Pancasila Vs Hukum Agama

Pancasila Vs Hukum Agama

- in Narasi
1570
0
Pancasila Vs Hukum Agama

Sebagai penganut agama sekaligus Warga Negara Indonesia (WNI) kadang gamang dan dilematis. Hal itu terkait pemahaman fundamental, sebenarnya yang kita tempatkan sebagai sumber hukum tertinggi itu Pancasila ataukah hukum agama. Dilema ini akan selesai jika kita sadar posisi dalam setiap tindakan. Posisi sebagai muslim ataukah WNI atau keduanya.

Kedua posisi tersebut sebenarnya tidak perlu ditempatkan dikotomis ekstrim. Pancasila dan hukum agama juga tidak perlu dibenturkan. Pancasila merupakan pedoman dalam kehidupan bernegara, sedang hukum agama merupakan penuntun dalam kehidupan beragama. Agama memang juga mengatur negara, namun Indonesia bukan negara agama. Pancasila juga tidak ada yang bertentangan dengan hukum agama. Justru aktualisasi keduanya akan memberikan kekuatan penuh dan kehidupan kita.

Kedudukan Pancasila

Kesepakatan mayoritas ulama di Indonesia terkait kedudukan Pancasila ada tiga hal (Fathur, 2015). Pertama, Pancasila bukan agama dan tidak bisa menggantikan agama. Kedua, Pancasila bisa menjadi wahana implementasi Syariat Islam. Ketiga, Pancasila dirumuskan oleh tokoh bangsa yang mayoritas beragama Islam.

Diskursus dan dinamika keagamaan di Nusantara selalu ramai jika memperdebatkan korelasi antara ajaran agama dengan Pancasila. Banyak kutub yang menempatkan kelompok atau pandangannya terkait benturan ketiga aspek tersebut. Pihak pertama menerima Pancasila serta menganggap tidak terkait agama. Pihak kedua menolak keras Pancasila karena bertentangan dengan agama. Pihak ketiga, menerima keduanya karena masih sejalan dengan ajaran agama.

Mayoritas pendapat ulama di Nusantara dan diikuti sebagian besar kaum muslim adalah pendapat ketiga. Pendapat pihak pertama umumnya muncul dari kaum sekuleris. Sedangkan pendapat pihak kedua berpotensi bahaya menjadi bibit terorisme dan radikalisme.

Eksistensi Pancasila adalah final bagi NKRI. Fungsi pokok Pancasila sebagai dasar negara didasarkan pada Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang Republik Indonesia (Ketetapan MPR No.V/MPR/1973, dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978) yang menjelaskan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum Indonesia.

Sistem hukum nasional wajib berlandaskan Pancasila. Akan tetapi, Pancasila kadang tergerus dalam sistem hukum nasional. Hal demikian dilatarbelakangi oleh tiga alasan yaitu: pertama, adanya sikap resistensi terhadap Orde Baru yang memanfaatkan Pancasila demi kelanggengan kekuasaan yang bersifat otoriter.

Kedua, menguatnya pluralisme hukum yang mengakibatkan terjadinya kontradiksi-kontradiksi atau disharmonisasi hukum. Ketiga, status Pancasila tersebut hanya dijadikan simbol dalam hukum.

Untuk itu, perlu dilakukan upaya-upaya untuk menerapkan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum dalam sistem hukum nasional yaitu: pertama, menjadikan Pancasila sebagai suatu aliran hukum agar tidak terjadi lagi disharmonisasi hukum akibat diterapkannya pluralisme hukum.

Kedua, mendudukkan Pancasila sebagai puncak peraturan Perundang-undangan agar Pancasila memiliki daya mengikat terhadap segala jenis peraturan Perundang-undangan sehingga tidak melanggar asaslex superiori derogat legi inferiori(Boa, 2018).

Titik Temu dan Sinergi

Pancasila menempatkan nilai spiritual menjadi paling sentral. Konsekuensi logisnya adalah keharusan untuk menciptakan iklim politik pemerintahan yang berketuhanan, menghadirkan pemimpin yang spiritualis, serta hukum/aturan yang menghormati norma keagamaan.

Imam Al-Gazali menyatakan: “Dunia adalah ladang akhirat. Agama tidak akan sempurna kecuali dengan adanya dunia. Kekuasaan dan agama tidak mungkin dipisahkan. Agama adalah tiang, penguasa adalah penjaga. Bangunan tanpa tiang akan roboh dan apa yang tidak dijaga akan hilang. Keteraturan dan keseimbangan akan terwujud kecuali dengan penguasa.”

Karim (2011) menyatakan bahwa Pancasila adalah Maqasid Syariah tafsiran Indonesia. Hal ini dilandaskan pada kitab Al-Muwafaqat karya Imam Al-Syathibi. Kitab ini menjelaskan konsepal-maqasid al-syariahagar para ulama dalam mengambil penafsiran fikih selalu berpegang pada maksud hakiki syariah, berpegang pada roh syariah, bukan sekadar pada formalitasnya.

Maqasid Syariah mengandung lima hal, yaitu melindungi agama yang dalam Pancasila disebut ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Kedua, melindungi jiwa yang dalam Pancasila disebut ‘Perikemanusiaan yang adil dan beradab’. Ketiga, melindungi keutuhan keluarga besar yang dalam Pancasila disebut ‘Persatuan Indonesia’.

Keempat, melindungi akal pendapat yang dalam Pancasila disebut ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’. Kelima, melindungi hak atas harta yang dalam Pancasila disebut ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. Kemiripan ini diyakini sebagai faktor yang menyebabkan gagasan Pancasila sebagai dasar negara mendapat dukungan penuh dari bangsa ini yang mayoritas muslim.

Pancasila selayaknya tidak dibenturkan dengan agama. Nyatanya bahkan sejalan dengan nafas ajaran Islam. Penolakan terhadap Pancasila patut diwaspadai agar tidak atraktif dan membuahkan gerakan.

Pancasila dan agama justru penting dijadikan senjata membangun bangsa yang berkedamaian dan sejahtera. Peran ulama, rohaniawan, dan seluruh umat beragama penting guna bersinergi mengoptimalkannya.

Facebook Comments