Jamaah Takfir wal Hijrah: Asal-usul Kekerasan Beragama

Jamaah Takfir wal Hijrah: Asal-usul Kekerasan Beragama

- in Peradaban
8707
0

Ketika berdomisili di Kairo Mesir antara tahun 1988-1998 sebagai mahasiswa di Universitas Al Azhar, hampir saban hari saya saksikan aksi pemerintah setempat menahan kelompok garis keras. Saat itu belum terbersit di benak penulis gaya pemikiran apa yang melatarbelakangi sikap ekstrim kelompok ini sehingga pemerintah harus merasa ‘repot’ setiap harinya. Fokus saya saat itu adalah belajar dengan baik dan sungguh-sungguh di Al Azhar. Universitas ini adalah sekolah paling bergengsi di dunia Islam dari dulu hingga kini. Pembelajarannya pun tidak mudah, keteledoran sedikit saja bisa membuat tidak lulus ujian.

Selama tahun-tahun itu, gelombang ‘hijrah’ ke Afghanistan cukup ramai di kalangan anak anak muda Mesir. Gelombang itu makin keras sesaat Taliban berhasil berkuasa di negeri itu. Sementara di sisi lain, pemerintah negara-negara Arab –termasuk Mesir- makin mengawasi ‘alumnus Afghan’ yang kembalil ke negaranya. Pemerintah dunia Arab khawatir ideologi yang mereka bawa pulang akan menciptakan kekerasan baru di negeri mereka sebagaimana yang dilakukan Taliban. Fenomena inilah yang kemudian membuat saya mulai mempelajari keberadaan mereka lewat buku-buku tentang tentang ekstrimisme dan radikalisme.

Jika ditilik dari sejarah peradaban Islam, eksterimisme dan radikalisme agama telah muncul sejak awal pemerintahan khulafaurrasyidin, tak lama setelah Nabi wafat. Dalam khazanah Islam klasik ekstrimis itu dikenal dengan sebutan Al Ghulwu (berlebihan), yaitu kelompok pemikiran Islam yang memaknai teks Alquran dan hadits secara lebay. Kemunculan mereka bertepatan dengan terjadinya perdebatan sengit diantara umat terkait pembunuhan dan kekacauan politik yang terjadi pada sahabat-sahabat dekat dan keluarga Rasulullah, khususnya setelah peristiwa tewasnya Khalifah Usman bin ‘Affan. Kala itu umat Islam memperdebatkan figur siapa yang paling cocok menempati jabatan Khalifah.

Konsep teologis di masa itu mengerucut pada pertanyaan-pertanyaan tentang relasi keduniawian saat itu dengan keimanan seseorang. Apakah mereka yang terlibat pembunuhan masih bisa dianggap sebagai seorang Muslim atau telah menjadi kafir? Apa sebenarnya pengertian iman? Sejauhmana keterlibatan Tuhan dan manusia dalam konsep takdir? Apakah penguasa yang dianggap zalim tetap harus diikuti? Begitulah kira-kira diskursus yang berkembang kala itu.

Dari diskursus inilah kemudian muncul aliran keagamaan dengan pendapat dan pendukungnya masing-masing. Mu’tazilah, Khawarij, Murji’ah, Jabariyah, Qadariyah, Syiah adalah kelompok Islam yang lahir kala itu. Beberapa tahun setelahnya, kelompok-kelompok itu masing-masing berkembang biak membentuk cabang dan ranting yang saling berbeda bahkan bertabrakan secara konsep dengan induk pemikirannya.

Di antara kelompok paling fenomenal di masa itu adalah Khawarij. Kelompok ini dikenal karena mudah mengeluarkan klaim kafir kepada pihak yang tidak sejalan dengannya. Tak hanya itu, Khawarij bahkan bertindak ekstrim saat menjalankan keyakinannya. Mereka tak segan membunuh atau menyiksa siapapun yang mereka anggap kafir, termasuk sahabat Nabi yang tak luput menjadi korban kelompok ini.

Dalam konteks masa itu, Khawarij muncul sebagai bentuk kekecewaan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib yang dianggap mentolelir musuh yang telah kafir akibat bughat (makar) terhadap kepemimpinan yang sah, yaitu Gubernur Damaskus Mu’awiyah bin Abi Sufyan bersama bala tentaranya. Mereka pun kemudian keluar dari barisan Khalifah Ali kemudian menentang dan mengkafirkannya. Tak Cuma Khalifah Ali, semua pihak –termasuk para sahabat besar- yang terlibat pertikaian itu dianggap telah kafir dan keluar dari agama. Ekses langsung dari pengkafiran ini adalah kebolehan untuk menumpahkan darah orangn-orang yang dianggap telah keluar dari agama. Peristiwa ini terjadi saat perang Shiffin.

Eksistensi secara massif kelompok Khawarij ini mulai terpinggirkan setelah munculnya sejumlah pemikir besar moderat muslim yang meluruskan keyakinan Khawarij. Abu Al Hasan Al Asy’arie (w. 324 H) dan Abu Al Manshur Al Maturidi (w. 333 H) adalah dua ulama besar yang berhaluan moderat dan meluruskan keyakinan umat yang mulai terpengaruh Khawarij dan paham ekstrim lainnya. Madzhab pemikiran keduanya dikenal kemudian dengan nama Akidah Ahlussunah wal Jama’ah Al Asy’ariyah wal Maturidiyah. Madzhab ini diterima luas di kalangan umat Islam karena dianggap unggul dari sisi pemikiran dan menjadi awal langkah moderasi pemikiran Islam.

Persis setelah kelahiran dan penerimaan umat terhadap Ahlussunah wal Jama’ah Al Asy’ariyah wal Maturidiyah kelompok-kelompok yang dulu pernah meresahkan tumbang dan kehilangan pengikut, termasuk Khawarij. Namun, nampaknya model gerakan ekstrimis macam Khawarij kini muncul kembali dalam wujud baru berupa ekstrimisme dan radikalisme beragama, persis yang dicontohkan kelompok ISIS maupun salafi. Karena itu tak mengherankan jika kelompok yang kini beken dengan nama Jamaah Takfir wal Hijrah adalah kelanjutan ideologis dari Khawarij.

Facebook Comments