Dalam masyarakat demokratis seperti Indonesia, kebebasan berpendapat adalah hak fundamental yang diakui dan dilindungi oleh konstitusi. Setiap warga negara berhak menyampaikan pandangan dan aspirasi mereka, baik secara individu maupun berkelompok, selama hak tersebut dijalankan dengan menghormati hukum dan hak-hak orang lain.
Namun, seperti halnya semua hak, kebebasan berpendapat juga memiliki batasan etis dan legal yang bertujuan untuk menjaga ketertiban umum dan melindungi keberagaman yang menjadi kekuatan bangsa. Kasus demonstrasi yang menolak pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel di Parepare, Sulawesi Selatan, adalah salah satu contoh di mana kebebasan berpendapat tampaknya telah disalahgunakan dan keluar dari konteks yang semestinya.
Pada Jumat, 20 September 2024, sekelompok warga yang mengatasnamakan Forum Masyarakat Muslim Parepare (FM2P) menggelar demontrasi di lokasi pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel di Kelurahan Watang Soreang, Kecamatan Soreang, Parepare. Mereka menolak pembangunan sekolah tersebut dengan alasan bahwa pendiriannya melanggar aturan.
Namun, aksi protes yang penuh dengan keganjilan ini memunculkan pertanyaan mendasar dalam benak kita semua: Apakah demonstrasi tersebut benar-benar didasarkan pada masalah hukum terkait pendirian sekolah, atau ada motif lain yang berkaitan dengan intoleransi agama dan ketidakmampuan masyarakat FM2P dalam menerima pluralitas di Indonesia?
Tampaknya, demonstrasi yang dilakukan oleh massa FM2P menunjukkan gejala yang lebih dalam dari sekadar permasalahan teknis terkait aturan pendirian sekolah yang menjadi isu di balik aksi demontrasi yang dilakukan FM2P. Ada indikasi bahwa protes itu lebih pada sikap intoleransi yang kian mengemuka di beberapa bagian masyarakat Indonesia.
Jika kita menelusuri lebih lanjut, isu pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel ini mungkin tidak sepenuhnya berkaitan dengan pelanggaran hukum sebagaimana yang diklaim oleh para demonstran. Memang, pendirian sekolah, baik swasta maupun negeri, diatur oleh banyak regulasi yang ketat, mulai dari perizinan bangunan hingga kurikulum pendidikan.
Namun, jika memang terdapat pelanggaran terhadap regulasi tersebut, seharusnya hal ini bisa diselesaikan melalui jalur hukum yang tepat, bukan melalui aksi unjuk rasa yang berpotensi menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat. Demonstrasi semacam ini justru memberikan kesan bahwa ada pihak-pihak yang tidak ingin melihat adanya keberagaman dalam sektor pendidikan, yang notabene adalah media penting untuk mencetak generasi emas.
Perlu dicermati bahwa Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi Pancasila sebagai dasar negara, di mana sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengakui eksistensi dan kebebasan beragama bagi semua warga negara, tanpa memandang mayoritas atau minoritas. Pembangunan sekolah berbasis agama, baik itu Kristen, Islam, atau agama lainnya, tidak seharusnya menjadi permasalahan selama sekolah tersebut mengikuti peraturan yang berlaku dan berkomitmen untuk mendidik generasi muda dengan nilai-nilai moral.
Fakta bahwa sekolah Kristen ingin didirikan di sebuah wilayah yang mayoritas penduduknya Muslim seharusnya tidak menjadi alasan untuk menolak pembangunannya. Justru, keberadaan sekolah-sekolah dari latar belakang agama yang beragam dapat menjadi media untuk memperkuat kerukunan dan pemahaman bersama antar umat beragama.
Kita juga tidak boleh lupa bahwa dalam konteks pendidikan, sekolah merupakan tempat di mana nilai-nilai toleransi, keragaman, dan budaya saling menghormati diajarkan dan ditanamkan kepada generasi muda. Ketika sekelompok orang menolak pembangunan sekolah hanya karena sekolah tersebut berasal dari latar belakang agama yang berbeda, mereka secara tidak langsung mengirimkan pesan yang salah kepada anak-anak dan generasi muda kita.
Dalam kasus ini, pemerintah daerah Parepare bertanggungjawab untuk mengatasi masalah dengan bijaksana. Di satu sisi, pemerintah harus memastikan bahwa semua proses pembangunan, termasuk pendirian sekolah, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Jika ada pelanggaran teknis, hal tersebut harus diselesaikan secara damai melalui mekanisme yang ada.
Di sisi lain, pemerintah juga harus mampu melindungi hak-hak warga negara, termasuk hak minoritas, untuk menjalankan kegiatan pendidikan dan agama mereka tanpa intimidasi atau diskriminasi. Pemerintah harus tegas dalam menjaga iklim toleransi dan pluralisme di wilayahnya, serta menghindari terjadinya polarisasi yang semakin tajam di tengah masyarakat.
Bahwa kebebasan berpendapat adalah fondasi dari demokrasi yang sehat yang dijamin konstitusi, itu iya. Namun, kebebasan itu tidak boleh disalahgunakan untuk menyebarkan kebencian atau ketidakadilan. Penolakan terhadap pembangunan Sekolah Kristen di Parepare adalah cerminan dari tantangan besar yang masih dihadapi Indonesia sebagai negara pluralis.