Reuni dan Kasih Tak Sampai

Reuni dan Kasih Tak Sampai

- in Narasi
752
2
Reuni dan Kasih Tak Sampai

Pada 02 Desember 2019, FPI dan massa aliansinya—alumni 212, GNPF MUI—berencana menggelar reuni 212. Dalam beberapa momen politik praktis di Indonesia, ormas yang potensial dibubarkan pemerintah itu menjadi motor dari gerakan populisme kanan. Sejak awal gerakan ini memang kerap mengemas segala kepentingannya dengan baju ataupun citra keagamaan tertentu. Pendekatan politik identitas mereka memang, dalam taraf tertentu, sempat membuat kegaduhan sosial karena sarat dengan penggunaan sentimen-sentimen keagamaan dan citra kekerasan.

Reuni pada dasarnya adalah sebuah “pelembagaan” masa silam. Di balik kebiasaan yang entah sejak kapan muncul itu terdapat glorifikasi masa silam. Padahal, ketika di masa itu tak semua pengalaman yang pernah dialami berasa manis. Dalam glorifikasi masa silam, terkadang orang lupa akan segala renik ataupun detail peristiwa. Sebab, dalam proses mengenang, orang melakukan sebentuk abstraksi yang menghilangkan kepahitan atau segala sesuatu yang dipandang dapat merusak agenda ataupun proyek ke depan. Di sini orang terpaksa mesti merelakan pengalaman-pengalamannya yang pahit yang semestinya, untuk ukuran politik praktis, tak membuatnya tampak goblok.

Baca juga :Filterisasi Ormas Anti-Pancasila

Kenangan-kenangan FPI dan kerumunannya, untuk ukuran orang awam, sebenarnya sangatlah pahit. Seumpama, setelah sedemikian getol “memperjuangkan” syari’at Islam, sang imam besarnya terganjal kasus pornografi yang secara pelahan menyingkirkan figurnya secara fisik. Belum lagi pada waktu secara keras mendukung dan melambungkan pasangan Anies-Sandi pada peristiwa pilkada Jakarta lebih dari setahun lalu. Mereka sama sekali tak mendapatkan “kursi” ataupun kompensasi politik lainnya. Malah, setelah Anies sukses menduduki singgasana kuasa, mereka tak mendapatkan keistimewaan apa-apa, seperti sandal jepit yang sukses mengantarkan seseorang ke kantor Gubernuran dan mesti sadar diri bahwa ia tak mungkin ikut serta masuk istana, ikhlas memberi ruang dan jalan bagi para sepatu. Setali tiga uang dengan pilpres 2019, setelah membabibuta mengantarkan Prabowo, paling tidak, menjadi seorang menteri yang memiliki posisi strategis, mereka terpaksa tetap LDR-an dengan sang imam dan bahkan terancam bubar jalan.

Pada titik ini sesungguhnya FPI dan kerumunannya sangatlah mulia dan penuh dengan kebesaran hati. Bagaimana tidak, dengan segala kepahitan yang pernah dialami, mereka justru ingin sekali lagi melakukan glorifikasi atas masa lalunya yang tak pernah manis dengan mengadakan sebuah reuni. Padahal momen politik praktis Indonesia sudah resmi usai dan mereka tetap saja tak mendapatkan pulihan (kompensasi) atas segala kiprahnya selama ini. Setelah banyak orang dan secara resmi pemerintah melarang paham khilafah Neo-Khawarij, Habib Rizieq, dan Masyarakat Sipil, Heru Harjo Hutomo, https://geotimes.co.id) serta penerapan syari’at Islam yang secara tersirat seperti sebersit aspirasi untuk mengganti hukum nasional (Agama Sipil dan Sesat Pikir “NKRI Bersyariah,” Heru Harjo Hutomo, https://geotimes.co.id), ruang politik mana lagi yang ingin mereka isi? Dan ketika ekspresi politik mereka dibatasi di berbagai media sosial sejak setahun terakhir, lantas oposisi jalanankah yang menjadi pilihannya?

Tentu, hanya FPI dan kerumunannya yang tahu. Tapi di balik reuni ternyata tak semuanya dapat diukur dengan kacamata politik praktis. Ada sesuatu yang tak apa andaikata, secara politik praktis, dipandang goblok dan tak berguna: kasih tak sampai.

Facebook Comments