Salah satu subjek yang paling banyak kena imbas dari massifnya ujaran kebencian di media sosial adalah anak-anak. Tak bisa dipungkiri lagi, ujaran kebencian, baik itu berbentuk penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, maupun penyebaran berita bohong (hoax), semakin hari semakin massif. Berbagai regulasi, advokasi, seminar, dan strategi sudah diusahakan untuk menangkalnya. Sejauh ini, usaha itu belum maksimal, dan masih jauh dari yang harapkan. Dari sekian usaha itu, ada satu “Institusi” yang selama ini agak dilupakan, tapi sejatinya ia punya peran starategis. Institusi itu adalah institusi keluarga.
Keluarga sebagai institusi pertama yang dilalui oleh anak, mempunyai peran penting dalam mewujudkan anak yang cinta damai. Sejak dini, orang tua bisa mengajari, mengawasi, dan memberikan materi-materi yang bisa membuat sang anak tumbuh penuh dengan semangat cinta kasih. Beberapa kasus menunjukkan, bahwa banyaknya ujaran kebencian di media social tak jauh dari absennya orang tua, dan minimnya proteksi mereka terhadap sang anak.
Menurut Sahabat Keluarga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada beberapa tips dan materi yang bisa digunakan oleh orang tua untuk membekali sang anak agar jauh dari ujaran kebencian dan radikalisme. Di antaranya adalah memberikan pemahaman agama yang baik dan benar. Dalam hal ini, orang tua bisa menekankan materi agama yang tidak hanya berkutat dalam aspek dogmtis-doktriner, melainkan juga menambahkan bobot materi sisi kemanusian dan kebudayaabnya. Perlu diajarkan, bahwa sejak dini, agama –apa pun dia –tidak pernah melegalkan ujaran kebencian. Agama selalu mengajarkan kasih sayang, bukan kebencian.
Selain itu, materi tentang pemahaman bahaya ujaran kebencian dalam konteks bermasyarakat perlu ditekankan. Selama ini, orientasi didikan orang tua selau terkait dengan aspek kognitif anak, sementara aspek sosial sebagai sesama manusia kurang mendapat porsi. Tak mengherankan, banyak anak tumbuh dengan nilai bagus pelajaran eksakta di sekolah umpanya, tetapi nilai social dia sebagai masyarakat agak minim.
Minimnya materi kemasyarakatan di lembaga keluarga, mengakibatkan penerimaan anak terhadap sesuatu yang berbeda dengan dirinya –baik itu agama, suku, kecenderungan –selalu ditolak. Survei yang dilakukan oleh Wahid Foundation dan Lingkar Survei Indonesia (LSI) menunjukkan betapa ujaran kebencian di masyarakat sudah sedemikian mangkhawatirkan. Dari 1500 responden dari 34 provinsi di Indonesia kebencian terhadap lian itu hampir sudah merasukki generasi milenial. Ini ditunjukan tingkat kebencia terhadap Komunis (21,9 persen), LGBT (17,8 persen), Yahudi (7,1 persen), Kristen (3,0 persen), Ateis (2,5 persen), Syiah (1,2 persen), Cina (0,7 persen), Wahabi (0,6 persen), Katolik (0,5 persen), dan Budha (0,5 persen).
Baca juga :Kenangan Perpecahan Akibat Ujaran Kebencian
Materi tentang perlunya menanamkan kesetiakawanan dalam berpolitik di sisi lain juga bisa dijadikan sebagai sarana untuk menangkal ujaran kebencian. Pendidikan ini perlu diberikan di keluarga, mengingat orang tua bisa menjadi tauladan dalam menanggapi hiruk-pikuk politik yang terjadi nanti selama setahun ini. Pendidikan politik yang dimaksud adalah memberikan transpransi, komunikasi, dan dialog dalam membangun institusi keluaraga. Dalam hal ini, pendapat, saran, dan usulan anak dalam keluarga ketika ada masalah mesti tidak dipandang sebelah mata. Dengan mengikutsertakan anak, ia akan merasa bahwa dia dihargai. Dengan ini, ia kan mejaga keutuhan keluarga. Keluarga adalah modal utama membangun keluarga harmonis dan damai. Kelaurga harmonis dan damai, akan membuahkan masyarakat dan negara yang damai dan harmonis. Dengan demikian, keharmonisan keluarga, membawa dampak langsung –disadari atau tidak –terhadap minimnya kebencian.
Tahun 2019 adalah tahun yang paling tepat untuk melaksanakan ini dan memaksimalkan peran institusi keluarga dalam menangkal ujaran kebencian. Institusi keluarga mempunyai peran starategis dalam menangkal kebenciian, sebagai dipaparkan di atas.