Pluriverse dan Bhinneka Tunggal Ika
Pada tahun 2018, Arturo Escobar menerbitkan buku berjudul “Designs for the Pluriverse: Radical Interdependence, Autonomy, and the Making of Worlds”. Tulisan ini menawarkan sebuah ide akan adanya banyak dunia, yang diistilahkannya sebagai “pluriverse” (pluri- artinya “jamak”). Istilah ini membedakan diri dari istilah “universe” (uni- artinya “tunggal”) yang mengandaikan adanya satu dunia, di mana manusia hidup bersama. Penekanan Escobar pada pluriverse mau menunjuk pada kenyataan bahwa bagi setiap orang, bagi setiap kelompok dengan tradisi atau pandangan yang berbeda, dunia mereka sebenarnya betul-betul berbeda. Cara pandang dunia seorang pedagang yang beragama Hindu akan jauh berbeda dengan seorang wiraswasta yang beragama Buddha, misalnya. Begitu juga dengan tradisi-tradisi lain; masing-masing akan memiliki dunianya sendiri yang mau tidak mau akan bertemu melalui komunikasi dan kontak sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu ide yang dibawa bersama dengan konsep pluriverse itu adalah bahwa dunia yang satu dengan yang lainnya saling membentuk satu sama lain. Misalnya, cara pandang pedagang Hindu tadi akan membentuk juga cara pandang wiraswasta Buddhis ketika mereka bertemu. Pengalamannya sebagai pedagang, pengalamannya sebagai seorang Hindu, akan bertemu dan memengaruhi, menguatkan dan mengajak kawannya itu untuk merefleksikan pengalamannya sendiri sebagai seorang wiraswasta Buddhis. Maka ketika mereka bertemu, ada sebuah dunia baru yang bersama-sama dibentuk melalui pertemuan nilai-nilai luhur, prinsip, dan pengalamannya.
Rangga Kala Mahaswa, dosen filsafat UGM, meletakkan pemikiran Escobar ini dalam konteks Indonesia dengan menyandingkannya dengan semboyan negara: Bhinneka Tunggal Ika. Mahaswa ingin menunjukkan bahwa ide tentang dunia yang jamak itu sebenarnya tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Namun, tulisan Escobar membawa pemaknaan yang baru tentang Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaannya adalah pada pemaknaan tentang dunia yang dibangun itu.
Bhinneka Tunggal Ika, melalui penelusuran tentang konsep pluriverse itu, dapat dilihat bukan lagi hanya sebagai perbedaan sudut pandang saja. Semboyan itu menunjukkan bagaimana berbagai dunia itu bertemu, saling membentuk dan bersama-sama membangun sebuah realitas bersama yang bernama Indonesia.
Dalam perspektif ini, maka perbedaan bukan lagi sekedar toleransi terhadap perbedaan semata, akan tetapi kemungkinan untuk memahami adanya kesalingtergantungan yang radikal. Maksudnya adalah bahwa masing-masing individu, masing-masing kelompok dengan tradisi keagamaan atau kebudayaan yang berbeda-beda sebenarnya ada dalam sebuah hubungan yang saling membangun satu sama lain. Melalui komunikasi dan pertemuan di kehidupan sehari-hari, bagaimana orang Kristen memahami kasih juga dapat menjadi jalan bagi umat Islam memahami cinta kasih, dan sebaliknya. Kesalingtergantungan itu kemudian berwujud pada jalur-jalur komunikasi yang baik di antara semua kelompok.
Namun, mengikuti logika pluriverse tulisan Escobar, kesalingtergantungan itu perlu mengandaikan diri pada otonomi masing-masing dunia kecil itu terlebih dahulu. Otonomi yang dimaksud muncul dalam sikap saling hormat terhadap satu sama lain. Dengan memberikan kesempatan bagi masing-masing kelompok untuk mengatur kehidupannya sendiri, mereka dapat mewujudkan dunianya itu dengan sepenuh-penuhnya, menurut pengalaman dan nilai-nilai luhur yang mereka bawa dalam tradisi mereka sendiri itu.
Dengan begitu, otonomi yang saling bergantung itu akan menentukan dunia seperti apa yang dibangun bersama. Bhinneka Tunggal Ika menunjukkan bahwa yang tunggal itu berasal dari yang jamak. Pengalaman kolektif Indonesia sebagai sebuah bangsa berangkat dari pengalaman orang-orang yang kecil seperti pedagang dan wiraswasta tadi. Dunia yang bernama Indonesia itu adalah gabungan dari berbagai prinsip dan nilai luhur yang mengambil bentuk dalam berbagai tradisi kebudayaan atau keagamaan.
Menanggapi Islamofobia
Islamofobia tidak ada begitu saja. Ia merupakan sebuah realita yang secara sengaja dibangun, yang berakar pada kesadaran tentang adanya dunia yang lain. Sama dengan pemikiran tentang pluriverse dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu, label Islam adalah wujud dari adanya sebuah dunia yang berbeda.
Namun, kesadaran tentang perbedaan ini malah direspon bukan dengan komunikasi dan kesepakatan yang baik antara dunia-dunia berbeda itu. Keberbedaan dunia itu justru dibingkai sebagai sesuatu yang menakutkan. Sudut pandang ini merupakan sebuah kenyataan yang secara sengaja dibangun oleh pengalaman dan kepentingan yang ingin menguntungkan sebuah dunia tertentu saja. Dalam bingkai ini, islamofobia adalah usaha oleh satu dunia untuk menghapus dunia-dunia yang lainnya.
Dengan begitu, dalam logika fobia ini, dunia yang jamak itu dibangun dengan hubungan yang tidak setara dan antagonistik. Pertama, hubungan yang dibangun itu tidak setara. Ketika dalam ide tentang Bhinneka Tunggal Ika itu dituntut hubungan-hubungan yang setara antara berbagai dunia, logika yang dipakai dalam fobia ini justru hubungan yang tidak setara. Realitas yang dibangun adalah seakan-akan satu dunia lebih penting atau lebih baik dari yang lainnya. Kedua, hubungan yang tidak setara itu dibangun juga dengan karakter yang antagonistik. Hal ini yang membuat perbedaan itu seakan-akan lantas bermakna permusuhan. Padahal seharusnya perbedaan antara berbagai dunia itu saling membentuk dan saling mendukung keberadaannya satu sama lain.
Oleh karena itu, dengan menyadari adanya kesalahan pikir yang mendasari Islamofobia, kita perlu kritis terhadap pemikiran-pemikiran yang mau membangun sebuah dunia yang bersifat tunggal saja, yang tidak memberi tempat bagi sebuah dunia untuk ada di dalamnya. Bhinneka Tunggal Ika telah menyediakan sebuah pondasi bagi dunia yang jamak, yaitu tempat bertemunya berbagai dunia, yang saling membentuk, saling mendukung, dan bersama-sama membentuk realitas di mana berbagai macam dunia dapat masuk di dalamnya.