KH Wahid Hasyim, Agama dan Pancasila

KH Wahid Hasyim, Agama dan Pancasila

- in Narasi
2199
1
KH Wahid Hasyim, Agama dan Pancasila

Perdebatan relasi agama dan negara, begitu juga agama dan Pancasila, sudah muncul sejak awal republik ini berdiri. Bahkan sampai hari ini, masih saja ada kalangan atau sekelompok yang mengkontradiksikan antara agama—dalam hal ini agama Islam—dan Pancasila. Padahal, inti gagasan Pancasila sesungguhnya diperas dari ajaran-ajaran Islam (Nasih, 2020).

Di era sekarang ini gerakan yang menolak Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara datang dengan ‘kekuatan’ yang cukup kuat. Bahkan gerakan ini telah berhasil merebut hati sebagian rakyat Indonesia. Walhasil, gerakan ini memiliki massa yang cukup besar, meskipun tidak menjadi mayoritas.

Narasi yang dipropagandakan oleh kelompok ini berbeda dengan narasi yang dibangun oleh kelompok islamis pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Kelompok baru ini, perlahan tapi pasti, mulai menyerang ‘jantung’ bangsa langsung dengan mengatakan bahwa Pancasila tidak lagi sakti; tidak mampu membawa Indonesia menuju ke perubahan yang lebih baik, korupsi semakin menjadi, ketidakadilan meluas, dan lain sebagainya.

Memang, jika kita menilik realitas yang ada, narasi kelompok yang merendahkan Pancasila itu terasa benar dan rasional. Bagaimana tidak. Siapa yang bisa menyangkal kalau Indonesia saat ini tidak sedang dalam darurat korupsi? Hampir tiap saat rakyat Indonesia disuguhi oleh berita pejabat publik terjerat korupsi. Bahkan, tokoh yang selama ini teriak-teriak saya Pancasila, ternyata masuk jeruji juga. Ini baru aspek korupsi, belum aspek lainnya, keadilan ekonomi misalnya.

Baca Juga : Pancasila dalam Perspektif Islam Nusantara

Namun, jika kita berpikir jernih, maka keadaan Indonesia saat ini bukanlah akibat menjadikan Pancasila sebagai ideologi. Sekalipun jika Pancasila diganti dengan ideologi lain, khilafah misalnya, tak ada yang bisa menjamin Indonesia bakalan lebih baik. Karena kuncinya bukan pada Pancasila yang salah, namun orangnya yang salah.

Barangkali, pemikiran anak pendiri Nahdlatul Ulama, KH Wahid Hasyim dalam kaitannya tentang relasi agama dan Pancasila bisa menjadi pengetahuan sekaligus penyadaran bagi kita semua, terutama kelompok yang menganggap bahwa Pancasila tidak sesuai dengan agama, dalam hal ini Islam, sehingga harus diganti dengan ideologi dan dasar lain.

Relasi Agama dan Negara

Penguatan wawasan keagamaan dan kebangsaan memang harus menjadi program yang berkelanjutan. Artinya, jangan sampai terjadi jeda yang mengakibatkan antar generasi tidak mengetaui dan paham tentang sejarah bangsanya sendiri. Selain itu juga dimaksudkan untuk membentengi masyarakat Indonesia dari gempuran ideologi lain, baik yang datang dari dalam maupun luar. Penguatan tersebut bisa dalam bentuk berbagai macam, salah satunya menggali pemikiran soko guru bangsa seperti KH Wahid Hasyim.

Sebagai pengantar, perlu dikemukakan bahwa dalam berbagai literatur, setidaknya terdapat tiga bentuk relasi agama dan negara. Pertama, paradigma integralistik. Paham ini menyatakan bahwa antara agama dan negara mempunya hubungan yang tidak bisa dipisahkan—merupakan satu kesatuan. Dengan demikian, negara merupakan suatu lembaga politik sekaligus lembaga agama (Sadjali, 1990:1-3).

Kedua, paradigma sekuleristik. Paham ini berkebalikan dengan model relasi pertama, karena kelompok ini menganggap bahwa antara agama dan negara merupakan dua hal yang berbeda, maka dari itu harus dibebaskan. Norma-norma hukum ditentukan oleh kesepakatan manusia tanpa adanya campur tangan dari kalangan agama. Agama dianggap sebagai ranah privat.

