Infodemik, Radikalisme dan Imunisasi Digital

Infodemik, Radikalisme dan Imunisasi Digital

- in Narasi
1690
1
Infodemik, Radikalisme dan Imunisasi Digital

Selain menghadapi gelombang penyebaran virus Covid-19 yang mematikan, kita juga menghadapi arus sebaran informasi digital yang berkelindan dengan misinformasi bahkan hoaks. Fenomena penyebaran wabah penyakit mematikan secara global itu disebut sebagai pandemi. Sedangkan fenomena ledakan misinformasi dan hoaks itu kerap disebut sebagai infodemik. Dua hal itulah yang saat ini tengah menjadi tantangan berat yang harus dihadapi bangsa Indonesia.

Di satu sisi, pandemi Covid-19 belum sepenuhnya bisa dikendalikan. Fase kenormalan baru yang baru berjalan dua pekan justru dibarengi dengan lonjakan kasus harian terkonfirmasi Covid-19. Di sisi lain, kenaikan jumlah terkonfirmasi Covid-19 itu juga berbanding lurus dengan mewabahnya berita bohong, propaganda, dan narasi negatif seputar pandemi Covid-19. Gelombang infodemik tentang Covid-19 ini dapat diidentifikasi ke dalam setidaknya dua macam.

Pertama, narasi konspiratif yang meyakini bahwa virus Covid-19 ialah ciptaan manusia dan sengaja disebar dengan maksud tertentu. Kedua, narasi politis yakni bahwa pemerintah gagal menangangi pandemi Covid-19. Ketiga, narasi keagamaan yakni bahwa pandemi Covid-19 ialah hukuman karena umat Islam tidak mendirikan sistem khilafah di muka bumi. Gelombang infodemik Covid-19 ini ibarat gelombang pasang yang menghantam bangunan kebangsaan kita. Dan di atas gelombang tersebut, ada pihak yang justru berselancar. Siapa lagi jika bukan kaum radikal.

Tampaknya sudah menjadi watak kaum radikal untuk bersikap oportunis alias lihai memanfaatkan keadaan untuk keuntungan kelompoknya sendiri. Ketika masyarakat dirundung susah lantaran pandemi yang tak kunjung berakhir, mereka justru memanfaatkan situasi untuk bermanuver. Mereka memanfaatkan gelombang infodemik Covid-19 tersebut untuk menggoyang otoritas pemerintah dan menghasut publik agar anti pada kebijakan pemerintah.

Baca Juga : Merawat Kebhinekaan di Era Digital

Gelombang infodemik yang dipenuhi oleh residu disinformasi dan hoaks itu lantas membuat publik cemas, panik, takut dan berada dalam ketidakpastian. Dari sisi psikologis, hal ini akan berdampak pada menurunnya stabilitas emosi kejiwaan yang tidak menutup kemungkinan akan memicu munculnya stress atawa depresi.

Secara klinis, stres dan depresi akan berpengaruh pada melemahnya imunitas tubuh yang dibutuhkan untuk menangkal serangan virus Covid-19. Sedangkan secara sosio-politis, gelombang infodemik itu potensial merusak hubungan antarmasyarakat dan antara pemerintah dan masyarakat. Dalam lingkup lebih luas infodemik akan mengancam tatanan sosial dan politik kita.

Pada titik ini bisa kita simpulkan bahwa gelombang infodemik, apalagi yang diboncengi oleh narasi radikalisasi keagamaan ialah sama berbahayanya dengan pandemi Covid-19. Serupa dengan virus Covid-19, disinformasi, berita bohong dan ujaran kebencian juga bisa menyebar dengan cepat, menjangkiti siapa saja, dan sukar diberantas.

Menurut data Gugus Tugas Covid-19, selama empat bulan masa pandemi ini setidaknya terdapat 130 ribu berita palsu terkait Covid-19. Dari ratusan ribu kasus yang dilaporkan ke pihak berwajib tersebut, diperoleh 17 orang tersangka pelaku pembuat dan penyebaran hoaks.

Tingginya jumlah hoaks di masa pandemi tentu patut menjadi perhatian kita bersama. Jangan sampai, upaya pemerintah dan masyarakat untuk melawan pandemi justru digagalkan oleh para oportunis yang berupaya mengeksploitasi ketakutan dan kecemasan masyarakat. Apalagi ketika masyarakat mulai memasuki fase kenormalan baru ini, dimana fokus pemerintah ialah melawan pandemi sekaligus memulihkan ekonomi.

Isu new normal tentu akan menjadi amunisi baru kalangan radikal untuk menyerang pemerintah tentu melalui narasi negatif yang menyesatkan. Disinilah pentingnya masyarakat sebagai konsumen berita untuk mampu bersikap cerdas sekaligus bijak dalam menghadapi banjir informasi, terutama di dunia digital.

Dalam konteks jangka panjang, kita jelas memerlukan sebuah gerakan literasi digitial yang terstruktur dan masif menjangkau seluruh lapisan dan kelompok masyarakat. Literasi digital bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi nilai kebenaran sebuah informasi di dunia maya sekaligus membentuk kesadaran akan pentingnya bijak dalam bermedia digital.

Namun, sebagai sebuah solusi jangka panjang, literasi digital tentu tidak bisa diwujudkan secara instan. Sementara kita tahu, infodemik Covid-19 yang saat ini kita hadapi membutuhkan solusi jangka pendek yang cepat namun efektif.

Untuk itulah, kita perlu mengembangkan formula yang populer disebut “THINK” dalam berselancar di dunia maya dan bermedia sosial. THINK terdiri atas T: Is is True? alias apakah berita itu benar? H: It is Helpful? Apakah berita itu memiliki nilai kegunaan? I: It is Inspiring? Apakah berita itu memiliki kemampuan menginspirasi secara positif? N: Is it Necessary? Apakah berita itu benar-benar perlu dan penting? Dan K: Is it Kind? Apakah berita itu baik untuk dikonsumsi dan didistribusikan? Pertimbangan-pertimbangan sederhana yang berpijak juga pada logika sederhana ini akan menentukan sikap kita ketika berhadapan dengan sebuah berita atau informasi (Hidayah: 2020). Formula THINKini kiranya bisa kita “suntikkan” ke dalam paradigma berpikir dan berperilaku kita di dunia maya sebagai semacam imunisasi digital. Tujuannya agar kita sebagai pribadi dan masyarakat mampu memutus rantai penyebaran hoaks dan membendung arus infodemik yang tidak hanya meresahkan, namun juga membahayakan. Imunisasi digital yang dilakukan secara masif akan membentuk pola kekebalan komunitas dari infiltrasi narasi-narasi negatif terutama yang belakangan marak didengungkan oleh kelompok radikal.

Facebook Comments