Presiden Turki Reccep Tayyib Erdogan pada Jumat (10/07/), melalui pengadilan tertinggi telah meresmikan Museum Hagia Sophia sebagai Masjid kembali. Sejak tahun 1935, Mustafa Kemal Attaturk mengkonversi Hagia Sophia dari Masjid menjadi Museum. Merespon hal tersebut, sebagian masyarakat muslim dunia turut gembira menyambut keputusan Pengadilan Tertinggi Turki, yang beberapa pekan sebelumnya memang sudah membahas terkait konversi Hagia Sophia. Pemilihan hari Jumat merupakan momentum “Sayyidul Ayyam” (paling mulianya hari dalam Islam).
Secara politis, Turki sebagai Negara yang dikenal sekular sudah menampakkan kebijakan politisnya yang fundamentalis. Hagia Sophia telah ditetapkan sebagai warisan dunia UNESCO (pihak internasional) karena menjadi ikon keberagaman. Pihak internasional sendiri banyak yang menyayangkan dikonversinya Hagia Sophia kembali menjadi Masjid. Tetapi yang perlu dicatat, kebijakan ini merupakan otoritas Turki yang sejatinya tidak memiliki keterkaitan dengan hokum internasional.
Jika belajar dari masa lalu, Hagia Sophia sebenarnya merupakan Gereja Ketedral Kristen Ortodoks/Gereja Basilika Konstatinopel yang dibangun pada abad ke 6 Masehi oleh Justinian I. Polemik terkait konversi Hagia Sophia di dunia internasional saat ini, idealnya jangan terlalu diperlebar dengan persoalan sentimen agama.
Selain itu, problem yang semakin memperkeruh suasana adalah berbagai wacana di medsos terkait dengan isu Revivalis Islam masa lalu yang akan terjadi, yang diasumsikan berawal dari Turki. Sejak dijadikan sebagai Museum, Hagia Sophia telah menjadi ikon wisata sekaligus keberagamaan di Turki. Berdasarkan maknanya, yang berarti “kebijaksanaan suci”, Hagia Sophia senantiasa menjadi “Payung bersama” masyarakat beragama di dunia, bukan hanya diidentik dengan oleh golongan tertentu.
Baca Juga : Gerakan Khilafah, Nasionalisme Semu dan Ambiguitas Bela Pancasila
Sah-sah saja, jika konversi menjadi Masjid ini mampu membawa kemaslahatan dan kerukunan antar umat beragama. Tetapi jika nanti berdampak semakin memperdalam jurang rekonsiliasi antar agama, sebaiknya kebijakan tersebut ditilik kembali. Karena dalam momentum ini, ternyata para pengusung khilafah telah banyak menunggangi serta menggunakan berbagai platform media untuk memprovokasi terkait penguatan wacana revivalis Islam dan romantisme Khilafah Islam di masa lalu.
Idealnya, tidak ada yang perlu dibanggakan secara berlebihan dengan beralih fungsinya Hagia Sophia menjadi Masjid. Karena menurut Maria Fauzi (2020), Ia bisa menjadi kebanggaan, jika masyarakat Turki, khususnya dunia dapat memahami secara mendalam bahwa pesan penting beralih fungsinya tempat-tempat ibadah tidak lain hanyalah untuk menjaga harmoni antar umat beragama. Hagia Sophia hendaknya menjadi symbol of coexsistence antar umat beragama yang tidak lagi mementingkan identitas, kekuatan, dan kepentingan kelompoknya sendiri-sendiri. Tidak ada lagi persekusi bagi mereka yang berbeda, pun tidak ada kebenaran absolut yang dianggap mewakili suatu kelompok tertertu.
Mewaspadai Provokasi Khilafah
Bagi sebagian masyarakat Muslim, Hagia Sophia merupakan ikon kejayaan Islam di masa lalu, tetapi sebenarnya ia adalah lahir dari penaklukan militer. Namun, yang lebih penting adalah warisan peradaban dunia ini merupakan tempat yang dihormati oleh seluruh penganut agama. Sebagaimana halnya Masjid Al-Aqsa (Al-Quds) di Palestina. Ia menjadi ikon keberagamaan para pemeluk agama abrahamik (Islam, Kristen, Yahudi) yang senantiasa saling menjaga. Tetapi, kelompok zionis Israel selalu memaksakan diri untuk sepenuhnya menguasai situs bersejarah di Yerusalem tersebut.
Reruntuhan romantisme masa lalu terkait dengan kejayaan Islam mencoba digaungkan kembali oleh para pengusung khilafah. Mereka membayangkan dengan alihfungsinya hagia Sophia menjadi media mereka untuk memperjuangkan kembali kekhalifahan yang sudah menjadi puing-puing. Padahal jelas-jelas ini bentuk dari komodifikasi/politisasi agama dan merupakan ilusi romantisme yang tidak berarti.
Pasca diresmikannya Hagia Sophia, berbagai tendesi revivalisme muncul beramai-ramai di jagat maya, khususnya di Twitter. Berbagai perang tagar pun bermunculan terkait dengan dukungan dan kontruksi wacana dari para Buzzer Islamis. Mereka berupaya memprovokasi masyarakat untuk kembali melihat romantisme masa lalu yang pernah diraih oleh Islam dan menjualnya sebagai produk masa lalu yang perlu diraih kembali dengan cara menerima Khilafah.
Dalam konteks inilah peran kita dibutuhkan. Para provokator dan Buzzer di media itu harus reduksi dengan mencounter wacana di medsos dan menghargai kebijakan tersebut sebagai jalan tengah. Karena diresmikannya Hagia Sophia sebagai Masjid merupakan kebijakan politis yang patut dihormati, tanpa harus dibarengi dengan tendesi populis-revivalis yang sebenarnya dapat membekukan wacana keberagamaan di dunia. Akhirnya, dengan diresmikannya Hagia Sophia dari museum menjadi Masjid, semoga menjadi media saling terjaganya kerukunan antar umat beragama. Jangan sampai situs bersejarah yang diakui UNESCO ini menjadi senjata makan tuan bagi Turki, apalagi umat Islam dalam konflik sektarian berbalut agama. Kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab bersama. Untuk itu, kita perlu menghargai keputusan tersebut dan semoga bisa menjadi kebijakan yang membawa mashlahat bukan justru mafsadat.