Andrea Sarti pernah berujar kepada Galileo Galilei, “Betapa malang negeri yang tak mempunyai pahlawan,” dalam lakon Bertold Brecht,Leben des Galilei. Galileo pun ternyata tak setuju dan berkata, “Tidak, Andrea, negeri yang malang ialah negeri yang memerlukan pahlawan.”
Bercermin dari pemberian gelar Pahlawan setiap 10 November oleh Kementerian Sosial, menunjukkan negeri ini adalah negeri yang malang dalam ukuran Brecht. Bagaimana tidak, hampir setiap tahun negara memunculkan daftar pahlawan nasional. Mulai dari agamawan, budayawan dan negarawan.
Akan tetapi, sangat menarik jika kita memaknai apa yang telah dikatakan Galileo, bahawa, negeri yang malang adalah negeri yang memerlukan pahlawan. Pernyataan itu mendekonstruksi pemikiran kita dalam memaknai arti pahlawan dan kepahlawanan. Sebenarnya siapa pahlawan atau bagaiman kepahlawanan itu sendiri.
Dari situlah, penulis mencoba membongkar makna pahlawan dan kepahlawanan itu sendiri. Bukan berarti penulis tidak bersepakat dengan berbagai sosok yang telah diklutuskan oleh negara sebagai pahlawan nasional. Penulis juga meyakini beberapa orang yang dianggap berjasa oleh negara sebagai pahlawan bangsa.
Baca juga :Pahlawan Millennial: Berwawasan Kebangsaan, Peduli dan Menguasai Media Sosial
Sayangnya, pengklutusan beberapa orang yang memperoleh gelar pahlawan terkesan heroik. Hanya menilai dari heroisme di medan peperangan, tanpa melihat sisi di sekitarnya. Mungkin peran dokter, guru, wartawan, penulis, pelukis atau pedagang yang juga berperan memperjuangkan kemerdekaan dalam kesunyian.
Beberapa orang yang bisa menjadi pahlawan yang bekerja dalam kesunyian ini adalah Tirto Adhi Soerjo dan Rohana Kudus. Mereka memang terlahir di era pra kemerdekaan. Akan tetapi perannya dalam mengawal dan memperjuangkan kemerdekaan patut kita apresiasi.
Tirto adalah pelopor jurnalis di Indonesia yang tangguh. Lulusan ELS dan STOVIA kelahiran Blora mengawali karirnya sebagai redaktur Pemberita Betawi. Tidak berhenti di situ, Tirto juga membuat media baru, bernama Medan Prijaji. Hingga, peran sertanya dalam pergerakan pemuda, dengan membangkitakan semangat pemuda untuk memperjuangkan kemerdekaan melalui pergolakan Pers Indonesia.
Tirto mengawali jejak kesunyian itu dengan mengabarkan sebuah realitas penjajahan. Di mana penjajahan terus berorientasi kepada kepentingan, penindasan dan eksploitasi. Hal itu lah peran media menjadi penting sebagai media informasi serta media untuk memperjuangkan keadilan.
Tidak banyak orang yang paham dan menguasai jurnalistik. Tirto menjadi perintis jurnalisme Indonesia. Tentunya, sebagai jurnalis pelopor, Tirto berkawan dan berjejaring dengan banyak orang, dari tokoh pergerakan, hingga rakyat biasa.
Selain Tirto, ada sosok perempuan di balik kemerdekaan Indonesia, yakni Rohana Kudus. Sebagaimana yang penulis lansir dari torto.id karya Wan Ulfa Nur Zuhra, ia adalah perempuan pertama yang menjadi jurnalis di Hindia Belanda. Rohana Koedoes memulai segalanya dari kebiasaan membaca dan menulis. Ia membuat sekolah untuk lingkungan sekitarnya, mengajari kerajinan, memelopori industri rumahan. Pasang suruh kehidupan dialami Rohana, dari disingkirkan anak didiknya sendiri hingga dituduh berselingkuh.
Ia juga juga menerbitkan surat kabar pertama di Indonesia, yang bernama Sunting Melayu. Diberikan nama surat kabar perempuan karena Pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya semua perempuan. Surat kabar ini tidak hanya membahas tentang perempuan, tetapi juga membahas tentang politik dan kriminal yang terjadi di Minang. Hingga kemudian berkarir di Poetri Hindia, Oetoesan Melajoe hingga Soenting Melajoe.
Selain itu, Rohana juga mengenalkan masyarakat terhadap buku dan mengajarkan menulis. Perjuangannya untuk mendidik masyarakat tak selalu berjalan mulus. Beberapa kali ia mendapat cibiran, tuduhan, hingga fitnah, bahkan dari kaumnya sendiri. Ia dianggap melawan adat dan menyalahi kodrat perempuan.
Kisah keberanian Tirto dan Rohana ini patut menjadi refleksi kita bersama, di tengah negeri yang semakin carut marut, dengan banjir hoaks, ujaran kebencian dan SARA. Hal itu tidak selaras dengan yang telah diperjuangkan Tirto dan Rohana. Dan banjir bandang informasi timpang itu menghambat proses mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera.
Indonesia membutuhkan banyak orang waras untuk turut berperan aktif menjaga keamanan dan memperjuangkan cita-cita kemerdekaan. Banyak cara untuk itu, dengan hal kecil yang dapat menginspirasi dan mampu mengubah kondisi sosial. Tidak perlu heroisme. Akan tetapi, butuh niat, tekad dan ketulusan hati.
Sebagaiaman yang pernah terjadi pada kasus Sanusi, warga Lombok Timur yang melaporkan kasus percaloan pembuatan KTP, Desember 2017. Sanusi melaporkan hal itu ke speakerkampung.net. Akhirnya, informasi itu diketahui banyak warga, dan speakerkampung.net pun menggelar temu wicara dengan dinas terkait. Akhirnya, Sanusi memenangkan protes itu dan memperoleh keadilan.
Fenomena yang terjadi pada Sanusi tentunya menginspirasi kita semua. Di mana melalui media komunitas atau alternatif kita bisa menyuarakan kebenaran. Kita bisa belajar dari Tirto, Rohana atau Sanusi dalam memperjuangkan kemerdekaan ini dengan mengabarkan kebenaran di atas segalanya.
Menjadi pahlawan bukanlah tujuan utamanya. Melakukan yang terbaik dan bermanfaat bagi orang lain lah yang harus kita laksanakan. Selain itu pula, karena kita tengah hidup di era millenial, kita bisa menjadi baik dan bermanfaat dengan terus cerdas menggunakan media sosial.