Islam Nusantara dalam Indahnya Ramadan : Ajaran, Pendekatan dan Strategi Kebudayaan

Islam Nusantara dalam Indahnya Ramadan : Ajaran, Pendekatan dan Strategi Kebudayaan

- in Narasi
47
0
Islam Nusantara dalam Indahnya Ramadan : Ajaran, Pendekatan dan Strategi Kebudayaan

Ramadan dalam Bingkai Tradisi

Tidak hanya Indonesia, barangkali banyak negara mempunyai tradisi yang unik dalam menyambut, menanamkan nilai dan melanggengkan syariat Ramadan. Di Bosnia misalnya untuk menandai waktu berbuka puasa, mereka menembakkan Meriam yang telah berusia ratusan tahun dan diwariskan turun menurun. Bunyi Meriam ini disambut meriah, riang dan gembira. di Qatar, Lebanon, Oman, Kuwait, Tunisia, Suriah, Bahrain.

Selain menjelang magrib, ada tradisi unik lainnya dari Turki untuk membangunkan warga muslim agar melaksanakan ibadah sahur yakni dengan menabuh drum atau gendering. Mereka berkeliling sambil mengenakan pakaian tradisional. Di Maroko tradisi ini dikenal dengan Nafar, yakni sekelompok pembawa pesan yang mengenakan pakaian tradisional gandora, sandal dan topi dengan meniupterompet untuk membangunkan sahur.

Tentu masih banyak tradisi lainnya di berbagai negara, di Indonesia juga tidak kalah menariknya dari istilah takjil dengan berbuka bersama, tradisi membangunkan sahur di masing-masing daerah dengan kearifan lokal yang berbeda-beda, serta beragam kegiatan dan aktifitas yang khas nusantara.

Apakah rangkaian tradisi dari berbagai negara semacam itu bid’ah? Apakah hal semacam ini bertentangan dengan syariat atau justru menguatkan syariat puasa? Kemeriahan, kolektifitas dan semangat kebersamaan di bulan Ramadan ditandai dengan ragam tradisi yang bukan menjadi bagian dari penambahan dalam ibadah. Agama dibingkai dalam kekuatan tradisi yang kuat dan bertahan sampai saat ini.

Tradisi Syiar Ramadan dan Bid’ah

Di Indonesia sangat tidak bijak dengan mengatakan tradisi imsak sebagai bid’ah sebagaimana Khalid Basalamah yang selalu menghukumi kebaikan apapun harus berdasar dalil. Jika menggunakan imsak untuk berhati-hati dan tidak menjadikan ini sebagai bagian dari tambahan ibadah tentu tidak masalah. Apalah ada hadist yang mengatakan jeda antara setelah sahur dan subuh adalah sekitar pembacaan 50 ayat.

Tradisi imsak dengan memberitahukan masyarakat agar segera menghindari makan dan minum adalah sebuah tradisi yang bagus. Sekali lagi bukan ajaran baru. Umat diberikan peringatan untuk segera menyelesaikan makan dan minum serta aktifitas lain yang membatalkan puasa sebelum fajar terbit atau waktu subuh.

Tradisi nusantara ini tidak ada yang bertentangan dengan syariat puasa, justru menguatkan ajaran puasa. Tidak semua hal kebaikan yang dibangun dalam rangka menguatkan syariah harus mendapatkan dalil. Lihatlah semisal dua adzan pada hari jumat yang diperintahkan oleh Khalifah Usman untuk memberikan peringatan waktu dzuhur dan waktu khatib sudah berada di atas mimbar.

Tentu saja ini sebagai inovasi dalam menguatkan syariat shalat jumat karena umat semakin banyak pada saat itu. Karena itulah adzan dua kali ini sebagai peringatan agar umat Islam bergegas menghadiri masjid.

Melihat hal ini sejatinya tradisi imsak bukan hal yang bertentangan dengan syariat yang harus dicarikan dalil. Tradisi imsak hanya memberikan peringatan atau memanggil melalui pengeras suara agar masyarakat bergegas menyetop aktivitas makan dan minum sebelum tiba subuh. Hanya tradisi imsak bukan sampai menambah adzan seperti masa Khalifah Usman, kenapa sampai begitu rebut dituduh bid’ah.

Bukan persoalan alergi dengan masalah bid’ah. Hanya saja dalam konteks pemahaman masyarakat yang awam, bid’ah seolah merupakan hal baru yang menyesatkan. Jika sudah dikatakan bid’ah maka seolah menjadi sesat. Ketika hal itu dilemparkan maka ia hanya menjadi satu-satunya yang paling benar sesuai sunnah. Sementara yang lain sesat, bid’ah dan tempatnya tentu saja di neraka.

Cerdas Membedakan Ajaran, Strategi, dan Pendekatan

Jika tradisi imsak saja dibid’ahkan berapa banyak tradisi di Ramadan yang harus dibid’ahkan? Tradisi membangunkan sahur yang tidak ada waktu zaman Nabi, tradisi menandai berbuka dengan berbagai alat yang tidak ada zaman Nabi. Terbaru misalnya mendidik puasa dengan istilah puasa setengah hari bagi anak-anak tidak ada ajaran dalam Islam.

Ternyata ada ketidakbijaksanaan dan ketidakarifan atau bisa jadi ketidakmatangan dalam memahami kondisi agama, budaya, tradisi dan pendekatan syiar. Agama adalah ajaran yang baku, sementara pendekatan syiar memerlukan banyak pintu yang berbeda setiap masyarakat. Anak-anak yang belum menerima taklif kewajiban diajarkan untuk mengikuti berpuasa walaupun setengah sebagai pendekatan mendidik. Sebagaimana mendidik anak datang ke masjid walaupun tidak melakukan shalat.

Sungguh terkadang menjadi sangat bingung menghadapi seseorang yang menyandarkan segala hal pada dalil. Ada sesuatu yang tidak perlu dalil karena berkaitan dengan pendekatan, sarana dan strategi dalam menjalankan syariat. Peringatan sirene, bom, bedug menandai buka puasa merupakan sarana dan strategi kebudayaan yang tidak semestinya harus dicarikan dalil. Semuanya dibuat untuk memperkuat syariat.

Bagaimana Sahabat yang bijak, arif dan cerdas seperti Khalifah Umar mensyiarkan tarawih secara berjamaah. Itulah Bid’ah Khalifah Umar. Sesuatu yang tidak pernah ada zaman Rasulullah. Hingga hari ini tawarih bukan hanya ritual tetapi menjadi syiar Ramadan yang luar biasa berkah dari bid’ahnya Khalifah Umar.

Maka, semakin yakin tradisi nusantara dalam menyambut Ramadan adalah ma’ruf dan mashlahah yang tidak bertentangan dengan syariat. Semuanya menjadi syiar bagi kemegahan Ramadan, menjadi taklim bagi umat dalam memahami dan mewariskan nilai Ramadan. Tradisi Nusantara dalam Ramadan sama halnya dengan tradisi lainnya di Timur Tengah sebagai bagian dari akulturasi ajaran dengan strategi dan pendekata kebudayaan.

Facebook Comments