Isra’ Mi’raj, Membangun Basis Etis Berbangsa

Isra’ Mi’raj, Membangun Basis Etis Berbangsa

- in Narasi
930
0
Isra’ Mi’raj, Membangun Basis Etis Berbangsa

Peringatan Isra’ Mi’raj merupakan salah satu basis tegaknya peradaban Islam yang ditancapkan oleh Nabi Muhammad. Peristiwa yang menandai diwajibkannya shalat ini, menurut Syaikh Muhammad al-Ghazali dalamFiqh al-Sirah, menyiratkan dua hal penting yang harus direfleksikan. Pertama, isra’ dan mi’raj merupakan peristiwa penting bagi konstruksi solidaritas antarumat beragama. Sikap rendah hati, penghargaan, dan penghormatan yang tinggi atas ajaran nabi-nabi terdahulu merupakan salah satu teladan Nabi Muhammad SAW. Karena itu, Syaikh Muhammad al-Ghazali sama sekali tidak sependapat bila ada yang mempertentangkan ajaran para nabi. Bahkan, dalam Al Quran, kita wajib beriman kepada Tuhan, malaikat, kitab-kitab suci, dan para utusan Tuhan terdahulu.

Kedua, Isra dan Mi’raj merupakan peletakan pertama bahwa Islam adalah agama fitrah. Seluruh ajaran ibadah yang diwajibkan kepada umat Islam merupakan fondasi yang wajib dilaksanakan untuk menemukan saripati dan esensi agama.

Isra’ Peradaban

Makna isra’ mi’raj sangat tepat dijadikan refleksi dalam menegakkan peradaban Indonesia. Jangan sampai bangsa ini bergerak menuju pelapukan, sebagaimana yang dikhawatirkan oleh penyair Taufik Ismail melalui puisinya: “Aku (Malu) Jadi Orang Indonesia.”

Disamping itu, gempuran arus globalisasi terus menelantarkan visi-misi Indonesia kedepan. Globalisasi melahirkan kesenjangan social yang tajam, bahkan menurut Samir Amin, globalisasi terlah melahirkan warga Negara kelas empat (fourth), yakni mereka yang tidak lolos proses industrialisasi dan dijadikan objek proyek kaum kapitalis untuk melanggenggkan neo-feodalisme terselubung. Warga dunia kelas empat inilah yang berada dibawah jembatan, kuli yang “tidak digaji”, wanita yang diperdagangkan, dan berbagai pembantaian kemanusiaan lainnya. Yang merisaukan lagi di sini adalah peringatan Abdul Karim Soroush, bahwa yang paling buruk dari warisan rezim-rezim tiranik bukan seberapa banyak kejahatan dan uang yang mereka korup, tetapi pada mentalitas kejahatan dan korupsi yang mereka wariskan.

Potret penindasan tersebut menunjukkan peradaban Indonesia merupakan peradaban yang tiranik: peradaban yang dibangun atas dasar nilai yang kapitalistik yang menindas kaum mustadl’afin. Potret tersebut itulah yang disebut sebagai peradaban tiranik. Untuk itu, Isra’Mi’raj bagi umat Islam harus menjadi momentum mengembalikan wajah peradaban bangsa yang sesuai dengan nilai agama dan budaya bangsa. Dalam konteks ini, me-isra’-kan peradaban adalah keniscayaan. Dalam arti, mengubur dalam-dalam peradaban yang tiranik, kemudian menegakkan peradaban yang humanis-emansipatoris.

Isra’ Nabi dari masjidil haram menuju masjidil aqsho adalah simbol pemaknaan peradaban yang dimulai dengan spirit agung. Membangun peradaban harus dimulai dari masjidil haram, artinya, peradaban jangan lagi pembantaian dan permusuhan. Karena dalam masjidil haram diharamkan seluruh praktek kedurhakaan dan kemaksiatan. Demikian juga, peradaban juga harus dihiasi masjidil aqsho. Artinya, masjidil adsho adalah rumah yang suci (bait al-muqoddas) yang dikelilingi makam para nabi. Peradaban seharusnya dihiasi dengan ketulusan dan kesejatian hidup, sehingga kemegahan peradaban tidak menghadirkan kenistaan dan keruntuhan peradaban itu sendiri.

Isra’ peradaban adalah membangun peradaban dengan jalan spirit keteguhan dan kesejatian yang telah diteladankan Nabi Muhammad sepanjang hayatnya.

