Sapantoek wahyoening Allah
Gya doemilah mangoelah ngelmoe bangkit
Bangkit mikat reh mangoekoet
Koekoetaning jiwangga
Jen mangkono kena sineboet wong sepuh
Liring sepoeh sepi hawa
Awas roroning atunggil
—Serat Wedhatama, Mangkunagara IV
Konon, setiap anak adalah milik zamannya dan, sebagaimana “keharaman” dalam ilmu sejarah, menerapkan ukuran zaman tertentu pada zaman yang lain adalah sebentuk anakronisme. Orang tak mungkin mencela ataupun memuji generasi X, misalnya, sebagai sebuah generasi yang asing dengan segala kebersihan dan kerapihan ataupun sebagai sebuah generasi yang heroik.
Tak pula orang bisa merendahkan ataupun mengagungkan generasi Y sebagai sebuah generasi yang tergencet di antara generasi X (yang masih dominan di hari ini) dan generasi Z (yang berupaya mendobrak dominasi itu).
Demikian juga, orang tak mungkin menyisihkan ataupun mencakup generasi Z yang minim informasi atas sesuatu hal ataupun jenius dalam meneguhkan eksistensi mereka.
Namun, dalam kearifan Jawa, ternyata terdapat tilikan atas usia, dan kemudian generasi, yang dapat melampaui kategorisasi generasi yang terkesan mengisolir satu sama lain itu. Tilikan itu adalah tilikan tentang apa yang dianggap paling “luhur” dalam sistem nilai kebudayaan Jawa: menjadi “wong sepuh.”
Kategori “sepuh” dalam kebudayaan Jawa memang tak ada kaitannya dengan batas usia, yang kemudian generasi. Dalam bahasa kekinian “sepuh” itu adalah berarti seorang yang memiliki porsi seimbang antara IQ, EQ, dan SQ. Bahkan pun, dengan kembali merujuk pada Serat Wedhatama, seorang “sepuh” adalah seorang yang telah dapat mengendapkan segala riak yang mengiringinya (“sepi hawa”).
Secara pragmatis, “sepi hawa” itu adalah sebentuk kondisi ideal yang memungkinkan seseorang dapat melihat dengan bening, menimbang dengan jejeg, dan bersikap secara proporsional. Dan ukuran ini ketika diterapkan pada setiap kategorisasi usia, dan kemudian generasi, bukanlah sebentuk anakronisme.
Sebab, Wedhatama pun menyatakan bahwa meskipun berusia tua, “Mangka nadyan toewa pikoen,” ketika seseorang itu belum ataupun tak dapat menerapkan rasa pangrasa-nya akan terasa “sepa” atau hambar, “Jekti sepi asepa lir sepah samun,” dan memalukan, “Nglilingsemi.”
Kondisi perpolitikan di Indonesia saat ini adalah nyata karena memudarnya kualitas “sepuh” sebagaimana yang dicandrakan oleh kearifan Jawa itu. Dan ketika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, maka radikalitas dalam bentuk atau baju apapun adalah sebentuk solusi yang paling dimungkinkan untuk ditempuh.
Jadi, menyandarkan segala bentuk chaos yang terjadi di Indonesia saat ini pada kaum muda, atau yang di zaman ini lazim didamik sebagai gen Z, bukanlah sikap yang tepat, sebagaimana kualitas “sepuh” yang ternyata tak mesti disandang oleh orang-orang yang berusia tua.