Akhir-akhir ini polemik perpanjangan izin ormas FPI menjadi marak diperbincangkan di mana-mana. Pasalnya, meskipun ada pihak-pihak yang mendukung FPI tetap eksis, akan tetapi ada pula orang-orang yang menghendaki FPI bubar. Menurut mereka, semangat gerakan ormas FPI bertentangan dengan karakter bangsa karena tidak menempatkan Pancasila sebagai asas AD/ART organisasi, melainkan Islam. FPI juga dicurigai sebagai salah satu kelompok yang mengusung khilafah islamiyyah yang selama ini ditentang oleh pemerintah Indonesia karena berpotensi mengoyak persatuan dan kebinekaan.
Sebenarnya, penempatan Islam sebagai asas atau ideologi organisasi ideologi tidak dapat dipermasalahkan karena kita sudah tidak lagi menganut UU No. 3 Tahun 1985 tentang asas tunggal Pancasila. Kini kita menganut UU No. 17 Tahun 2013 dan revisinya, UU No. 16 Tahun 2017 yang tidak lagi menghendaki adanya asas tunggal Pancasila.
Di dalam pasal 2 UU Nomor 17/2013 dijelaskan bahwa “asas Ormas tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Dalam artian, Ormas bebas menggunakan asas apapun (baca: Islam) asalkan selaras dengan Pancasila dan UUD 1945. Dan, dalam sejarah kemerdekaan bangsa dalam konstruksi NKRI, para Founding Fathers kita telah berhasil membuktikan bahwa semangat berislam selaras dengan cita-cita luhur Pancasila. Maka itu, penempatan Islam sebagai asas bisa dimaknai sebagai ekspresi kebebasan ormas dalam negara demokrasi yang tidak bertentangan dengan aturan perundang-undangan.
Baca juga :Reuni dan Kasih Tak Sampai
Masalahnya, Islam sebagai salah satu agama di Indonesia hadir dalam beragam manhaj. Dan, setiap manhaj memiliki tafsir tersendiri terhadap teks al-Qur’an dan hadits yang merupakan rujukan utama umat Islam. Pembelokan tafsir Islam sebagai agama yang harus menertibkan kemaksiatan dengan jalan kekerasan dan keharusan penggantian ideologi negara menjadi Islam itulah yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip Pancasila. Sebab sebagai negara hukum, kita memiliki aturan main yang menjamin keamanan dan keberlangsungan negara. Dalam konteks ini, kita sama sekali tidak diperbolehkan melakukan aksi kekerasan yang membahayakan orang lain dalam bentuk apapun. Dengan kata lain, pendekatan yang humanis dan mengutamakan persatuan dan kesatuang merupakan karakter dan kepribadian bangsa yang harus dijunjung tinggi.
Kristalisasi Ideologi Pancasila
Terlepas dari apa pun asas Ormas, hal mendasar yang lebih penting adalah kesadaran untuk mengkritalisasi ideologi Pancasila dalam perilaku kehidupan sehari-hari, termasuk kehidupan berorganisasi. Mengingat, sejauh ini hanya Pancasila merupakan satu-satunya ideologi yang sesuai dengan jati diri bangsa dan dapat diterima oleh seluruh rakyat Indonesia dengan keragamannya yang majemuk. Agar, kedepannya tidak ada lagi tindakan intoleran, kekerasan dan radikalisme yang mengancam harmoni kebinekaan baik yang dilakukan oleh ormas ataupun individu.
Pancasila merupakan ideologi yang bisa merawat dengan baik kehidupan berbangsa. Ideologi yang menjadi arah dan pijakan hidup bersama, bukan hidup sendiri-sendiri secara terpecah-pecah. Lagipula, tanpa ideologi Pancasila, tidak akan terbentuk kehidupan bangsa bersangkutan yang aman, tenteram dan nyaman dihuni oleh rakyat Indonesia dengan beragam latar belakang suku, agama, budaya dan bahasa.
Tentu saja, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, kita hanya butuh satu ideologi, yaitu Pancasila. Ideologi yang berbeda membuat bangunan, arah, dan tujuan berbangsa juga berbeda. Maka, upaya mengganti ideologi berarti juga mengubah bentuk dan arah kehidupan bangsa. Jika ideologi diganti jangan harap akan melihat lagi karakter bangsa yang sebelumnya ada (Suyatno, 2018).
Karakter bangsa yang dimaksud adalah sifat religius yang notabene mengantarkan pada toleransi umat beragama. Karakter lainnya, sopan santun, dimana kaum muda menghormati orang tua meski berbeda pandangan. Orang tua pun meyayangi yang lebih muda tanpa melihat aspek keberbedaan mereka. Antargenerasi bisa berdiri sejajar dan saling menghargai. Sikap ramah yang bisa dilihat di raut muka setiap warga negara dalam pola komunikasi sehari-hari juga menjadi karakter lainnya.
Lebih lanjut, komunikasi verbal yang terbuka kepada semua juga menjadi ciri bangsa Indonesia. Sikap ini menghindari prasangka kepada pihak luar, meski baru saja saling kenal. Respek menjadi faktor yang mendasari hubungan sosial. Antusias dalam relasi sosial dilengkapi dengan sikap gotongroyong. Tolong menolong dalam menghadapi problematika sosial dilandasi prinsip “berat sama dipikul ringan sama dijinjing.” Ini sebuah pola yang menjadi piranti ampuh membangun hidup bersama sejajar dengan bangsa- bangsa lain.
Sejumlah upaya bisa dilakukan agar ideologi kita bersama dapat menjadi kian kuat dan mengakar dalam diri masyarakat. Salah satu upaya memperkuat ideologi dengan meningkatkan pemahaman dan kesadaran sejak dini dan terus-menerus. Upaya lainnya adalah keteladanan para elite. Tokoh masyarakat baik yang memerankan diri sebagai pemimpin formal maupun nonformal merupakan aktor paling strategis dalam upaya memperkuat ideologi. Menjadi role model penerapan ideologi negara. Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah penegakan hukum dan norma-norma sosial yang tidak tebang pilih dan saling mendiskreditkan.
Dengan demikian, kedepannya aksi-aksi kekerasan serupa yang pernah dilakukan FPI sebelumnya yang sebenarnya dapat mengganggu stabilitas negara tidak akan terjadi lagi. Hanya saja, harus dipahami bahwa dalam menyikapi polemik perizinan FPI, pemerintah harus melakukan analisis komprehensif agar tidak terjadi salah-kaprah. Apabila benar-benar terbukti menghendaki khilafah islamiyyah sebagaimana organisasi HTI, maka izin ormas memang harus dicabut karena mengancam eksistensi NKRI, akan tetapi jika tidak demikian, jangan sampai negara membuat keputusan yang mengkhianati semangat demokrasi. Wallahu a’lam.