orang). Model dakwah ini kerap memakai cara-cara yang represif, alias cenderung punya tendensi untuk memaksa. Model dakwah yang demikian ini dikembangkan terutama oleh kalangan fundamentalis.

Dalam pandangan mereka, dakwah cenderung dimaknai sangat kaku sebagai upaya menarik sebanyak mungkin orang untuk masuk ke dalam Islam. Dengan kata lain, orientasi mereka adalah pada kuantitas alias berapa banyak jumlah orang yang bisa diislamkan.

Dalam praktiknya, dakwah ala kaum fundamentalis yang berorientasi pada kuantitas, alih-alih kualitas keislaman ini cenderung problematik. Dalam konteks Indonesia yang multireliji, model dakwah kaum fundamentalis ini cenderung potensial menimbulkan konflik horisontal. Dakwah yang mengedepankan pendekatan represif-agresif yang menyasar ke komunitas-komunitas non-muslim dalam banyak hal telah menyulut ketegangan sosial antaragama.

Apalagi, di lapangan model dakwah ala kaum fundamentalis ini kerap mengumbar klaim kebenaran Islam sembari menjelek-jelekkan agama lain. Model dakwah yang demikian ini cenderung abai pada rasa simpati dan empati. Sebaliknya, model dakwah persuasif agresif ini cenderung memecah-belah masyarakat.

Model dakwah konfrontatif sebagaimana dilakukan kaum fundamentalis adalah ancaman serius bagi kemajemukan. Para pendakwah fundamentalis ini membajak mimbar dakwah untuk menebarkan kebencian pada agama lain. Mereka, tanpa segan kerap mendesakralisasi ajaran dan simbol agama lain.

Dalam pembacaan yang lebih luas, corak dakwah kaum fundamentalis ini terjebak ke dalam dua kepentingan. Di satu sisi, model dakwah fundamentalis ini cenderung terjebak pada obsesi politis.

Mengembangkan Dakwah Dialogis

Hal ini tampak pada materi dakwah yang selalu mengusung tema tentang penerapan hukum Islam (formalisasi syariah). Salah satu ciri menonjol pendakwah fundamentalis adalah materi dakwahnya yang selalu berkutat pada aspek politik Islam. Mereka dengan intonasi berapi-api menceritakan kejayaan Islam di masa kekhalifahan.

Kisah tentang bagaimana Islam melahirkan ilmuwan di segala bidang selalu direpetisi di setiap mimbar dakwah. Klimaksnya adalah narasi propaganda bahwa kekayaan Islam hanya bisa kembali diraih, jika umat menegakkan hukum Islam (syariah) dan mendirikan negara Islam (daulah islamiyyah).

Di sisi lain, model dakwah kaum fundamentalis ini juga kental dengan ambisi ideologis, yakni menjadikan Islam sebagai ideologi tunggal untuk mengatur seluruh umat manusia. Para pendakwah fundamentalis kerap membangun persepsi bahwa dunia saat ini tengah ada dalam fase kebobrokan.

Bahwa kemiskinan dan ketidakadilan terjadi dimana-mana. Juga bahwa umat Islam hidup dibawah rezim kafir-thaghut. Dalam konteks Indonesia, frase kafir-thaghut itu merujuk pada pemerintah NKRI, UUD 1945, dan Pancasila.

Para pendakwah fundamentalis lantas mempersuasi alam bawah sadar umat dengan klaim bahwa Islam adalah ideologi yang sempurna dan akan menjadi solusi atas seluruh problem kemanusiaan yang terjadi saat ini.

Di tangah kaum fundamentalis, esensi dakwah mengalami distorsi. Makna dakwah yang sebenernya adalah mengajak pada kebaikan dengan cara yang lemah-lembut mengalami pergeseran.

Di tangan kaum fundamentalis, dakwah menjadi gerakan politis-ideologis yang pragmatis, bahkan menghalalkan segala cara. Orientasi dakwah tidak lagi soal bagiamana Islam bisa berperan dalam transformasi sosial. Melainkan agar bagaimana Islam menjadi kekuatan politik dan ideologi dunia.

Modelnl salah fundamentalis itu telah menyumbang andil pada maraknya intoleransi dan kekerasan atas nama agama. Dakwah yang provokatif memicu umat di akar rumput untuk bersikap eksklusif, bahkan radikal pada pengikut agama lain.

Di tengah kondisi inilah, mengembangkan dakwah dialogis yang adaptif pada multikulturalisme menjadi hal yang urgen. Di tengah masyarakat Indonesia yang menemuk, dakwah idealnya disampaikan dengan mengedepankan nalar humanis. Di tengah masyarakat plural, orientasi dakwah idealnya bertujuan untuk membangun harmoni sosial-keagamaan di tengah masyarakat.

Facebook Comments