Empat Tantangan Kultural-Struktural Kebebasan Beragama dan Bagaimana Mengatasinya

Empat Tantangan Kultural-Struktural Kebebasan Beragama dan Bagaimana Mengatasinya

- in Narasi
48
0
Empat Tantangan Kultural-Struktural Kebebasan Beragama dan Bagaimana Mengatasinya

Beberapa hari belakangan, media sosial diramaikan oleh video viral demo sekelompok orang yang menolak pembangunan sekolah Kristen Gamaliel. Diketahui, peristiwa itu terjadi di wilayah Parepare, Sulawesi Selatan. Sekelompok massa menolak pembangunan sekolah Kristen tersebut dengan dalih bahwa mayoritas penduduk di kawasan tersebut merupakan muslim.

Demo menolak pembangunan sekolah Kristen ini harus diakui hanyalah puncak dari fenomena gunung es intoleransi beragama yang mewabah di Indonesia sejak era Reformasi. Penolakan pembangunan rumah ibadah, juga pembubaran ibadah kelompok minoritas (non-muslim) seolah telah menjadi cerita klise yang terus berulang.

Secara konstitusional, Indonesia sebenarnya secara eksplisit mengakui kebebasan beragama. Prinsip kebebasan beragama itu bisa dilacak pada UUD 1945 pasal 29 ayat 2. Disana disebutkan bahwa setiap individu dijamin haknya untuk beragama dan beribadah sesuai keyakinannya.

Ironisnya, di lapangan diktum konstitusional itu kerap menemukan sejumlah hambatan. Jika diidentifikasi, hambatan kebebasan beragama di Indonesia ini bersifat kultural maupun struktural.

Kultural dalam artian bahwa kebebasan beragama kerap mendapat gambaran dari budaya yang berkembang di masyarakat itu sendiri. Sedangkan struktural dalam artian bahwa kebebasan beragama kerap terganjal oleh aturan birokratis pemerintah yang bias kepentingan kelompok mayoritas.

Hambatan Kultural sana Struktural Kebebasan Beragama di Indonesia

Jika dilihat lebih detail lagi, ada setidaknya empat tantangan kuktural dan struktural dalam mewujudkan kebebasan beragama. Pertama, masih kuatnya sindrom mayoritanisme di masyarakat.

Yakni pandangan yang meyakini bahwa kelompok mayoritas harus mendapat previlese lebih di ruang publik sehingga bebas mendominasi, bahkan mengendalikan kelompok minoritas. Sindrom mayoritanisme adalah momok bagi masyarakat plural. Sindrom mayoritanisme secara langsung telah mengamputasi hak-hak kaum minoritas untuk mengekspresikan dan mengaktualkan dirinya di ruang publik.

Kedua, bangkitnya konservatisme keaagamaan, utamanya di kalangan muslim sebagai kelompok mayoritas. Konservatisme beragama adalah fenomena ketika umat beragama menunjukkan peningkatan kesalehan di satu sisi, namun dibarengi dengan sikap intoleran dan eksklusif di sisi lain.

Di kalangan muslim Indonesia, fenomena konservatisme beragama ini belakangan kian mengkhawatirkan, karena mengarah pada otoritarianisme keagamaan. Gejala otoritarianisme keragaman itu bisa kita lihat dari perilaku sebagian kecil umat Islam yang gemar melakukan tindakan persekusi terhadap kelompok minoritas non-muslim.

Ketiga, secara struktural kebebasan beragama di Indonesia kerap terhambat oleh aturan birokrasi pemerintahan yang acapkali bias kepentingan kelompok mayoritas. Hal ini bisa kita lihat dari fenomena persatuan daerah (perda) islami atau syariah yang marak diterapkan di banyak wilayah Indonesia pasca Reformasi.

Dalam banyak hal, ada banyak aturan dalam perda syariah yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas non-muslim. Misalnya saja kewajiban mengenakan pakaian, simbol, atau atribut keislaman kepada pegawai atau siswa non muslim di lingkup instansi pemerintahan. Perda syariah/islami harus diakui merupakan hambatan terbesar kebebasan beragama di Indonesia.

Keempat, harus diakui bahwa aparat keamanan cenderung lebih mengandalkan cara atau pendekatan persuasif dalam menindak pelaku kebebasan beragama. Kasus pelanggaran kebebasan beragama kerap kali diselesaikan secara restorative justice.

Konsekuensinya, banyak pelaku pelanggaran kebebasan beragama yang lepas dari jeratan hukum. Hal itu membuat pelaku tidak mengalami efek jera dan pada akhirnya korban pun tidak mendapatkan keadilan.

Lantas, bagaimana mengatasi hambatan kultural dan struktural kebebasan beragama tersebut? Secara kultural, kita tentu perlu mengembangkan paradigma baru terkait relasi keberagamaan di Indonesia.

Membangun Kesadaran Kebangsaan di Kalangan Umat Beragama

Langkah pertama adalah membangun kesadaran di kalangan umat beragama bahwa Indonesia adalah negara bangsa yang pluralistik. Kesadaran tentang konsep beat bangsa ini penting agar umat beragama memahami bahwa Indonesia ibu bukan negara agama yang memberikan keistimewaan pada kelompok agama mayoritas (Islam).

Kesadaran terkait konsep negara bangsa ini juga secara tidak langsung akan mengeliminasi sindrom mayoritanisme sekaligus konservatisme keaagamaan. Sindrom mayoritanisme dan konservatisme keaagamaan akan bisa diredam jika umat beragama punya kesadaran kebangsaan yang kuat.

Langkah selanjutnya, secara struktural kita perlu mereformasi berbagai aturan birokrasi pemerintahan yang acapkali bertentangan dengan konstitusi. Perlu gerakan kebangsaan untuk mengembalikan Pancasila dan UUD 1945 ssbagai sumber hukum tertinggi di Indonesia. Dengan begitu, ke depan tidak akan ada lagi regulasi yang bias kepentingan kelompok mayoritas.

Terkahir, namun tidak kalah pentingnya adalah penegakan hukum (law enforcement) yang adil pada pelaku pelanggaran kebebasan beragama. Aparat penegak hukum idealnya tidak perlu ragu untuk menindak tegas pelanggar kebebasan beragama. Apalagi yang telah mengarah pada persekusi dan kekerasan. Tindakan hukum tegas itu penting untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan mengirim pesan pada kalangan konservatif bahwa negara tidak akan tinggal diam pada perilaku yang mengancam kebebasan beragama.

Facebook Comments