Penolakan izin terhadap Ormas Muhammadiyah dalam rangka perayaan Hari Raya Idul Fitri “lebih awal” oleh pemerintah Wali Kota Pekalongan dan Sukabumi menjadi bentuk Intoleransi beragama. Padahal perbedaan pendekatan dalam penentuan hari raya antar Ormas sudah sejak lama terjadi, tak heran hal ini menjadi problem sosial-keagamaan yang bisa mengancam realitas ke-Indonesiaan di masa depan. Jika dibiarkan hal itu akan semakin membuat kemunduran kualitas keberagaman dan mampu menyebabkan disharmoni di masyarakat.
Tak bisa dipungkiri, intoleransi (intra/inter) agama akan bisa terus terjadi kapan saja dan di mana saja, karena konflik identitas (agama) menjadi bagian dari realitas kemanusiaan. Namun yang penting dari itu adalah bagaimana pengelolaan terhadap potensi konflik, sehingga dengan pengelolaan itu bisa diarahkan ke dimensi yang lebih positif.
Kasus yang sama juga terjadi, yakni pada penutupan Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) oleh Bupati Purwakarta (1/04/23). Hal ini menjadi dilema minoritas untuk kesekian kalinya antara agama vis a vis negara. Apa yang dilakukan oleh Bupati Purwakarta melalui penutupan GKPS adalah bentuk diskriminasi beragama.
Padahal sebelumnya, pada tanggal 17 Januari 2023, Presiden Jokowi dalam Rakornas Kepala daerah dan Forkopimda se-Indonesia di Sentul menegaskan bahwa kebebasan beragama dan beribadah di masyarakat itu dijamin oleh konstitusi. Artinya, jika ada elemen negara yang melakukan pelarangan terhadap ibadah agama orang lain (masyarakat), adalah bentuk pelanggaran konstitusi. Kemerdekaan dalam beragama di Indonesia jelas dilindungi oleh UU sebagaimana termuat dalam pasal 28E ayat 1 dan pasal 29 ayat 2 UUD 1945.
Dalam hal ini, Kepala Daerah yang memiliki wewenang strategis dalam hal kepentingan warganya dalam hal beribadah. Bukannya memfasilitasi dan mempermudah izin penggunaan tempat ibadah dan pendiriannya serta memberikan jaminan hak dan kebebasan, Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika melalui Satpol PP justru melakukan penutupan secara sepihak dan seakan-seakan mendukung kelompok intoleran. Ia menerapkan kebijakan sepihak mengingat hal yang sama tidak diberlakukan kepada bangunan Masjid yang lainnya.
Moderasi Pasca Ramadan
Dari kasus di atas menjadi bukti bahwa kerukunan beragama di Indonesia masih menjadi nestapa bagi sebagian liyan, karena begitu kuatnya potensi diskriminasi bagi yang berbeda. Realitas kenestapaan itu harusnya diarahkan menuju penguatan kerukunan beragama, dan bagaimana pengarusutamaan toleransi dan moderasi pasca Ramadan di tengah potensi intoleransi di masyarakat. Toleransi tentu tidak sekadar saling menghormati dan menghargai perbedaan, tetapi lebih dari itu juga melampaui nilai-nilai yang secara inheren ada pada toleransi itu sendiri. Maknanya lebih dari sekadar toleransi moral atau koeksistensi pasif.
Sebagaimana ditegaskan oleh Ali Usman (2022), Toleransi adalah persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, sementara koeksistensi adalah penerimaan terhadap pihak lain yang berbeda sebagai upaya mencegah konflik. Kaum intelektual sering menyebutnya juga sebagai pluralisme (agama), yang menurut Mohamed Fathi Osman (1996) adalah bentuk kelembagaan di mana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan.
Di sisi lain, membumikan nilai-nilai moderasi di ranah publik sangat penting dan harusnya menjadi esensi peribadatan pasca Ramadan ini agar kedepannya mampu mengejawantahkan rasa empati dan toleransi. Nilai moderasi di antaranya adalah Tawassuth (Di tengah-tengah), Tasamuh (Toleran), Tawazun (Seimbang dan tidak memihak), serta I’tidal (konsisten dan tegas). Mengingat membumikan nilai-nilai moderasi ini sangat penting bagi eksistensi bangsa Indonesia yang bhinneka ini.
Di momen pasca lebaran ini, menjadi penting kiranya bagi masyarakat, khususnya kalangan Muslim menyadari urgensi keberadaan minoritas agama. Minoritas harus diperlakukan sama dengan yang lainnya, tanpa melihat latar belakang dari suku, agama, ras dan golongannya. Moderasi beragama harus menjadi spirit nilai dalam laku kehidupan masyarakat.
Patut diakui bahwa terjadinya berbagai bentuk intoleransi, salah satunya akibat dari minimnya pluralisme. Sebagaimana menurut Ahmad Najib Burhani (2020), bahwa implementasi dari sikap pluralitas hukum dan sosial di Indonesia seakan terbatas kepada enam agama yang diakui, padahal begitu banyak kelompok yang menjadi persoalan status identitas keberagamaannya di luar agama yang resmi diakui pemerintah. Maka, penyebab utama terjadinya problem antara mayoritas dan minoritas ini karena pola pluralisme terbatas tersebut.
Inilah bentuk dari pengarusutamaan kerukunan beragama. Semoga kita bisa belajar dari berbagai peristiwa di atas sehingga nestapa kerukunan antar umat beragama yang potensial tidak terjadi lagi.