Kaum radikal identik dengan watak oportunis. Mereka lihai mengaitkan peristiwa atau isu untuk menyebarkan ideologi radikal mereka. Seperti yang terjadi belakangan ini. Momen peringatan Hari Kartini 21 April dimanfaatkan untuk menebar propaganda radikalisasi.
Momen Hari Kartini dikaitkan dengan isu Palestina yang lantas memunculkan setidaknya dua narasi. Pertama, bahwa emansipasi perempuan dalam konteks Islam dimaknai sebagai seruan agar perempuan ikut berjihad membela agama.
Jihad dalam hal ini tentu diartikan sebagai perang fisik melawan musuh Islam. Atau lebih spesifik lagi, jihad melawan Israel di Palestina. Narasi ini seolah mendapat momentumnya dengan keluarnya fatwa jihad IUMS yang mewajibkan seluruh umat Islam mengangkat senjata, jihad melawan Israel.
Kedua, narasi yang menyebutkan bahwa sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia idealnya mengadaptasi model relasi laki-laki dan perempuan di negara-negara Islam.
Yakni relasi sosial yang menempatkan perempuan sebagai makhluk domestik dan tidak memiliki akses ke ruang publik. Bagi kaum radikal, percampuran antara perempuan dan laki-laki di ruang publik dianggap sebagai aib yang merusak nilai dan ajaran Islam.
Maraknya Fenomena Radikalisasi Perempuan
Narasi yang demikian ini jelas salah kaprah. Emansipasi yang dipelintir ke dalam seruan jihad bagi kaum perempuan tentu tidak sejalan dengan gagasan Kartini. Emansipasi yang diperjuangkan Kartini adalah hak untuk mendapatkan akses dan fasilitas ke dunia pendidikan.
Lebih dari itu, emansipasi yang dimaksud Kartini adalah upaya membebaskan perempuan dari kekerasan di ranah domestik. Narasi kaum radikal yang mengajak perempuan agar terlibat jihad fisik pada dasarnya justru berpotensi menjerumuskan perempuan pada labirin kekerasan.
Jika diamati, radikalisasi perempuan memang marak terjadi belakangan ini. Perempuan menjadi kelompok paling rentan terpapar ideologi radikal. Hal ini bukan kebetulan belaka. Kaum radikal memang menyasar kaum perempuan sebagai obyek radikalisasi.
Alasannya, perempuan dianggap sebagai makhluk lemah dan irasional yang mudah dipengaruhi. Selain itu, perempuan juga kerap dipersepsikan sengaja makhluk yang dependen alias bergantung pada laki-laki.
Di titik ini, bisa disimpulkan bahwa misoginisme itu dekat dengan konservatisme dan ekstremisme agama. Fenomena terorisme keluarga (family terrorism) yang melibatkan perempuan (ibu) adalah bukti bagaimana inferioritas perempuan rentan dimanfaatkan oleh jaringan radikal terorisme.
Narasi kedua, yakni anggapan bahwa relasi perempuan dan laki-laki di ruang publik yang dianggap aib juga bertentangan dengan gagasan Kartini dan ajaran Islam itu sendiri. Pemikiran Kartini tentang perempuan itu berangkat dari satu kata kunci, yakni kesetaraan.
Kartini Menolak Patriarkisme
Kartini mendobrak budaya feodalisme dan patriarkisme yang memposisikan perempuan sebagai konco wingking alias makhluk domestik yang hanya berkutat soal urusan dapur, sumur, dan kasur.
Selain bertentangan dengan gagasan Kartini, relasi perempuan dan laki-laki yang tidak setara di ruang publik sejatinya juga tidak sesuai dengan prinsip Islam. Konsep dasar Islam dalam relasi sosial adalah musawwa alias kesetaraan hak.
Di dalam Islam, semua umat manusia memiliki kedudukan setara di hadapan Allah. Yang membedakan hanyalah ketakwaanya. Konsep musawwa ini juga berlaku dalam relasi laki-laki dan perempuan, dimana keduanya memiliki hak dan kewajiban yang sama secara sosial dan spiritual.
Gagasan Kartini tentang emansipasi itu sebenarnya adalah lanjutan dari konsep Islam tentang kesetaraan hak. Kartini sendiri merupakan santri dari ulama kawakan, yakni Syekh Soleh Darat. Sedikit banyak ia pun mendiskusikan pandangannya tentang relasi perempuan dan laki-laki yang dalam kultur Islam kerap tidak setara. Kartini melakukan semacam auto kritik terhadap kultur patriarkisme Jawa yang dibungkus dengan ajaran Islam.
Memeringati Hari Kartini pada dasarnya adalah merawat spirit kesehatan hak antara perempuan dan laki-laki, serta spirit menghadirkan ruang publik yang inklusif sekaligus memberikan akses pada perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya.
Jangan sampai, gagasan Kartini tentang pemberdayaan perempuan itu dipelintir oleh kaum radikal ke dalam narasi jihad dan domestikasi. Jihad perempuan adalah memberdayakan dirinya, dan mendidik generasi yang moderat, nasionalis, dan toleran.
Menjadi agen perdamaian adalah jihad perempuan di era modern. Perempuan potensial menjadi agen juru damai dan gerakan nirkekerasan lantaran mereka memiliki naluri keibuan secara alami. Naluri keibuan ini kiranya menjadi modal untuk membangun peradaban manusia yang berbasis pada sikap saling mengenal, menghormati, dan memahami.
Perempuan Sebagai Agen Perdamaian
Peringatan Hari Kartini adalah momentum untuk menerjemahkan ulang gagasan Kartini dalam konteks kekinian. Konteks dimana bangsa menghadapi bermacam tantangan namun juga memiliki sejumlah peluang.
Tantangan bangsa ke depan adalah bagaimana mendidik generasi yang tidak hanya cakap dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, namun juga memiliki ketahanan ideologis yang kuat. Generasi yang mampu berpikir global tanpa kehilangan akar lokalitas. Generasi yang mampu menjadi bagian dari komunitas internasional, namun tidak kehilangan jatidiri keindonesiaannya.
Disinilah gagasan Kartini menjadi sangat relevan. Terbukanya akses perempuan ke ruang publik, terutama di bidang pendidikan dan pemberdayaan ekonomi akan menjadi stimulus untuk menciptakan generasi yang berkualitas di masa depan.
Indonesia tentu tidak perlu latah ikut-ikutan negara-negara Islam yang membatasi kaum perempuan berkiprah di ruang publik. Lagipula, sebagian negara Islam pun kini cenderung mengadaptasi paradigma kesetaraan gender.
Sebut saja misalnya Adab Saudi. Negara Islam yang dikenal sangat ketat dalam membatasi hak perempuan di ruang publik itu kini mulai mengubah pandangannya. Perempuan Arab kini mendapat hak untuk menyetir mobil, memiliki hak suara dalam politik, hingga hak untuk memiliki aset ekonomi. Itu tentu sebuah kemajuan yang patut diapresiasi.
Menjadi ironis, jika Indonesia yang sejak lama menerapkan relasi kesetaraan laki-laki dan perempuan justru ingin kembali ke zaman “jahiliyyah”. Meneladani sikap dan gagasan Kartini hari ini idealnya diwujudkan ke dalam sikap kritis dalam memahami alasan agama (Islam).
Islam harus senantiasa dikontekstualisasikan dengan pepblematika zaman. Itulah yang berusaha dilakukan oleh Kartini ketika belajar Islam ke gurunya, Kiai Haji Soleh Darat. Selain itu, meneladani gagasan Kartini juga bisa dilakukan dengan menyebarkan pesan damai dan toleran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang plural.