Ibrahim tiga kali didatangi Allah lewat mimpi. Ia takjub tapi juga yakin, bahwa Ismail, anak yang berpuluh tahun ditunggu lahirnya, anak yang baru lahir di masa tuanya, benar-benar diminta kembali oleh Allah. Ibrahim berkali-kali mengasah belati sambil menguatkan hatinya. Sepertinya ia ingin berkompromi agar tetap patuh pada perintah Allah, meski ia belum sanggup untuk berpisah dengan buah hatinya, namun jika itu adalah kehendak Allah, ia berharap agar Ismail tak perlu berlama-lama merasakan sakit.
Tentu saja Allah tahu apa artinya Ismail bagi Ibrahim, tapi justru karena itu Ia memintanya demi menguji keteguhan hati Ibrahim. Sementara Ibrahim sendiri adalah hamba yang sangat taat. Ia menyingkirkan segala keraguan yang menghinggapinya, dengan hati-hati ia membaringkan Ismail di atas sebuah batu, menyebut nama tuhannya sambil bergegas mengiris leher Ismail. Tapi mendadak Allah mengganti Ismail dengan seekor kibas, konon ia adalah kambing terbaik yang dipungut langsung dari surga. Ibrahim lolos dari ujian keimanan, ismail diberkahi dengan kebahagiaan dan pujian atas ketabahannya menjalankan perintah tuhan.
Kisah di atas adalah tonggak awal bagi Idul Adha yang kita rayakan hingga hari ini. Ketika Allah mengganti Ismail dengan seekor hewan kurban, paling tidak ini menjadi simbol dari dua nilai penting: Pertama, Tuhan sepertinya tidak lagi sudi menerima pengorbanan dalam bentuk manusia. Mempersembahkan nyawa manusia untuk tujuan-tujuan keagamaan adalah ajaran tua yang bisa ditemukan di berbagai kebudayaan dan sistem keagamaan. Tradisi ini diputus oleh Allah dengan peristiwa menggagalkan penyembelihan Ismail. Hal ini menunjukkan bahwa mulai saat itu pengorbanan yang mensyaratkan persembahan berupa nyawa manusia sudah tidak lagi relevan.
Kedua, korban yang diganti dengan hewan kurban, dalam hal ini Ismail diganti kibas, menghilangkan sisi penderitaan manusia dalam prosesi pengorbanan. Allah menggantinya dengan pengurbanan yang justru bermakna sosial. Proses kurban termasuk pada anjuran untuk membagi-bagikannya pada orang-orang yang tak mampu, seperti difirmankan Allah:
Maka makanlah sebagian daripadanya, dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS Al-Hajj: 28)
Dalam bahasa Indonesia dikenal dua kata yang hampir sama, yakni; korban dan kurban. Hal yang diminta oleh Allah kepada Ibrahim saat itu adalah korban. Dalam kata ini tersirat akan ada pihak yang menderita, yakni Ismail yang akan dikorbankan dan pemberi korban itu sendiri, ibrahim yang masih begitu mencintai si calon korban, anaknya.
Saat itu Ismail akan menjadi korban atas perintah Allah. Sementara Ibrahim berpikir bahwa kecintaan kepada Ismail yang lama dirinduinya, tidak boleh menghalangi garis lurus kepatuhan yang terhubung antara dirinya dan Tuhan. Tapi kemudian Allah mengganti Ismail, sang korban, dan memberikan kurban sebagai gantinya. Maka tidak ada lagi yang menjadi korban, baik Ismail maupun Ibrahim. Peristiwa ini tentu menggandakan kebahagiaan di hati keluarga kecil Ibrahim, seiring berjalannya waktu, kita pun merayakan moment ini untuk memanjatkan puja puji kepada tuhan sekaligus berbagai melalui ritual kurban agar menjadi berkah bagi banyak orang.
Perintah Allah untuk berkurban bisa dianggap sebagai pelajaran etika bagi manusia. Sejak dulu manusia diajarkan bahwa untuk hidup diperlukan pengorbanan. Namun dari peristiwa itu manusia juga diperlihatkan bahwa pengorbanan tidak boleh lagi dengan menyakiti orang lain sebagai korban. Pengorbanan tidak sama dengan pengebirian hak-hak orang lain. Sebuah pengorbanan yang berisi semangat saling berbagi.