Filterisasi Ormas Anti-Pancasila

Filterisasi Ormas Anti-Pancasila

- in Narasi
557
1
Filterisasi Ormas Anti-Pancasila

Pasca reformasi, kotak pandora itu pun terbuka. Semua lapisan masyarakat dengan bebas bisa mengekspresikan pendapatnya. Kebebasan berkumpul dan berserikat pun terbuka lebar. Jika masa sebelumnya banyak pembatasan, di era reformasi pembatasan itu sangat minimalis.

Kebebasan ini ternyata –dalam tataran tertentu –dijadikan oleh beberapa oknum untuk kembali memperjuangkan cita-cita mereka, yang dulu sempat terhalang. Cita-cita itu adalah ingin memperjuangkan negara Islam, kembalinya tujah kata kepada Pancasila, dan Piagam Jakarta sebagai konstitusi Indonesia.

Tidak berhenti di sini, kebebasan ini juga dengan apik dimanfaatkan oleh organisasi trans-nasional untuk mendakwahkan dan mengampanyekan gagasan, konsep, dan doktrin khilafah. Menurut mereka, khilafah adalah kata kunci untuk mengubah dunia, dan umat Islam bisa berjaya kembali.

Keduanya organisasi ini: dalam dan luar –sama-sama membasiskan dirinya pada Islam sebagai acuan segalanya. Jika ormas yang pertama (dalam negeri, semisal FPI, FUI, dan sejenisnya) bersipat realistis, bahwa mengubah NKRI menjadi NKRI Bersayariah mustahil, sebab itu sudah final dalam UUD 1945, maka sasaran utama mereka adalah undang-undang dan peraturan di bawah undang-undang.

Baca juga :Reuni dan Kasih Tak Sampai

Itulah sebabnya, Perda Syariah mulai berjibun. Peraturan di tingkat daerah sekuat tenaga ditekan agar merujuk kepada Islam versi mereka. Hal yang sama juga dilakukan oleh ormas kedua (trans-nasional, semisal HTI, IM, dan seterusnya). Dengan keyakinan, bahwa Islam itu adalah syamil (menyeluruh) dan kamil (sempurna), maka semua lini kehidupan masyarakat mau diislamkan.

Anti-Pancasila

Kedua bentuk ormas ini nyata di depan mata kita. Para pengusung, loyalis, dan simpatisannya dengan bebas berkeliaran. Para juru bicara dan tukang kampanyenya mendapat panggung, disorot, dan ucapannya jadi bahan pemberitaan.

Adalah tugas bersama untuk tetapi antisipasi. Pemerintah harus tetap waspada. Sebab, mereka mempunyai strategi yang rapi, dan diorganisir secara massif. Jika masyarakat dan pemerintah kecolongan, maka bisa jadi bukannya hanya undang-undang dan peraturan yang di bawah undang-undang yang mereka ubah, bisa jadi kalau mereka menempati posisi-posisi strategis di pemerintah, konstitusi negara ini pun bisa diubah, setidaknya ada usaha ke sana.

Kedua bentuk ormas ini menjadikan para anak muda, anak-anak, dan rumah tangga sebagai target utama. Sebab ketiga unsur inilah yang jadi pilar tegak tidaknya suatu bangsa nantinya. Anak muda yang masih punya semangat bergejolak, anak-anak yang masih polos, institusi keluarga yang steril dari pengawasan pemerintah, menjadi sasaran empuk ideologi radikalisme agama.

Pola penyebaran dilakukan lewat pengajian, halaqah, masjid, musala, organisasi, dan paling efektif adalah lewat media sosial. Khusus yang terakhir dilakukan dengan umpan pancing. Artinya paham gagasan negara Islam atau khilafah dipasarkan begitu aja ke lini massa medsos laiknya seorang pemancing lagi menebarkan umpannya di lautan luas. Siapa yang merespons, itulah yang diindoktrinasi, dan diincar secara massif dan rapi.

Ajakan yang yang dilakukan antara lain. Pertama, dukungan dan ajakan bergabung dengan khilafah. Ini dengan mudah kita temui –baik secara tersurat maupun tersirat – di sekeliling kita. Para pengusung dan simpatisan khilafah dengan bagus bisa memasarkan khilafaisme itu kepada khalayak umum.

Kedua, anti-demokrasi dan Pancasila. Gerakan ini dilakukan, sebab bagi ormas yang masih mencita-citakan negara Islam, demokrasi dan Pancasila adalah berhala ciptaan manusia yang tidak mungkin bisa menciptakan kesejahteraan dan keadilan. Yang bisa menciptakan itu, hanyalah sistem Islam yang diambil dari kedua sumber Islam.

Ketiga, mengkafirkan orang lain yang tidak sesuai dengan golongannya. Dalam istilahnya disebut kaum takfirisme. Beda dikit kafir. Tidak sesuai manhaj, kafir. Bertolak belakang dengan tokoh mereka, sesat. Ada pendapat yang tidak mainstream, dibilang perusak akidah.

Keempat, kekerasan atas nama agama yang teraktualasi ke dalam terror yang diklaim sebagai jihad dan panggilan syahid. Inilah puncak dari radikalisme. Bermula dari intoleransi, tidak mau menerima orang lain. Kemudian jadi radikal, ingin mengganti sistem yang ada, dan ujungnya teroris, ingin mengubah itu dengan cara kekerasan.

Filterisasi

Untuk itu dalam menangkal dan mengantisipasi kedua bentuk ormas di atas (baik dari dalam maupun transnasional), perlu dilakukan filterisasi dan staretegi untuk menghadapinya. Penetrasi ideologi mereka tidak bisa tidak, harus ditangkal. Gerak lajunya harus dihentikan. Dengan cara apa? Salah satu usaha penting itu adalah penguatan wawasan kebangsaan. Penguatan itu bisa dilakukan dengan cara.

Pertama, integrasi agama dan kebangsaan. Pendidikan kita masih terasa ada dikotomi dan jarak yang jauh antara pendidikan agama di satu sisi, dan pendidikan kebangsaan di sisi yang lain. Padahal keduanya adalah satu tarikan nafas.

Harus diajarkan kepada anak-anak, para pemuda, juga keluarga, bahwa beragama sama pentingnya dengan bernegara. Beragama tidak sempurna, jika keberagaman, perbedaan, dan pluralitas budaya bangsa ini tak dirawat.

Pendidikan agama kita selama ini masih berkutat di seputar ibadah mahdah. Pembumian lewat cinta tanah air, cinta damai, perjuangan memajukan bangsa, masih berjalan secara sporadis. Pendidikan kita harus bisa melahirkan generasi yang agamis sekaligus nasionalis. Agama dan kebangsaan adalah ibarat ikan dengan air.

Kedua, kemanusiaan. Para generasi bangsa harus dibangun pada kesadaran, bahwa kemanusiaan adalah tolak ukur. Segala macam paham, doktrin, ajakan, apapun itu, apabila masih mengorbankan kemanusiaan harus ditolak mentah-mentah. Kemanusiaan adalah fondasi kita dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Ali bin Abi Thalib menyatakan, jika kita tidak saudara seiman, kita masih saudara dalam kemanusiaan. Inilah yang disebut kemanusiaan yang adil dan beradab. Hidup tidak lagi memandang latar belakang: agama, suku, budaya, tradisi, asalkan ia manusia, maka ia harus dihormati, hak-haknya harus dilindungi, darah dan kehormatannya haram dirampas.

Mari kita bersama-sama menghidupkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, ormas Islamisme itu tidak bisa masuk ke dalam lorong-lorong kehidupan anak bangsa.

Facebook Comments