Dalam sepekan ini jagat maya mencatat penelusuran tertinggi di Indonesia adalah seputar sepak bola, korupsi, keraton sejagat di Purworejo, dan yel-yel Islam yes kafir no di kota pelajar Yogyakarta. Penelusuran serupa juga menjadi tranding 10 besar (16 Januari 2020) di Youtube.
Bola tentu menjadi hiburan terbesar di dunia, sehingga selalu menjadi prioritas penelusuran sebagian besar warganet. Korupsi, meski telah disepakati bersama sebagai kejahatan kemanusiaan, masih saja kita dikejutkan dengan ulah petinggi-petinggi negeri yang tamak. Klaim pedagang angkringan yang ternyata tinggal sebagai kaum marjinal di pinggir rel, sebagai raja penyatu kerajaan seluruh dunia, menjadi hiburan ringan sebagai pelepas ketegangan politik serta polarisasinya yang masih kuat.
Tetapi yel-yel Islam yes kafir no dalam sebuah kegiatan pramuka di Yogyakarta meninggalkan jejak luka di hati. Semua orang sepakat Islam yes dengan Rahmatan Lil’alamin, yaitu Islam sebagai rahmat bagi semesta yang berarti bukan hanya menjadi rahmat bagi sesama manusia tetapi juga rahmat bagi alam. Tetapi narasi kafir no justru menandakan sebaliknya, ada kecupetan berpikir oleh siapa saja yang menggunakan yel-yel itu.
Bahkan H Mustofa Bisri atau Gus Mus mengatakan pemandu yel-yel itu orang yang bodo dan gendeng (bodoh dan gila) dalam Dialog Kebangsaan “Merawat Persatuan, Menghargai Kebersamaan” di Auditorium Abdulkahar Mudzakkir Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Bagaimana tidak, dunia sudah berkembang dengan sangat cepat dan inovatif dengan artificial intelligence, big data, 3D printing, dan teknologi umumnya untuk menjawab tantangan dunia dalam bidang pendidikan, lingkungan hidup, politik, ekonomi dan berbagai bidang lainnya, sedangkan kita masih pada narasi aku baik – kamu buruk, aku benar – kamu salah, aku yes – kamu no.
Perilaku intoleransi ini juga disebut gendeng karena dilakukan terhadap anak-anak dan remaja yang sedang dalam masa pembentukan karakter. Sehingga kelak akan terbentuk satu generasi dikotomis yang kaku akan keyakinannya yang eksklusif dan sesat akibat menimba ilmu dari pemuka agama Youtube yang popular meski tak jelas kualitasnya dibandingkan dengan pemuka agama sekelas Gus Mus, Quraish Shihab, Ahmad Syafii Maarif, dan Said Aqiel Siradj.
Kegilaan intoleransi tak sekadar menciptakan gaps antar anak bangsa yang akhirnya dipolarisasi ke arah politik untuk kepentingan yang sempit dan sesaat. Kegilaan intoleransi ini menciptakan generasi yang tidak open minded (keterbukaan terhadap pengalaman dan kerendahan hati intelektual). Padahal, eksklusifitas berpikir mengarah pada kecupetan dan keruwetan berpikir karena kurangnya referensi dan pengalaman.
Baca Juga :(Re)-Aktualisasi Rohis sebagai Media Toleransi di Sekolah
Kegilaan intoleransi juga menghambat kita untuk berwawasan global dan kolaboratif. Padahal pada era Refolusi Industri 4.0, bukan lagi kepemilikan yang menjadi acuan keberhasilan seperti zaman dulu yang apa-apa harus dimiliki sendiri untuk memulai sesuatu. Era ini menuntut kolaborasi dan berbagi. Sehingga ketika generasi masa depan Indonesia menjadi generasi yang menutup diri, maka pada saat itu Indonesia yang kaya ini hanya menjadi debu karena warganya sibuk memusuhi bahkan memerangi sesama orang Indonesia.
