Kesalehan Beragama dan Kesalehan Bernegara Itu Satu Paket!

Kesalehan Beragama dan Kesalehan Bernegara Itu Satu Paket!

- in Narasi
1381
0
Kesalehan Beragama dan Kesalehan Bernegara Itu Satu Paket!

Masih ada anggapan bahwa kesalehan beragama terpisah dari kesalehan bernegara. Kedua kesalehan dianggap bertolak belakang, dan tidak sedikit yang membenturkannya. Tak jarang ada semacam keyakinan, bahwa negara itu sesuatu yang profan, sementara agama adalah sesuatu yang sakral.

Yang profan posisinya di bawah yang sakral. Yang sakral wajib dipatuhi, yang profan bukan suatu kewajiban utama. Agama sebagai sesuatu yang sakral, tak boleh dihina, maka upaya untuk bela dan menaatinya harus diupayakan sedemikian rupa. Sementara kepatuhan terhadap perangkat negara, bukan suatu kewajiban mutlak. Membelanya bukan suatu kemestian.

Logika ini tentu salah. Kesalehan beragama dan kesalehan bernegara itu satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Sebab, seperti yang diutarakan para konseptor –seperti Al-Ghazali umpamanya –agama dan negara adalah saudara kembar; agama dan negara adalah saudara sesuan. Keduanya wajib dijaga dan dirawat. Kepatuhan terhadap perintah agama sama dengan kepatuhan terhadap hukum negara.

Jika ada tokoh agama yang mempunyai jutaan jumlah followers di media sosial yang secara terang-terangan menyatakan, bahwa nasionalisme tidak ada dalilnya, tentu ini sangat berbahaya. Pernyataan ini, selain menyalahi sejarah, juga menyalahi ajaran agama itu sendiri.

Patuh Terhadap Kesepakatan

Sebagai makhluk yang beragama maka dia wajib mematuhi ajaran agama, pun demikian sebagai warga negara, maka dia wajib mematuhi hukum, kebijakan, dan perundang-undangan yang dibuat oleh negara.

Dalam, konteks berbangsa dan bernegara, setiap anak bangsa harus menjadikan hukum sebagai payung bersama. Bahwa konstitusi adalah kitab suci kita bersama. Apa pun latar belakang agamanya, dari suku mana pun dia datang, kalau masih terikat dengan kewargaan, maka dia wajib patuh terhadap kesepakatan yang dibuat.

Kepatuhan terhadap kesepakatan-kesepakatan yang termaktub dalam hukum negara adalah suatu kemestian. Tanpa sikap ini, maka tidak ada gunanya sebuah institusi Negara, jika masih ada pihak-pihak yang secara sengaja atau tidak, melawan bahkan ingin membuat hukum mereka sendiri.

Implementasi dari sikap kepatuhan terhadap hukum adalah sikap menjaga persatuan. Persaudaraan yang selama sempat agak renggang harus dipulihkan kembali. Rasa kekeluargaan sebagai sesama anak bangsa, perlu ditumbuhkan lagi.

Hal yang sangat urgen adalah mensterilkan media sosial dari segala bentuk hoax, ujaran kebencian, opini sesat, dan provokasi yang bisa menggoyahkan rasa persatuan dan persaudaraan di antara kita.

Sudah saatnya kita meninggalkan segala bentuk primordialisme kita dalam konteks berbangsa dan bernegara. Suka, ras, agama, pilihan politik harus ditempatkan dalam tempatnya yang semestinya. Konstitusi harus menjadi sandaran kita bersama.

Selama ini, media sosial justru menjadi instrument yang sangat banyak menyumbangkan saham terhadap hiruk-pikuk, konflik, dan polarisasi di masyarakat. Kerja-kerja kedamaian, persatuan dan persaudaraan perlu digalakkan, agar dunia maya bukan lagi ajang saling memprovokasi dan memfitnah, tapi media untuk saling berbagai kasih dan mengawal perdamaian.

Sekali lagi, momentum hari ini dengan putusan Pengadilan nantinya, harus dijadikan sebagai titik awal untuk merajut kembali rasa kesatuan dan persatuan bangsa ini yang selama ini sedikit menganga. Semua pihak harus aktif dan sama-sama bersikap terbuka. Dengan cara ini, kita menjunjung Hukum, mengawal persatuan. Dengan menaati hukum agama dan hukum negara secara bersamaan, akan muncul kesalehan, yang bukan hanya terhadap agama, melainkan juga terhadap negara.

Kelemahan kita sejauh ini adalah, kita lebih menghormati orang yang dianggap saleh secara agama, sementara kesalehan bernegara, kita posisikan diurutan terakhir. Sikap ini tentu salah. Keduanya –kesalehan beragama dan bernegara –sekali lagi adalah satu paket. Jangan dipisahkan sama sekali.

Facebook Comments