Mi’raj Kebudayaan

Mi’raj menjadi momentum Nabi mengadukan berbagai persoalan kepada Allah, kemudian Allah memberikan formula yang luar biasa, yakni shalat. Jadi, jihad nabi menegakkan Islam akan terus tegak, sebagaimana tegaknya shalat bagi ummatnya. Karena dengan shalat, ummat Muhammad akan terus mengasah keyakinan dan keimanan. Keyakinan mantap inilah oleh-oleh Nabi dari sidratul muntaha. Tanpa dasar keyakinan dan keimanan, peradaban sangat rapuh dan ringkih, dan akhirnya runtuh peradaban Fir’aun.

Begitu pentingnya keyakinan, tidak salah kalau Kierkegaard, tokoh eksistensialisme, menyatakan: “Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu.” Dan itu pula sebabnya, mengapa Immanuel Kant berkata: “Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya.” Dan itu pulalah sebabnya mengapa “oleh-oleh” yang dibawa Rasul dari perjalanan Mi’raj ini adalah kewajiban shalat; sebab shalat merupakan sarana terpenting guna menyucikan jiwa dan memelihara ruhani.Shalat inilah media strategis dalam mi’raj kebudayaan.

Seluruh perwujudan kebudayaan haruslah ditransendensikan dalam nilai spiritualitas ketuhanan, sehingga bisa dimanifestasikan demi kemaslahatan kemanusiaan universal. Nilai ketuhanan akan menjadi basis kuat kebudayaan, sehingga nilai kebudayaan tidak gampang bergeser dalam pragmatisme dan instanisme.

Peradaban dan kebudayaan Indonesia yang didasarkan pada moralitas tinggi, sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan kebudayaan bangsa, pasti akan memancarkan cahaya kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan keabadian. Sehingga, nalar peradaban tiranik berupa korupsi, kolusi, akan nepotisme akan segera sirna. Dan disinilah momentum memaknai Indonesia baru menemukan ruangnya, karena dengan cahaya kebenaran dan kemanusiaan baru bangsa Indonesia mampu secara jernih merumuskan arah peradaban bangsa yang humanis-emansipatoris.

Menegakkan Etika Kebangsaan

“Makin banyak orang pandai, makin sulit mencari orang jujur.” Ungkapan tersebut dilontarkan oleh JJ. Rousseau, filosof era modern, penggagas teori kontrak sosial. Rousseau ingin menandaskan bahwa arus modernisasi yang telah membawa kemajuan dalam berbagai dimensi kehidupan ini ternyata gagal membentuk manusia yang berkarakter jujur, membela kebenaran, dan mempunyai jiwa kemanusiaan yang dalam. Yang tumbuh adalah personal-personal yang dengan kelihaian ilmunya digunakan untuk menghegemoni, mengintimidasi, mengeksploitasi, dan bahkan menyengsarakan umat manusia untuk kepentingan pribadinya. Negeri Indonesia yang kita cintai inipun tidak luput dari konsekwensi kehidupan yang memilukan tersebut.

Momentum Isra’ Mi’raj harus dijadikan semua elemen bangsa untuk meneguhkan tekad; Kembalikan moralitas bangsa! Sudah saatnya sekarang digiatkan kembali gerakan moral bangsa kepada seluruh manusia dibumi ini, agar nilai-nilai penghargaan atas harkat-martabat manusia bisa diwarnai dengan nilai-nilai kebaikan. Kebangkitan gerakan moral, akan menata kembali bangunan peradaban bangsa ini yang sedang diambang kehancuran.

Dengan kekauatan moralitas yang tinggi, para punggawa bangsa ini akan membawa masyarakat kepada tatanan yang berdasarkan nilai- keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan. Bagaimanapun bangsa moralislah yang akan menjadi bangsa yang peradabannya di akui dunia. Dunia akan merujuk kembali kepada mereka yang membangun peradabannya berdasarkan nilai-nilai moralitas yang tinggi. Dan dunia akan menggapnya sebagai pusat peradaban diatas peradaban lainnya.

Kekuatan etis inilah yang dibawa para pemimpin dunia yang sukses membawa pencerahan. Nabi Muhammad adalah prototipe paling ideal dalam menggambarkan sosok ideal membangun etika politik, sehingga oleh sejarawan barat, Michael Hart, beliau dikatakan sebagai pemimpin nomor wahid sedunia. Spirit inilah yang harus dikembangkan para politisi kita sekarang ini yang hanya disibukkan dengan konflik kepentingan tanpa memberikan pelajaran politik yang berharga kepada rakyat.

Facebook Comments