Dalam beberapa hari terakhir, lini masa media sosial kita riuh oleh perdebatan seputar kontroversi Pondok Pesantren Al Zaytun. Kontroversi itu bermula dari beredarnya video rekaman shalat Idulfitri yang memperlihatkan jamaah perempuan berada di antara shaf laki-laki. Tidak hanya itu, di dalam video itu tampak jemaah dipisahkan oleh jarak dan duduk di atas kursi ketika mendengar khutbah.
Tidak berselang lama dari video itu, muncul lagi video lain yang memperlihatkan adzan sholat jumat di Ponpes Al Zaytun. Tampak dalam video, irama azan memang berbeda, meski bacaannya sama. Selain itu, muadzin tampak menggerak-gerakkan tangan ketika mengumandangkan azan. Satu hal yang tidak lazim ditemui di tempat-tempat lain.
Belakangan muncul video pernyataan dari pimpina Ponpes Al Zaytun, yakni Pandji Gumilang. Video ini memantik kontroversi lebih panas lagi lantaran menyebut bahwa ia menganut mazhab Bung Karno, dan menghafalkan buku Di Bawah Bendera Revolusi. Terakhir, ia menyatakan bahwa masjid di ponpes-nya akan mendaulat perempuan sebagai khotib shalat Jumat. Sebuah pernyataan yang tentu memantik polemik publik.
Al Zaytun dan kontroversi barangkali adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Beberapa tahun lalu, muncul tudingan bahwa ponpes ini mengajarkan aliran sesat, karena praktik peribadatan dan keyakinan yang acapkali berbeda dengan mainstream Islam di Indonesia, bahkan dunia. Bahkan, pada tahun 2011 pimpinan Al Zaytun pernah diisukan terlibat gerakan NII (Negara Islam Indonesia).
Ponpes Al Zaytun dikabarkan menjadi markas NII Komandemen Wilayah 9 (NII KW 9). Menteri Agama Suryadharma Ali kala itu bahkan sempat bertemu langsung dengan Panji Gumilang untuk mengecek kebenaran berita tersebut. Puncaknya, Panji Gumilang justru dipenjara bukan karena kasus keterlibatannya di NII. Melainkan dipenjara karena kasus pemalsuan akta pendirian Ponpes Al Zaytun.
Skenario Memunculkan Polemik dan Kontroversi Keagamaan
Polemik dan kontroversi terkait Al Zaytun ini menarik dan penting diperbincangkan. Terlebih memasuki tahun politik yang panas ini, isu-isu keagaman kian dieksploitasi sedemikan rupa untuk kepentingan politik kekuasaan. Kembali ke soal video viral shalat Idulfitri dan adzan Jumat di Ponpes Al Zaytun, sampai saat ini belum jelas benar siapa yang mengunggahnya di media sosial dana pa tujuannya?
Juga soal pernyataan Panji Gumilang ihwal “mazhab Bung Karno” dan “khotib perempuan”. Apa sebenarnya motif pernyataan Panji tersebut? Bukankah ia paham bahwa isu agama apalagi yang kontroversial merupakan hal sensitif di negeri ini?
Jika dikaitkan dengan konteks tahun politik, tampaknya memang ada skenario besar untuk mem-blow up isu ini sedemikian rupa sehingga menimbulkan polemik dan kegaduhan berkepanjangan. Tujuannya adalah untuk mengadu-domba umat Islam dengan persoalan khilafuyah dalam ibadah. Misalnya, video sholat yang memperlihatkan perempuan dan laki-laki berada dalam satu barisan shaf, serta jamaah yang berjarak, seolah dirancang sedemikian rupa untuk menimbulkan perdebatan umat.
Secara fiqih, percampuran jemaah laki-laki dan perempuan dalam shaf sholat memang tidak dilarang, hanya makruh. Namun, kondisi makruh itu diijinkan jika dalam kondisi tertentu alias terpaksa. Namun, ada pula pandangan lain yang mengatakan bahwa hukum makruh itu bisa jadi haram, karena sholat yang mencampur shaf laki-laki dan perempuan itu direkam dan disebarluaskan.
Merekam dan menyebarluaskan itu dianggap sebagai bagian dari syiar yang berbahaya. Seolah-olah ada pesan yang ingin disampaikan bahwa sholat yang mencampur shaf laki-laki dan perempuan itu sah-sah saja dan tidak ada masalah.
Mencegah Polemik di Tahun Politik
Di sisi lain, pernyataan kontroversial Panji Gumilang tentang “mazhab Bung Karno” dan “khatib perempuan” cenderung bernuansa provokatif. Bagaimana tidak? Kita tahu bahwa di dalam Islam, tidak pernah ada yang namanya Mazhab Bung Karno. Islam hanya mengenal lima mazhab yakni Hambali, Syafi’I, Maliki, Hanafi dan Ja’fari. Empat mazhab yang pertama itu berasal dari tradisi Sunni. Sedangkan yang terakhir lahir dari rahim Syi’i.
Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa pernyataan ihwal Mazhab Bung Karno memang sengaja dilontarkan untuk menimbulkan kegaduhan dan polemik di tengah umat. Begitu pula penyataan tentang khatib perempuan. Memang, perdebatan tentang khatib perempuan ini bukan isu baru. Para feminis muslim seperti Amina Wadud atau Fatima Mernissi telah memantik isu ini sejak jauh hari. Hanya saja, dalam konteks Indonesia isu ini terbilang kontroversial.
Mendaulat perempuan sebagai imam atau khatib memang dimungkinkan dalam berbagai kondisi. Misalnya tidak ada laki-laki yang memang benar-benar sanggup mengemban tugas sebagai khatib atau imam. Selama masih ada laki-laki yang layak dijadikan imam atau khatib, maka gagasan perempuan sebagai khatib atau imam itu tidak relevan. Lagi-lagi, pernyataan Panji Gumilang tentang khatib dan imam perempuan ini lebih bertujuan untuk menimbulkan polemik.
Di tahun politik, apalagi di suasana bulan Syawal ini idealnya kita menjaga stabilitas sosial. Sebisa mungkin kita mencegah kontroversi, kegaduhan, dan polemik yang berpotensi memecah-belah umat. Apalagi polemik dan kontroversi bernuansa keagamaan yang rawan dieksploitasi oleh kelompok tertentu untuk mengadu-domba umat Islam.