Hanya tinggal hitungan hari lagi, Idul Fitri kembali dirayakan oleh semua umat Islam di seluruh negara di belahan bumi mana pun. Jelas bahwa perayaan Idul Fitri di Indonesia akan berbeda dengan perayaan di negara lain. Banyak hal-hal yang lazim dilakukan di Indonesia, namun di negara lain hal tersebut tidak menjadi hal yang umum, atau bahkan sangat asing bila tetap dilakukan. Sehingga menikmati suasana dan tradisi yang ada di negara ini menjadi sebuah hal yang sangat sayang untuk dilewatkan. Lebih-lebih lagi bila hal tersebut dapat lebih dikontekstualisasikan lagi dengan keadaan bangsa ini yang memang membutuhkan jalinan jabat erat pemaafan dalam bingkai persaudaraan.
Seperti kita telah ketahui bersama, di Indonesia sendiri momentum Idul Fitri ini digunakan sebagai ajang untuk sejenak lepas dari rutinitas sehari-hari dan kembali merekatkan tali silaturahmi yang renggang dengan keluarga di kampung. Mudik merupakan istilah yang akrab di telinga kita untuk menjembatani keinginan tersebut dengan keluarga dan handai-taulan di kampung. Seperti kita ketahui pula, kembali menjalin tali silaturahmi yang dirasa sedikit merenggang menjadi ide dibalik tradisi ini. Lewat jabat tangan, senyum ikhlas dan saling menyapa menjadi hal yang lazim dilakukan guna mewujudkan ide tersebut.
Persoalan Persatuan Bangsa
Sebenarnya hal ini pula-lah yang penting dihadirkan bangsa ini sekarang. Kekisruhan yang terjadi menjelang gelaran pesta politik tingkat daerah pada 2018 dan nasional pada 2019 nanti menjadi sebab dibutuhkannya implementasi hal di atas secara nyata dan secara nasional. Kekisruhan yang terjadi di panggung politik (luring) hingga merembet ke media sosial (daring) lalu kemudian kembali lagi ke dalam realitas hidup masyarakat telah membuat banyak emosi bangsa ini tersedot untuk saling nyinyir atau mungkin saling menghardik pihak yang berbeda. Salah satu hal yang paling santer hadir dan berdebat dalam media sosial serta membuat atmosfir yang ada meningkat khususnya dalam dua tahun belakangan adalah perdebatan antara kelompok “Cebong” dan kelompok “Kampret/Onta”. Perdebatan yang ada seringkali sampai pada posisi saling menghina, mengkafirkan pihak lain bahkan ada juga yang sampai mengajak baku hantam pihak lainnya. Sungguh sebuah perdebatan yang nir-substansi namun harus diakui bahwa hal demikianlah yang banyak dicari masyarakat dan kemudian di komodifikasi pihak tertentu untuk mendulang simpati.
Akibatnya yang sudah banyak dirasakan di level masyarakat adalah simpul relasi yang sebelumnya tercipta baik di dunia maya maupun hingga level kehidupan sehari-hari menjadi terurai dan bahkan hampir terlepas. Ini bukan sebuah omong kosong. Sebab, Asosiasi Pengguna Jasa Internet di Indonesia (APJII) yang rutin mengeluarkan survei tahunan mengenai pengguna jasa internet di Indonesia, melihat adanya peningkatan pengguna internet tiap tahunnya. Untuk tahun 2017 saja pengguna internet di Indonesia telah mencapai angka 143,26 juta. Bisa dikatakan setengah dari penduduk Indonesia telah bersentuhan dengan internet. Sehingga tidak mengejutkan bila hal apa pun yang terjadi di belahan bumi Indonesia manapun, khususnya yang berhubungan dengan identitas Suku, Agama, Ras, Antar Golongan (SARA) akan cepat memperoleh tanggapan berupa respon positif, pelintiran atau bahkan respon negatif. Ini terjadi karena memang penglihatan masyarakat mengenai batasan antara segala hal yang terjadi daring dan luring sudah tak bersekat lagi. Pemisahan antara tanda (representasi) dan realitas mendadak hilang (Baudrilard, 1983). Sehingga segala macam komentar, seruan, lontaran kebencian, amarah dan seterusnya potensial untuk tidak berhenti pada media daring saja. Akibatnya tidak heran bila dalam beberapa kesempatan kita melihat adanya kelompok-kelompok yang mengatasnamakan identitas tertentu terutama agama Islam yang kemudian mempersekusi pihak lain.
Jabat Erat Daring dan Luring
Bila di bagian atas sempat dijelaskan seperti apa selama ini bangsa ini melihat tradisi Idul Fitri yang telah kuat melekat dalam bangsa ini, maka sebenarnya bukanlah hal yang terlampau sulit bila sebuah persatuan ingin kembali dirajut. Yang kita perlukan hanyalah menyadari bahwa peristiwa Idul Fitri sewajibnya kita jadikan ajang untuk saling mengintrospeksi diri, merendahkan hati, menghaturkan maaf dan menjabat erat tangan sesama anak bangsa baik secara daring maupun luring. Sudah saatnya kita menyadari bahwa persatuan merupakan hal yang penting dan mendesak untuk dijaga secara terus-menerus.
Kita harus menyadari argumen seorang Jean Baudrilard di atas merupakan pisau bermata dua. Yang di satu sisi saat ini memang tengah mengancam kerukunan dan keberagaman bangsa ini, namun sebenarnya dapat pula menjadi alat untuk menyerang balik pihak-pihak yang sengaja mengambil keuntungan dari keadaan ini. Bila memang kita telah menyadari bahwa antara daring dan luring saat ini sudah sukar melihat sekat yang ada, maka mestinya langkah menjabat erat semua anak bangsa dalam momentum Idul Fitri ini dapat menjadi pemantik semangat persatuan dan mengesampingkan perbedaan. Ingat, sebagai anak bangsa, adalah tugas kita bersama untuk tidak menyerah dalam memantik dan mendorongkan persatuan sesama anak bangsa melalui segala macam hal. Akhirnya terimalah jabat erat dan permohonan maaf saya, mohon maaf lahir dan batin.