Kalamun nandhing sarira
Tinemu beda malah nyulayani
Benere dhewe ginungggung
Tinampik liyaning lyan
Beda kalian tepa sarira puniku
Ika kang den upayaa
Tinemu samining sami
—Heru Harjo Hutomo.
Kesusastraan seringkali dianggap sebagai sebentuk pembangunan karakter. Bahkan, tentang urgensi kesusastraan, dalam Serat Sastra Gendhing warisan Sultan Agung, bersama dengan musik, kesusastraan dapat menjadi sarana untuk mengenal Tuhan.
Orang mengenal nama-nama besar dalam sejarah yang rata-rata akrab dengan kesusastraan sejak kecil. Dalam rumus ilmu-ilmu humaniora, mempelajari manusia ternyata sangat berbeda dengan mempelajari alam. Alam, berkaca dari azas-azas ilmu alam, mestilah dapat dikalkulasikan. Sementara manusia ternyata tak dapat disikapi sebagaimana alam, sebab ia sendiri adalah obyek sekaligus subyek dalam proses pengetahuan itu sendiri.
Sering kesusastraan dianggap sebagai sarana untuk memanusiakan manusia. Dari anggapan ini tersirat bahwa manusia selalu memiliki berahi untuk menjadi yang bukan dirinya. Ketika manusia membiarkan berahi itu, maka keraplah bencana, baik alam maupun kemanusiaan, dianggap sebagai fenomena dimana manusia lupa atas kemanusiaannya.
Manfaat kesusastraan semacam itu akan tampak gamblang ketika ditautkan dengan agama. Terdapat sebuah penelitian dimana, konon, pelajar atau mahasiwa yang dapat terjangkit radikalisme keagamaan rata-rata berasal dari latar-belakang ilmu-ilmu eksakta. Paradigma ilmu-ilmu eksakta yang menuntut kepastian dan bersifat kalkulatif konon dapat memengaruhi paradigma seseorang dalam beragama dan mempelajari agama.
Sementara orang-orang yang memiliki latar-belakang ilmu-ilmu humaniora akan tampak lebih manusiawi dalam beragama dan mempelajari agama. Sebagaimana manusia sendiri yang tak dapat diukur atau dipastikan, agama pun akan berjalan secara luwes ketika tak dilakoni secara kalkulatif dan definitif, tak hitam-putih, tak semata kafir atau beriman, neraka atau surga.
Beragama dan mempelajari agama dengan jalan kesusastraan seperti itu sebenarnya sudah dilakoni oleh para sufi sejak lama. Maka tak mengherankan ketika agama, atau Islam dalam hal ini, tampak lebih manusiawi daripada Islam yang dibawakan oleh orang-orang yang kurang nyastra atau kurang nyeni.
Taruhlah salah satu cerpen dari A. Musthofa Bisri, Gus Jakfar, dimana ternyata tampilan yang taat pada agama belum tentu mencerminkan keselamatan akhir. Mbah Jaga (representasi hakikat), yang secara simbolis keningnya bertuliskan neraka dimata Gus Jakfar (representasi syari’at), ternyata tak peduli bahwa ia akan berujung di neraka atau surga. Sebab, baginya, sebagaimana pula al-Hikam, neraka dan surga bukanlah kuasa manusia.
Pandangan yang manusiawi dalam beragama semacam itu tentu saja adalah buah dari pemahaman kesusastraan, yang otomatis pula pemahaman kemanusiaan yang terbilang intim. Dan kesusastraan, pada dasarnya, adalah semacam kacabenggala dimana orang tengah melihat dirinya sendiri.
Bukankah agama ketika dibawakan secara kurang nyastra atau kurang nyeni kerap mengantarkan manusia untuk menjadi yang bukan dirinya, menjadi Tuhan dengan kuasa mengkafirkan dan me-neraka-kan yang dianggap lain?
Dengan kesusastraan, yang memang memiliki fungsi untuk memanusiakan manusia, maka toleransi, atau secara tepat disebut sebagai tenggang-rasa, ruang untuk menjadi radikal atau menjadi yang bukan manusia akan dapat dipersempit. Ketika pun kehidupan beragama dengan jalan kesusastraan itu menghasilkan manusia-manusia religius, maka manusia-manusia religius yang manusiawilah yang akan tampak dan bukannya manusia-manusia religius yang seolah nabi atau Tuhan.