Penembakan di Kantor MUI dan Potensi Kekerasan di Balik Fenomena Penyimpangan Ajaran Agama

Penembakan di Kantor MUI dan Potensi Kekerasan di Balik Fenomena Penyimpangan Ajaran Agama

- in Faktual
781
0
Penembakan di Kantor MUI dan Potensi Kekerasan di Balik Fenomena Penyimpangan Ajaran Agama

Selasa Siang sekira pukul 11.30 terjadi peristiwa penembakan di kantor pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pelaku bernama Mustofa NR yang merupakan warga Lampung. Dua staf terluka akibat tembakan air soft gun tersebut. Pelaku akhirnya diringkus aparat di lokasi kejadian. Pasca ditangkap, pelaku pingsan dan dibawa ke Puskesmas. Namun, dokter menyatakan pelaku meninggal dunia.

Belum jelas motif pelaku melakukan penembakan di Kantor MUI. Namun, pelaku dua kali mengirim surat ancaman kepada MUI. Di dalam surat itu, pelaku memaksa pimpinan MUI mengakui dia sebagai tuhan dan nabi. Jika tidak, ia akan membunuh pimpinan MUI.

Barangkali terlalu dini menyimpulkan kejadian ini sebagai teror kelompok radikal. Tersebab, tidak ditemukan indikasi yang mengarah para gerakan radikal-ekstrem. Pelaku tampaknya juga bukan anggota organisasi radikal. Jika menilik isi surat pelaku, tampaknya kasus ini murni dilatari penyimpangan ajaran agama.

Fenomena nabi atau tuhan palsu sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Sejumlah nama pernah populer karena mendaku sebagai nabi. Salah satu yang sangat populer dan banyak pengikut adalah Ahmad Mosadeq. Tidak cukup mendaku sebagai nabi, bahkan ada pula yang mengaku sebagai tuhan. Salah satunya Lia Eden, pendiri Jamaah Salamullah. Awalnya ia mengaku mendapat wahyu dari malaikat Jibril. Belakangan ia mengaku sebagai malaikat Jibril itu sendiri. Puncaknya, ia mengaku dirinya sebagai tuhan.

Namun, keduanya tidak pernah terlibat tindak kekerasan. Ahmad Mosadeq dan Lia Eden memang pernah dipenjara, namun untuk kasus penodaan agama. Penyimpangan ajaran agama, khususnya fenomena nabi atau tuhan palsu ini memang bisa menimbulkan setidaknya dua persoalan.

Nabi Palsu Merusak Kesucian Ajaran Agama

Di satu sisi, fenomena nabi atau tuhan palsu jelas merusak kesucian ajaran agama itu sendiri. Di dalam Islam, jelas dinyatakan bahwa Allah satu-satunya Tuhan dan Nabi Muhammad ialah pungkasan Nabi. Jadi, siapa pun yang mengaku sebagai nabi dan mendapat wahyu sudah pasti hanyalah penipu belaka.

Menariknya, nabi palsu ini bukan fenomena baru dalam Islam. Fenomena nabi palsu sudah ada sejak zaman Rasulullah Muhammad. Merujuk pada pendapat Al Makin dalam bukunya Nabi-Nabi Nusantara, dijelaskan bahwa fenomena nabi palsu dilatari oleh setidaknya empat faktor. Pertama, kesalahan atau penyimpangan dalam memahami ajaran agama. Menurut Al Makin, ada sejumlah nabi palsu yang sebenarnya memiliki latarbelakang keilmuan agama yang mumpuni, namun mereka salah dalam menafsirkan dan memahami ajaran agama tersebut.

Kedua, motif ekonomi yakni mendapatkan keuntungan finansial dari pengakuannya sebagai nabi palsu. Tidak sedikit para nabi palsu yang ketika sudah mendapatkan pengikut lantas mengkapitaliasi pengikutnya untuk mendapatkan keuntungan finansial. Ketiga, motif sosial yakni semata mencari popularitas. Menurut Al Makin, kebanyakan nabi palsu memiliki karakter yang narsistik, doyan tampil, dan haus akan popularitas. Alhasil, mereka melakukan apa saja untuk menjadi terkenal, termasuk mengklaim sebagai nabi.

Keempat, adanya penyimpangan sosial (social deviation). Kemunculan nabi palsu biasanya diawali dengan adanya penyimpangan sosial di tengah masyarakat, khususnya di lingkungan dimana nabi palsu tersebut muncul. Adanya penyimpangan sosial itu lantas memunculkan sosok yang mengaku diri sebagai penyelamat (messiah) atau pahlawan moral yang akan mengembalikan masyarakat ke jalan yang benar.

Potensi Kekerasan di Balik Fenomena Penyimpangan Ajaran Agama

Selain menodai kesucian agama, fenomena nabi atau tuhan palsu juga berpotensi mengarah pada tindakan kekerasan dan teror. Kasus penembakan di kantor MUI yang dilakukan oleh seseorang yang mengaku sebagai tuhan dan nabi menjadi alarm warning bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk mewaspadai penyimpangan ajaran agama. Memahami ajaran agama secara menyimpang rawan menjerumuskan umat pada perilaku destruktif.

Sejarah mencatat bagaimana para nabi atau tuhan palsu mengajak para pengikutnya melakukan tindakan-tindakan destruktif. Mulai dari bunuh diri massal (pengikut Jim Jones di Amerika), memakan kotoran pemimpinnya (sekte Tawee Nanla di Thailand), sampai serangan gas beracun di stasiun kereta (sekte Aum Sinrikyo di Jepang). Termutakhir ratusan orang di Kenya tewas kelaparan karena ajaran pantang makan dan minum yang disebarkan oleh sekte sesat.

Sederet peristiwa itu membuktikan betapa bahayanya penyimpangan ajaran agama, lantaran berpotensi menjurus pada kekerasan dan hal destruktif lainnya. Maka, pemerintah dalam hal ini kementerian agama dan lembaga terkait idealnya harus secara intensif meningkatkan pengawasan atas munculnya fenomena menyimpang seperti nabi atau tuhan palsu. Pemerintah harus bertindak cepat dalam mengidentifikasi ajaran agama yang menyimpang agar tidak berkembang dan mendapat banyak pengikut.

Di saat yang sama, lembaga keagamaan seperti Muhammadiyah, NU, MUI dan sejenisnya harus terus aktif memberikan pencerahan pada umat. Lembaga keagamaan harus berperan aktif melindungi umat dari ajaran agama yang menyimpang. Dengan begitu, praktik penyimpangan ajaran agama seperti fenomena nabi atau tuhan palsu dapat dicegah sejak dini.

Facebook Comments