Bibit-bibit intoleransi memang sudah ditanam sejak jauh-jauh hari melalui jalur pendidikan yang saat ini mulai “berbuah” seperti yel-yel Islam yes kafir no. Padahal, bibit intoleransi itu belum mencapai “panen raya”. Buah intoleransi bukan pada yel-yel Islam yes kafir no, penolakan pembangunan rumah ibadah, pengusiran warga berkeyakinan lain, dan pembubaran kegaiatan ibadah yang dilakukan oleh orang dewasa. Panen raya intolensi adalah ketika anak-anak mereka yang telah didoktrin sejak dini dengan paham-paham intoleransi telah beranjak menjadi orang dewasa yang bermasyarakat dan menempati posisi-posisi penting di swasta, BUMN, dan pemerintahan.
Merebut Indonesia lewat jalur pendidikan dan anak muda merupakan cara yang strategis. Dalam film 6 Underground (2019), Lior Raz yang berperan sebagai seorang presiden yang represif mengatakan, “Kita jangan incar tempat terkuatnya, tetapi tempat terlemahnya. Rumah sakit, untuk renggut keselamatannya. Sekolah, untuk renggut masa depannya. Pemuda, untuk membunuh masa depannya”.
Jadi jika saat ini sekolah-sekolah Indonesia sedang “dikuasi” baik secara terang-terangan ataupun berstrategi oleh kelompok intoleransi dan anti Kebinekaan, artiya mereka sedang merenggut masa depan Indonesia. Jika acara-acara intoleransi yang dikemas ala-ala milenial menjadi lebih populer dan digemari anak muda, artinya mereka sedang membunuh masa depan Indonesia yang saat ini sedang menuju cemerlang dengan posisi dan keterlibatan pemuda pada posisi-posisi strategis.
Yel-yel Islam yes kafir no dan bentuk pembatasan kebebasan beragama lainnya merupakan tanda baik untuk kita semua lebih peduli akan isu-isu intoleransi. Sebab dalam buku Bagaimana Domokrasi Mati (2019) yang ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, kejatuhan negara-negara demokrasi tidak lagi melalui jalan perang atau kudeta, melainkan masuknya kelompok-kelompok perusak ke dalam tatanan pemerintahan. Atau dalam lingkup pendidikan Indonesia, struktur pendidikannya akan rusak hanya dengan masuknya orang-orang dengan paham seperti pemandu yel-yel Islam yes kafir no itu.
Amatlah mengerikan dan mengiris hati jika kita abai dengan tanda-tanda ini dan membiarkan penghuni Indonesia dimasa depan hidup di tengah keterbelakangan, peperangan, kemiskinan, kelaparan karena berkuasanya orang-orang bodo dan gendeng. Oleh sebab itu narasi-narasi semacam Islam yes kafir no perlu dilawan, bukan sebagai perlawan terhadap Islam yang Rahmatan Lil’alamin, melainkan perlawanan kita terhadap kelompok apa saja yang ingin membawa Indonesia menjadi terbelakang.
Perlawanan tak lagi dengan diam atau mengalah, tetapi proaktif melakukan kontra narasi intoleransi dengan narasi yang lebih meneduhkan dan penuh kedamaian serta kolaborasi lintas agama dan suku. Jika tindakan intoleransi sudah memasuki ranah hukum, maka bukan waktunya lagi untuk berbelas kasih dan memaafkan, tetapi membawanya ke penegak hukum.
Sebab seperti Adolf Hitler di Jerman, Getulio Vergas di Brazil Alberto Fujimori di Peru, dan Hugo Chaves di Venezuela, yang berkuasa dan akhirnya menghancurkan negaranya bukan melalui kudeta dan perang melainkan karena kebanyakan orang membiarkan mereka masuk dalam tatanan pemerintahan yang menguasi sumber daya dan kebijakan.
Maka, pembiaran kita terhadap aksi-aksi intoransi dengan tudung memaafkan dan memilih jalan damai, sama saja membiarkan mereka perlahan-lahan menguasai posisi-posisi strategis yang akhirnya menimbulkan kengerian seperti Hitler, Chaves, dan Fujimori di Negara mereka. Diam tak lagi pilihan, kita mesti melawan dengan cara elegan dan damai.