Kenangan Perpecahan Akibat Ujaran Kebencian

Kenangan Perpecahan Akibat Ujaran Kebencian

- in Narasi
1137
1
Kenangan Perpecahan Akibat Ujaran Kebencian

Alasan paling krusial yang menyebabkan perdamaian kerap kali tergulingkan ialah tertanamnya hasrat kebencian dalam hati setiap insan. Sporadisme kebencian yang tanpa disadari mulai tumbuh pada dekade ini, sesungguhnya merupakan ironi yang mesti harus diselesaikan. Sebab tragedi hantam kebencian melalui ujaran kebencian yang terjadi saat ini merupakan penyakit menular yang bisa menyerang siapa saja, termasuk pihak lain yang awalnya tak terlibat. Karena tentu saja, ujaran kebencian yang dimiliki oleh salah satu pihak pada tahap ke tahap akan selalu dikampanyekan, demi mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan.

Beranjak dari kenyataan itulah, yang menyebabkan benih-benih kebencian mulai membengkak hingga menimbulkan kegelisahan dan perpecahan. Apalagi dengan melihat perkembangan zaman yang telah melaju sampai demikian, maka ujaran kebencian tentu saja sangat mungkin segera melingkar lewat panasnya zona sosial media yang tak terelakan. Meski beragam peraturan telah tercantum lewat KUHP, UU ITE, dan Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 tentang penanganan ujaran kebencian, namun kenyataan demikian sedikit banyak belum bisa memberikan pengertian kepada banyak kalangan. Sehingga kenyataan itu justru masih saja terjadi dalam bingkai kepentingan-kepentingan. Apalagi dengan menengok adanya pilpres 2019 yang akan digelar pada beberapa bulan mendatang, pada akhirnya juga menyebabkan ujaran kebencian semakin tunggang langgang disuarakan.

Dalam konteks ini, Dr. Sigmund Freud menyatakan bahwa kebencian adalah ego ke-akuan yang tanpa sadar akan menghancurkan ego kebahagiaan. Selaras dengan definisi demikian, International Convention on the Elimination of all Forms of Racial Discrimination (CERD) pasal 4 menyatakan bahwa ujaran kebencian digambarkan sebagai propaganda berdasarkan gagasan atau teori suprioritas dengan cara membenarkan atau mempromosikan kebencian rasial dan diskriminasi dalam bentuk apapun kepada ras atau kelompok tertentu.

Kenangan Perpecahan

Tentu dengan menengok definisi yang diungkapkan Dr. Sigmund tersebut, secara pribadi bisa kita rasakan tentang sebuah kepahitan dalam kebencian. Karena narasi kebencian demikian secara sadar sesungguhnya memberikan pelajaran yang mesti dipetik bersama. Sebab dalam banyak kasus, jika seseorang bisa menikmati sebuah kebencian—tentu dengan menurunkan ego ke-akuan—maka ada banyak hal manis yang bisa dirasakan (logika awam). Sejalan dengan itu, kenangan perpecahan yang menimpa negara-negara adidaya pada masa lalu juga merupakan kenyataan pahit yang tak bisa dilupakan.

Baca juga :Jangan Diam !!!, Lawan Ujaran Kebencian Di Media Sosial

Tengoklah Rwanda yang hampir satu juta orang tewas akibat perbedaan etnis di tahun 1994. Melebihi itu, bisa kita lihat pula Suriah yang telah menewaskan ratusan ribu manusia dan tak sedikit pula masyarakat yang kehilangan tempat tinggal beserta keluarganya. Bahkan ditahun 2015 lalu, bisa kita amati negara Yaman yang hancur akibat terprovokasi isu-isu SARA hingga mengakibatkan negara yang pernah berperan dalam peradaban dunia itu luluh lantah akibat kebencian yang diluapkan.

Beranjak dari kenyataan tersebut, menurunkan ego dan selalu tepo sliro antar sesama sesungguhnya lebih dibutuhkan ketimbang mengeraskan kepala hingga menghancurkan segalanya. Dan karena dampak besar dari kebencian itulah, Islam sangat melarang adanya kebencian, termasuk melakukan ujaran kebencian. Nabi Muhammad Saw bersabda: “Tidaklah halal bagi seorang muslim untuk meninggalkan saudaranya lebih dari tiga malam. Keduanya juga saling bertemu tetapi mereka tidak saling mengacuhkan satu sama lain. Yang paling baik diantara keduanya yang terlebih dahulu mengucapkan salam (HR. Muslim).”

Terlepas dari kenangan perpecahan yang sangat disayangkan demikian, sebagaimana telah dikatakan di awal, bahwa ujaran kebencian juga selalu dipromosikan agar memantik hati setiap insan. Maka sudah menjadi jelas, diperlukan pula narasi kebaikan guna menyeimbangkan ujaran kebencian. Pun perlu digarisbawahi bahwa untuk membentuk benteng kuat agar setiap elemen tidak terjerumus kedalam zona perpecahan seperti yang tergambar dimuka. Maka, narasi kebaikan harus selalu disenandungkan agar hal demikian tak mudah dikalahkan oleh kebencian. Setidaknya apabila terdapat dua narasi yang bertolak belakang, maka masyarakat juga akan berpikir panjang tentang kesalaan dan kebenaran.

Filosofi satu mulut, dua mata, dan dua telinga tentu akan menghiasi pemikiran setiap insan, tatkala ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Dengan lebih banyak melihat dan mendengar dibanding memutuskan, sedikit banyak juga akan memberikan kontribusi kepada masyarakat. Sebab tanpa disadari, lewat kedua narasi demikian akan mencerdaskan dan membuka pemikiran banyak kalangan. Selain itu, apabila memahami tentang ujaran kebencian yang terjadi pada konteks pilpres kali ini, maka masyarakat harus berpikir jernih, karena ujaran kebencian itu tidak lain merupakan bagian propaganda politik untuk menjatuhkan lawannya. Sebab itu, masyarakat harus pintar-pintar menelaah berita, dengan melakukan perbandingan atau tabayyun yang memadai. Lewat itu, ujaran kebencian bisa diantisipasi dengan baik dan memadai. Wallahu a’lam bi al-shawaab.

Facebook Comments