Membaca sejarah KH. Hasyim Asy’ari, sosok pahlawan yang mempunyai wawasan kebangsaan di samping menguasai ilmu agama. Kepeduliannya terhadap kondisi masyarakat saat itu dibuktikan dengan melawan penjajah melalui pesantren dan seruan resolusi jihad. Beliau juga mempunyai strategis di masyarakat, mempunyai pesantren yang santrinya berasal dari berbagai daerah, pun juga mempunyai majelis untuk masyarakat.
Berbeda dengan Gus Dur, walaupun belum dinobatkan sebagai pahlawan nasional, beliau bagi banyak kalangan dianggap seperti pahlawan. Membela mereka yang dilemahkan, membela masyarakat yang hak asasinya dilukai serta memedulikan nasib bangsa dengan berkontribusi melalui masyarakat bawah hingga menjadi orang nomor satu di Indonesia. Cucu dari KH. Hasyim Asy’ari tersebut memiliki keunikan dalam memedulikan nasib bangsa Indonesia. beliau banyak mengeluarkan pendapat dan pemikirannya melalui tulisan, menulis di banyak media. Beliau pun banyak berkunjung ke semua lapisan masyarakat tanpa memandang, ras, suku, bahasa, warna kulit maupun agama. Paling lantang membela hak asasi manusia, serta tidak mendewakan jabatan demi menjaga kewarasan bersama.
Sedangkan masa sekarang, berbeda dengan masa KH. Hasyim Asy’ari dengan cucunya, Gus Dur. Pahlawan bukan mereka yang memperjuangkan berhadapan dengan penjajah dengan mengangkat senjata, bukan pula yang berhadapan dengan pemerintah yang memberantas hak-hak warganya. Indonesia butuh orang yang berwawasan kebangsaan, peduli dengan kondisi sosial yang ada, dan mendapatkan pengaruh di masyarakat.
Baca juga :Milenial Transnasional Kembali ke Lokal
Berwawasan kebangsaan dan peduli terhadap kondisi sosial yang ada menjadi syarat utama bagi mereka ingin berkontribusi terhadap masa depan bangsa Indonesia. Peduli terhadap kondisi sosial yang ada, namun berniat buruk untuk “meruntuhkan” negara menjadi paradoks. Begitu juga sebaliknya, apabila mempunyai wawasan kebangsaan, namun tidak mempunyai kepedulian terhadap kondisi sosial masyarakat, ia juga tidak akan berkontribusi apa pun untuk Indonesia.
Kondisi sosial yang berbeda pada saat pra kemerdekaan hingga pada masa reformasi, membuat berbeda pula dalam berkontribusi terhadap bangsa Indonesia. Pada saat ini, kita butuh orang yang peduli terhadap kondisi sosial masyarakat yang ada, serta mempunyai wawasan kebangsaan sebagai basis nilai perjuangannya, dan mempunyai pengaruh terhadap banyak orang. Menjadi orang berpengaruh ada banyak caranya, selain cara konvensional, saat ini bisa berpengaruh di media sosial.
Media sosial menjadi hal yang sangat penting saat ini, karena banyak kelompok intoleran yang menggunakan media sosial menjadi alat propaganda untuk menciptakan kegaduhan politik. Menawarkan formalisasi agama, hingga menawarkan konsep khilafah untuk Indonesia. Ketika ada kelompok atau orang yang menawarkan sistem yang baru untuk bangsa Indonesia, bagi penulis tidak masalah. Namun, ketika sistem yang ditawarkan tersebut bertentangan dengan asas yang telah lama dipegang oleh bangsa Indonesia, itu yang menjadi persoalan.
Setiap kelompok berhak mempunyai kegelisahan, hingga pada akhirnya menawarkan sesuatu pada Indonesia. Menawarkan sistem untuk memperbaiki bangsa Indonesia, seharusnya bukan untuk kepentingan satu golongan, melainkan untuk kepentingan semua golongan yang ada di Indonesia. Selama ini, golongan yang ingin makar selain melancarkan propagandanya melalui pertemuan-pertemuan juga melalui media sosial. Mereka menggunakan simbol-simbol agama untuk menarik simpati banyak orang, hingga akhirnya setelah banyak orang yang bersimpati kemudian melancarkan kepentingan politiknya.
Begitu juga dengan kelompok intoleran, seperti halnya ISIS, merekrut anggota melalui internet. Bagi orang yang memiliki wawasan kebangsaan yang baik hingga memiliki kepedulian terhadap kondisi sosial masyarakat yang ada, harus juga menguasai media sosial untuk mengkampanyekan ide-ide yang kreatif untuk membangun bangsa Indonesia ini.
Setiap masa memiliki caranya masing-masing. Bagi pahlawan masa reformasi, menulis di media menjadi alternatif. Bagi era sekarang, menulis di media belum cukup, namun harus menguasai media sosial untuk menyebarkan gagasan perdamaian, dan kemajuan sosial.