Jamaah Takfir wal Hijrah: Perkembangan dan Doktrin

Jamaah Takfir wal Hijrah: Perkembangan dan Doktrin

- in Peradaban
12789
1

Jamaah Takfir wal Hijrah yang kini marak dan muncul ke permukaan digandrungi kaum muda yang memiliki jiwa ‘jiwa-jihadis’. Kelompok ini awalnya lahir di Mesir sekitar tahun 1960-an bersama dengan penahanan secara massif tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin para pengikut Hasan Al Banna oleh pemerintah setempat. Mereka ditahan karena dianggap meresahkan dan tidak tunduk pada aturan negara.

Di dalam sel tahanan mereka membentuk organisasi ini yang juga dikenal dengan nama lain Jama’atul Muslimin. Sejurus waktu mereka segera membai’at Shoukri Moustafa sebagai pemimpin utamanya. Sambutan meriah disampaikan oleh sejumlah tokoh dan simpatisan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Mereka menganggap perjuangan mereka tetap berlanjut dan mendapat kekuatan tambahan dari organisasi baru ini, meski pemerintah berupaya memberangusnya.

Menjelang perang Mesir-Israel pada 1967, pemerintah Mesir membebaskan para tahanan politik, termasuk di antaranya para tokoh dan simpatisan Ikhwanul Muslimin, serta sempalannya yang bergabung dalam Jamaah Takfir wal Hijrah. Selepas kebijakan pemerintah saat itu, kelompok ini memfokuskan pada penyebaran pemikiran mereka di seantero Mesir dan dunia Arab lewat para dai. Cukup berhasil, tak berapa lama kemudian dakwah mereka membuahkan hasil. Sejumlah pengikut baru dan simpatisan menyatakan kesediaan bergabung.

Meski nampak semakin kuat di seantero Arab, kelompok ini juga merasa kewalahan berhadapan dengan pemerintahan negara-negara Arab yang menganggap mereka sebagai ancaman persatuan nasional dan berbahaya. Tekanan keras juga datang dari kelompok intelektual Islam (para ulama) yang menilai pemikiran mereka melenceng jauh dari intisari ajaran Islam. Dalam kondisi ketertekanan dan ketidakterimaan umat atas kehadiran mereka itulah, para elit dan pengikut kelompok ini menyatakan bergabung pada organisasi teror Al Qaeda. Di wadah baru inilah, pemikiran keras dan anarkis mereka untuk menggapai cita-cita –berupa negara Islam- mendapatkan tempat.

Salah satu wujud pemikiran kelompok ini yang dianggap keliru oleh orang umum dan bertentangan dengan mayoritas kelompok Islam adalah pemahaman makna Islam dan Iman. Menurut mereka keimanan seorang Muslim dianggap batal dan menjadi kafir saat tidak menjalankan Syariah Islam. Jika sudah kafir maka darah dan hartanya menjadi halal untuk diambil, begitulah keyakinan mereka.

Padahal selama berabad-abad lamanya mayoritas para ulama berpendapat keadaan iman seseorang bisa bertambah dan berkurang. Dengan kata lain, orang yang meyakini kebenaran Allah dan Islam bisa saja sesekali waktu terjerumus pada dosa dan kesalahan. Karenanya tindakan salah dan dosa yang dilakukan orang Muslim tak lantas membawanya pada kekafiran. Pemahaman demikian dapat disimpulkan dari hadits Nabi, sebagai berikut:

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلي الله عليه وسلم قال ” لايزني الزاني حين يزني وهو مؤمن ولايشرب الخمر حين يشربها وهو مؤمن ولايسرق السارق حين يسرق وهو مؤمن “

Seorang pezina tidak akan berzina sedang dia dalam keadaan beriman dan seorang peminum khamr tidak akan minum khamr sedang dia beriman dan seorang pencuri tidak ada mencuri sedang dia beriman.