Ketiga, paradigma simbiotik. Menurut paham ini, relasi agama dan negara dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik (simbiosis mutualisme). Dengan demikian, agama membutuhkan negara, dan negara juga membutuhkan agama. Hukum-hukum diperas dari subtansi agama sebagai panduan moral, etika dan spiritual. Namun, paham ini menolak bahwa agama dijadikan sebagai sistem negara.

Jika dipaksa ditarik dalam tiga model relasi agama dan negara sebagaimana di atas, maka posisi Indonesia, meskipun tidak sepenuhnya persis, lebih condong pada model ketiga. Hal ini tercermin dalam sistem pemerintahan dan produk-produk hukumnya. Orang Islam, begitu juga agama lain, dijamin negara bebas memeluk dan menjalankan keyakinannya sesuai agama yang dipeluk. Namun, negara tidak memberikan jarak pada agama, keduanya saling sinergi.

KH Wahid Hasyim dan Pancasila

Sejarah Indonesia mencatat, dalam merumuskan sebuah dasar negara bukanlah perkara yang mudah. Apalagi diputuskan secara ‘ugal-ugalan’. Sekali lagi, tidak begitu. Para perumus, benar-benar menangkalkan segala bentuk ego pribadi sektoral untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama. Mereka para perumus dasar negara tidak hanya berpikir jangka pendek, melainkan pikirannya jauh melebihi zaman kala itu.

Dalam perumusan dasar negara, terjadi sebuah perdebatan alot karena ada banyak corak pendapat atau pemikiran. Munawar Ahmad (2007:21) memotret setidaknya ada lima corak pemikiran kala itu, antara lain: nasionalisme radikal yang digagas oleh Soekarno dan aktivis PNI, tradisionalisme Jawa yang digawangi oleh Supomo dkk, Islam yang diwakili oleh M Natsir, dan komunisme yang diwakili oleh Aidit.

Perdebatan panjang pun terjadi hingga akhirnya para perumus dasar negara sepakat atau melakukan sebuah konsensus bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila dengan dihapuskannya tujuh suku kata dalam sila pertama sehingga bunyi sila pertama menjadi “ketuhanan Yang Maha Esa.”

Dalam posisi sebagai bagian dari tim perumus dasar negara (anggota BPUPKI), Wahid Hasyim awalnya kekeh pada keyakinannya, yakni Islam harus menjadi dasar negara, pada akhirnya beliau “melunak” dan sepakat terhadap perubahan atau dihapuskannya tujuh suku kata dalam sila pertama dalam Pancasila (Surya Negara, 2010:124).

Lantas, bagaimana pandangan dan pemikiran KH Wahid Hasyim tentang relasi agama dan Pancasila? Tentu menarik ditelisik, terlebih beliau sempat berpandangan bahwa Islam harus menjadi dasar negara, sebelum akhirnya beliau memutuskan untuk bersepakat dengan kelompok perumus lain sehingga melahirkan keputusan bersama bahwa Pancasila-lah yang menjadi dasar negara kita ini.

Keputusan KH Wahid Hasyim mendukung usulan kalangan nasionalis ‘sekuler’ dalam menghapus tujuh kata dalam Pancasila—kala itu diistilahkan sebagai Piagam Jakarta—karena beliau lebih mendahulukan kepentingan bersama. Hal ini tidak lantas menjadikan kelompok Islamis kalah. Apa yang dilakukan oleh KH Wahid Hasyim dan rekan segerbongnya tidak lain dan tiada bukan karena mereka lebih memilih menekankan subtansi nilai-nilai Islam daripada tampilan formalistik (Mumazziq, 2015:343-344). Maka, bagi KH Wahid Hasyim, medan perjuangan selanjutnya adalah melakukan upaya islamisasi—dalam artian membawa spirit Islam—dalam semua bidang. Sementara terkait sikap beliau yang sepakat dihapuskannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta adalah karena beliau melihat ide dan gagasannya mengenai Islam sebagai dasar negara terlalu beresiko jika dipaksakan (Zuhri, 1987:197). Dengan demikian, penerimaan dan permulaan Pancasila, merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’ah (Sutarto, 2008:103).

Facebook Comments