Ramadan ala Islam Nusantara; Antara Akulturasi dan Spirit Moderasi

Ramadan ala Islam Nusantara; Antara Akulturasi dan Spirit Moderasi

- in Kebangsaan
158
0
Ramadan ala Islam Nusantara; Antara Akulturasi dan Spirit Moderasi

Bagi umat Islam di Indonesia, bulan Ramadan bukan sekadar momentum untuk memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri pada Allah. Lebih dari itu, Ramadan sudah dianggap sebagai semacam festival keagamaan yang patut dirayakan dengan penuh suka cita.

Maka, Ramadan di Indonesia cenderung berbeda dengan di negara-negara muslim lainnya. Salah satu yang membedakan adalah adanya tradisi dan budaya di bulan Ramadan yang hanya ada di Indonesia.

Sebelum Ramadan tiba, masyarakat di sejumlah daerah melaksanakan sejumlah tradisi. Antara lain, Nyadran, Munggahan, Padusan, Megengan, dan sejenisnya. Di bulan Ramadan, tradisi seperti membangunkan sahur keliling, buka bersama, atau tadarus bersama di masjid merupakan tradisi yang khas Indonesia dan sulit ditemui di negara muslim lainnya.

Tidak hanya itu, dari sisi tatacara puasa pun, kita terbilang khas dan berbeda dengan muslim di negara lain. Salah satunya tentang aturan imsak. Banyak para pendakwah salafi-wahabi yang mempersoalkan aturan imsak ini, karena dianggap menyalahi hukum Islam dan tidak ada aturannya dalam Alquran maupun hadist.

Termutakhir, dalam sebuah acara talkshow di kanal YouTube, penceramah Khalid Basalamah menyebut bahwa aturan imsak itu hanya ada di Indonesia dan bukan ajaran Islam. Secara tidak langsung ia menyebut imsak sebagai ajaran bidah.

Ramadan dan Ijtihad Ulama Nusantara

Padahal, aturan imsak itu adalah hasil ijtihad para ulama Nusantara sebagai bentuk kehati-hatian agar umat Islam menjalankan ibadah puasa Ramadan dengan sempurna. Imsak dimaksudkan bukan sebagai akhir waktu sahur, namun sebagai semacam rambu-rambu bahwa waktu puasa akan segera dimulai.

Imsak adalah ijtihad para ulama Nusantara yang memahami bahwa masih banyak umat Islam Indonesia yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang menentukan masuknya waktu Subuh sebagai awal dimulainya puasa.

Puasa Ramadan ala Islam Nusantara dengan demikian identik dengan nuansa budaya lokal. Misalnya, ketika kurma yang disunnahkan sebagai hidangan berbuka sulit dijangkau, umat Islam Nusantara mengakalinya dengan sajian kolak, kue tradisional, dan sajian lain yang umumnya memiliki rasa manis.

Buya Syafi’i Ma’arif sebagaimana dikutip Hatim Ghazali menyebutkan bahwa corak keislaman di Nusantara atau Indonesia adalah pertemuan antara ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan hadist serta kebudayaan atau tradisi lokal. Keduanya tidak saling menafikan atau meniadakan.

Melainkan saling memperkaya khazanah masing-masing. Akulturasi Islam dan budaya lokal Nusantara inilah yang membuat ekspresi keislaman di Indonesia menjadi khas dan berbeda dengan negara muslim lainnya.

Ramadan dan Spirit Moderasi Islam

Akulturasi antara Islam dan tradisi atau kearifan lokal adalah hal yang patut disyukuri dan tidak perlu dipersoalkan. Apalagi, dihakimi dengan label bidah, sesat, apalagi kafir. Akulturasi Islam dan kebudayaan lokal adalah keniscayaan dan bagian dari strategi kultural dalam mendakwahkan Islam oleh para ulama terdahulu.

Menganggap hasil akulturasi Islam dan budaya lokal sebagai bidah apalagi sesat sama saja dengan meremehkan otoritas keilmuan pada ulama terdahulu yang telah bersusah payah mendakwahkan Islam ke masyarakat Nusantara. Menukil pernyataan Gus Baha’, esensi dakwah itu adalah mengajak masuk orang yang di luar (Islam), bukan justru mengeluarkan yang sudah ada di dalam (Islam).

Pertemuan antara Islam dan kultur lokal juga membuktikan jargon Islam sebagai rahmatan lil alamin. Rahmat Islam itu tidak terbatas pada kelompok tertentu, namun bagi seluruh umat manusia dan alam semesta.

Rahmat Islam tidak hanya tertuju pada masyarakat Arab atau Timur Tengah yang secara sosiologis dan geografis lebih dekat ke titik turunnya Islam untuk pertama kalinya. Namun, Islam juga memberi Rahmat pada masyarakat Nusantara yang secara geografis dan sosiologis jauh dari episentrum dakwah Islam (Mekkah dan Madinah).

Persentuhan Islam dan budaya lokal juga membuktikan bahwa hakikat Islam adalah moderat. Islam datang tidak dengan misi menghapus budaya atau tradisi yang telah eksis sebelumnya. Sebaliknya, Islam mengadaptasi kultur lokal itu sehingga sesuai dengan syariah Islam. Pola yang demikian itu sebenarnya sudah dilakukan oleh Rasulullah Saw.

Misalnya, tradisi masyarakat Arab pra Islam yang tidak bertentangan dengan Islam seperti sistem pertanian, perdagangan, dan sejenisnya tidak dihapus, alih-alih diadaptasi dan dilanjutkan oleh Islam.

Namun, tradisi yang bertentangan dengan Islam, seperti penguburan bayi, menikah tanpa mahar, riba, dan sebagainya dihapus dan dan diganti dengan aturan Islam yang lebih mencerminkan nilai kemanusiaan. Apa yang dilakukan oleh para ulama Nusantara sebenarnya hanya meniru apa yang sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad.

Tradisi Nyadran, Munggahan, Padusan dan sejenisnya, adalah tradisi lama yang dimodifikasi oleh para ulama Nusantara agar sesuai dengan ajaran Islam. Ritual yang bernuansa animistik diganti dengan ritual keislaman, bacaan mantra diganti bacaan doa, sesaji diganti dengan berbagai makanan pada sesama bentuk sedekah. Inilah negosiasi budaya yang dilakukan para ulama terdahulu yang harus diakui sangat jenius.

Ramadan ala Islam Nusantara adalah cerminan dari keislaman yang moderat. Islam yang toleran pada perbedaan, adaptif pada tradisi lokal dan anti pada kekerasan. Spirit moderasi itulah yang idealnya menginspirasi umat Islam hari ini untuk lebih bersikap inklusif terhadap kelompok yang berbeda.

Facebook Comments