Dalam perspektif ilmu teologi hadis ini dapat dipahami bahwa sifat iman itu adakalanya berkurang atau bertambah. Ketika seseorang melakukan dosa dan maksiat berarti imannya sedang menurun, demikian pula sebaliknya saat seorang tengah beribadah dan melakukan tindakan baik dan terpuji maka imannya sedang naik. Lantaran sifat iman yang sangat erat dengan hati dan kebatinan manusia tak mengherankan jika Nabi Muhammad mengajarkan doa agar Allah senantiasa menjaga dan mengukuhkan hati dalam kondisi iman.

Sementara terkait soal keislaman seseorang pendapat mainstream di kalangan umat menyebut dapat diekspresikan lewat ibadah lahiriah, yang tampak di permukaan dan mudah dideteksi orang lain, seperti salat, puasa, dan haji. Sedangkan persoalan keimanan sifatnya sangat tertutup dan tak mudah diketahui siapapun. Contoh sifat keimanan adalah tawakkal dan ketakwaan. Al Imam Al Hafizh dalam bukunya Jami Al Ushul wal Hikam mengatakan sebagai berikut:

قال الحافظ بن رجب في جامع العلوم والحكم: قال المحققون من العلماء: كل مؤمن مسلم، فإن من حقَّق الإيمان، ورسخ في قلبه، قام بأعمال الإسلام، كما قال صلى الله عليه وسلم: ((ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله، وإذا فسدت فسد الجسد كله، ألا وهي القلب))(4)فلا يتحقق القلب بالإيمان إلا وتنبعث الجوارح بالأعمال.
وليس كل مسلم مؤمناً، فإنه قد يكون الإيمان ضعيفاً فلا يتحقق القلب به تحقيقاً تاماً، مع عمل جوارحه أعمال الإسلام فيكون مسلماً، وليس بمؤمن الإيمان التام.اهـ

Alhafidz bin Rajab dalam bukunya Jamiul Ulum wa Hikam mengataka bahwa bahwa setiap yang beriman pasti muslim karena semua yang telah mewujudkan keimanannya dan mempermantap dalam hatinya maka akan menjalankan pengamalan-pengamalan Islam sebagaimana yang disabdakan Rasulullah, “Ketahuilah bahwa dalam diri seseorang terdapat segumpal daging jika daging itu baik maka baiklah seluruh diri manusia dan jika daging itu rusak maka rusaklah semua diri manusia itu dan ketahuilah bahwa iu adalah hati”. Hati tidak akan beriman kecuali seluruh raga mengerjakan amalan Islam. Maka tidak setiap muslim itu beriman karena terkadang iman itu sangat lemah dan menurun sehingga hati tidak bisa melakukan apa apa dan jiwa raga tidak bisa melakukan hal-hal yang terkait denga keislaman. Namun, ia tetap sebagai seorang Islam akan tetapi dia sedang tidak beriman secara sempurna (berdosa).

Selain pemikiran-pemikiran diatas masih terdapat pemikiran kelompok ini yang sangat berbeda dengan pemahaman umat islam dan ulama secara umum. Diantara pemikiran itu adalah himbauan meninggalkan pemerintahan yang tidak menjalankan syariat Islam karena dianggap sebagai orang kafir dan thagut. Pemikiran ini juga perlu diluruskan karena mayoritas ulama dan umat Islam meyakini bahwa seorang muslim berkewajiban taat dan loyal kepada pemerintahannya.

Apalagi dalam pandangan penulis, dalam konteks Indonesia kewajiban loyal pada negara adalah mutlak karena dalam banyak hal negara menjadi representasi kepemimpinan Islam yang dalam bahasan para ulama klasik ditandai oleh kebebasan menjalankan ritual keagamaan. Ajakan untuk membangkang dan mengabaikan aturan ataupun melawan eksistensi negara dipastikan melanggar syariat Islam itu sendiri. Wallahu A’lam.

Facebook Comments