Inklusivitas perguruan tinggi di Indonesia dalam hal perkembangan gagasan dan wacana kiranya sudah tidak perlu diragukan lagi. Pasca Reformasi, kita melihat sendiri bagaimana dinamika akademik di perguruan tinggi telah menjadi penyokong utama gerakan masyarakat sipil (civil society). Namun, di sisi lain, inklusivitas perguruan tinggi itu harus diakui juga telah menciptakan residu persoalan.
Keterbukaan kampus telah membuka celah bagi kelompok radikal untuk memasarkan gagasannya ke kalangan civitas akademika, terutama sekali mahasiswa. Penyebaran paham radikal-intoleran di kalangan mahasiswa belakangan ini terbilang masif dan telah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan.
Bagaimana tidak? Gerakan-gerakan keagamaan bercorak eksklusif-radikal seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, bahkan Negara Islam Indonesia (NII) memiliki basis anggota dan simpatisan yang nisbi kuat di kampus-kampus di seluruh penjuru negeri. Gerakan keagamaan radikal itu memanfaatkan ruang terbuka di kampus untuk menginfiltrasi mahasiswa dengan paham-paham radikal.
Tumbuhnya gerakan radikal di kampus ini bisa dibilang sebagai konsekuensi logis dari iklim keterbukaan dan dinamika kontestasi wacana di perguruan tinggi. Sebagaimana lazimnya sawah yang subur, maka segala jenis tanaman pun akan berkembang biak di sana, tidak terkecuali rumput dan gulma. Maka, adalah kewajiban bersama untuk menjaga ruang publik di perguruan tinggi agar hanya wacana yang produktif dan konstruktif terhadap perkembangan keilmuan dan paradigma kebangsaan saja yang berkembang di dalamnya.
Konservatif Versus Moderat
Jika kita melihat dinamika wacana di perguruan tinggi, maka akan jelas terlihat adanya kontestasi wacana keagamaan yang melibatkan dua kelompok, yakni konservatif dan moderat. Wacana keberagamaan konservatif ini disokong oleh gerakan mahasiswa seperti KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Islam), Lembaga Dakwah Kampus dan kelompok-kelompok informal yang kebanyakan berafiliasi ke HTI atau PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Mereka umumnya menggunakan masjid sebagai basis gerakan untuk mencari “mangsa”; mengindoktrinasi, merekrut dan mengkader calon-calon anggota baru. Para mahasiswa baru ialah kelompok paling rentan yang menjadi target kaum konservatif kampus selama ini.
Di hadapan para mahasiswa baru yang kebanyakan masih polos itu, mereka menanamkan persepsi bahwa umat Islam saat ini dintindas oleh kekuatan kapitalis-zionis Barat (AS dan sekutunya). Isu konflik Palestina kerap menjadi isu andalan untuk mengobarkan semangat jihad kalangan mahasiswa baru. Mereka kemudian mulai memberikan materi-materi tentang perjuangan Islam, baik melalui kajian-kajian, pelatihan maupun melalui buku-buku. Di titik ini, strategi cuci otak dan indoktrinasi sebenarnya tengah dijalankan. Lama-kelamaan para mahasiswa baru itu pun mulai berpandangan radikal; mulai anti pada kalangan non-muslim dan memuja ideologi islamisme sebagai solusi bagi problem manusia.
Di kutub yang berseberangan, ada wacana keberagamaan moderat yang dikampanyekan oleh organisasi kemahasiswaan seperti PMII, HMI, IMM dan organisasi bercorak sekuler (non-keagamaan) seperti GMNI, LMND dan sejenisnya. Selama ini, organisasi kemahasiswaan tersebut mempromosikan isu-isu gerakan mahasiswa yang berorientasi pada keadilan sosial, hak asasi manusia, demokrasi, kesetaraan gender, pluralisme agama dan wacana civic values lainnya. PMII sebagaimana kita tahu berafiliasi dengan NU sementara IMM merupakan sayap organisasi Muhammadiyah. Menjadi wajar jika arah gerakannya berorientasi pada penciptakaan paradigma keberagamaan yang moderat. Di sisi lain, HMI yang mewarisi spirit moderatisme Nurcholis Madjid dan Ahmad Wahib juga memiliki komitmen yang kuran lebih sama.
Merebut Wacana
Jika dibaca dalam perspektif pemikiran Micheal Foucult, kontestasi wacana dan ideologi di perguruan tinggi telah melahirkan relasi pengetahuan yang lantas membentuk pola pikir dan perilaku mahasiswa. Mahasiswa yang berafiliasi dengan organisasi kemahasiswaan bercorak konservatif, kemungkinan besar akan memiliki pandangan yang eksklusif, intoleran bahkan radikal-ekstrem. Sebaliknya, mahasiswa yang aktif di organisasi yang berkomitmen pada moderatisme kemungkinan besar akan berpandangan terbuka dan tidak mudah untuk terpengaruh oleh pemikiran radikal. Corak relasi pengetahuan yang demikian inilah yang idealnya menjadi perhatian bersama.
Maka dari itu, penting bagi organisasi kemahasiswaan bercorak moderat untuk lebih aktif menjaring anggota dan melakukan pengkaderan. Agresifitas dalam melakukan rekrutmen dan kaderisasi ialah kunci untuk menahan ruang gerak kelompok radikal di perguruan tinggi. Dimulainya tahun ajaran baru merupakan momentum yang tepat untuk menjaring sebanyak mungkin pengikut di kalangan mahasiswa baru. Organisasi kemahasiswaan bercorak moderat perlu lebih aktif dalam memproduksi wacana pengetahuan dan ditransformasikan pada kalangan civitas akademika, utamanya para mahasiswa baru.
Aktivitas seperti seminar, pelatihan kader, bedah buku, dan kegiatan yang bertujuan mempromosikan moderatisme keberagamaan harus diperbanyak, dimasifkan dan diintensifkan. Dukungan pihak kampus baik rektorat maupun dekanat pun diperlukan dalam hal ini. Tanpa dukungan pihak perguruan tinggi, agenda moderatisme ini tentu tidak akan berjalan maksimal. Jika itu terwujud, maka akan dengan sendirinya kontestasi wacana dan ideologi keagamaan di perguruan tinggi ini akan dimenangkan oleh kaum moderat. Dus, dengan sendirinya kaum radikal-konservatif akan terreduksi dengan sendirinya.