Seorang pujangga kenamaan Jawa, Ronggawarsita, mengabarkan bahwa bangsa Jawa adalah keturunan Nabi Ismail dari jalur Prabu Sarkil yang beranakkan Aji Saka. Kabar itu terdapat dalam Serat Paramayoga, sebuah serat yang menyajikan silsilah para raja Jawa.
Sebelum filologi menjadi bagian yang penting dalam bidang kajian sejarah agama-agama, dimana salah satunya cukup dipopulerkan oleh Prof. Menachem Ali, kabar-kabar seperti halnya kabar dari seorang Ronggawarsita itu selama ini hanya dianggap sekedar lelucon belaka yang sama sekali tak mengandung fakta sejarah. Atau kalau tidak, sekedar dianggap sebagai bagian dari upaya “cari muka” para raja Jawa sebagai bukti dari keabsahan kekuasaan mereka.
Namun, dari ranah spiritualitas, kabar-kabar semacam itu sangat tampak bukan sekedar kabar belaka. Hampir mayoritas spiritualitas yang berbasiskan budaya Jawa, bahkan pun yang masih dapat ditemui hinga kini, banyak mewariskan konsepsi Tuhan yang nyaris senafas dengan konsepsi sang bapak monoteisme, Nabi Ibrahim atau Abraham.
Maka, benarlah anggapan yang pernah menyatakan bahwa jauh sebelum kedatangan agama Islam, setidaknya dua perkara mendasar telah selesai di Jawa: problem tauhid dan akhlaq atau budi pekerti. Artinya, agama Islam yang dirisalahkan oleh Nabi Muhammad sebenarnya sangat tak asing bagi bangsa Jawa.
Secara genealogis, seandainya Muhammad dianggap sebagai keturunan Nabi Ibrahim dari jalur Ismail, maka bangsa Jawa pada dasarnya adalah masih seketurunan dengan sang nabi itu, sama-sama anak keturunan Ismail dari jalur Prabu Sarkil dan Aji Saka. Atau dengan kata lain, di samping memiliki kedekatan struktur spiritualitas, Muhammad dan bangsa Jawa juga memiliki kedekatan genealogis,
Pada ranah spiritualitas, bangsa Jawa pernah melahirkan segugus keyakinan yang disebut sebagai “kapitayan” yang konon sesifat dengan keyakinan Abraham tentang Tuhan yang tunggal atau “tan kena kinaya apa” (tak ada figurnya pada tingkat apapun).
Pada titik itulah kemudian kapitayan bangsa Jawa bertemu dengan risalah Muhammad tentang Tuhan yang “laisa kamitslihi syai’un” atau “layuukhayafu” dimana untuk bersitatap denganNya dapat dilakukan dengan cara yang tak langsung.
Tentu, orang cukup paham bahwa antara keyakinan Islam (plus kejawen di sisi lainnya) dan Yahudi adalah banyak memiliki kemiripan konsepsi, apalagi ketika ditautkan dengan konsepsi tentang keesaan Tuhan. Sebab, selain Muhammad dan bangsa Jawa, bangsa Yahudi juga merupakan anak keturunan Abraham dari jalur Ishak sebagaimana Yesus.
Fakta filologis dan historis itulah yang dalam kajian agama-agama pernah melahirkan konsep “kalimatus sawa’” yang konon dimiliki oleh ketiga agama yang berakarkan pada Abraham: Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Maka ketika di hari ini orang diramaikan oleh perlunya “solusi dua negara” terhadap konflik klasik antara bangsa Palestina dan Israel, dimana ketika kemerdekaan Palestina adalah juga berarti kemerdekaan Israel ataupun sebaliknya, fakta filologis atau kalimatus sawa’ itulah yang juga menjadi salah satu dasarnya, di samping amanat UUD 1945: “kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa.”