Dalam sebuah wawancara di televisi beberapa tempo silam, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah merumuskan cara terbaik menyelesaikan sengkarut konflik-dendam yang dikemasnya secara manusiawi dan berkeadilan. Dalam konteks ketika ditanya perihal terhadap pihak-pihak yang pernah memperlakukannya dengan tidak patut, Guru Bangsa itu dengan jiwa besarnya sudah memaafkan. Namun, tidak bisa melupakan perilaku mereka: “Maaf, ya. Lupa, tidak,” ujarnya.
Kesalahan dan kealpaan merupakan sisi lain manusia. Namun, oleh Gus Dur, beliau juga hendak mengatakan bahwa di sisi berikutnya, manusia secara fitrah berpunya kearifan berupa jiwa permaafan. Dan, Gus Dur mengambil jalan kemuliaan tersebut sebagai bentuk kesadaran bahwa merajut persatuan dan persaudaraan jauh lebih penting. Namun, bukan berarti permaafan lantas menghapus memori kelam. Tindakan batil tetap perlu dikenang; yang berfaedah sebagai pembelajaran hidup agar jangan sampai terulang di kemudian hari.
Dinamika kehidupan manusia secara asasi tidak bisa melepaskan dari peran orang lain. Homo socius alias sebagai makhluk sosial, mengandaikan sesama manusia membentuk relasi. Dalam selang waktu dan kepentingan tujuan, manusia tertampil kerap bersinggungan satu sama lain yang menghilirkan kesalingsalahpahaman. Kemunculan amarah dan dendam tidak bisa dielakkan. Di titik ini, agama bisa menjadi pijakan sebagai salah satu fungsinya, yakni: resolusi konflik. Agama sangat keras mengecam dendam dan perselisihan.
Pada Islam, bentuk mediasi bisa kita baca pada petuah Nabi Muhammad Saw bahwa, tidak boleh mendiamkan/saling tidak menegur lebih dari tiga hari. Batasan tempo tiga hari meniscayakan setidaknya dua hal: pertama, ada pemakluman bahwa manusia mempunyai rasa sakit hati dan amarah untuk tidak bisa sekonyong-konyong secepat kilat bisa dihilangkan. Karena itu, selama tiga hari –sebagai batas maksimal—amarah dan dendam kiranya bisa didudukkan dan dikendalikan. Tiga hari sebagai upaya menata hati untuk secara berangsur-angsur terkurangi kadar amarah yang kadung menyelimuti dada.
Kedua, batasan tiga hari –yang mungkin dianggap terlalu cepat—justru menyiratkan bahwa agama sejatinya melarang keras permusuhan dan untuk lekas menemukan ruang penyelesaian. Saling mendiamkan sebagai ekspresi permusuhan bila kadung berlangsung terus-menerus, bisa menjadi bom waktu yang berakibat pada konflik skala besar. Tiga hari merupakan kanalisasi konflik sekaligus termaknai bahwa mendiamkam bukanlah sikap tepat. Adagium “biarlah waktu yang akan menyelesaikan” kontras dengan bentuk tawaran resolusi agama yang menganjurkan manusia untuk aktif mencari jalan penyelesaian.
Gus Dur masih dalam dialog itu, buru-buru mensyarahkan bahwa memaafkan bukan sekali-sekali bisa dikatakan membenarkan atas laku batil. Laku batil tetap ternilai batil. Salah besar bila laku batil dianggap tidak menjadi batil gegara permaafan. Kita pun mungkin teringat sosok Nelson Mandela. Bapak Afrika yang lahir pada 1918 itu dengan elegan berhasil menumbangkan politik Apartheid. Mandela berjiwa besar. Memaafkan orang kulit putih dan tidak membalas dendam. Meski begitu, bukan berarti lakon Apartheid bisa dibenarkan.
Saat Mandela tampil sebagai Presiden Afrika Selatan dan berkuasa penuh, momen itu tidak sama sekali digunakannya balas dendam. Justru sebaliknya, Mandela merangkul kulit putih untuk secara bersama-sama membangun negara. Mandela sukses memutus konflik rasialis. Terbukti, jalan permaafan yang ditempuhnya berhasil menghamparkan pelajaran kemanusiaan ke seluruh dunia bahwa, kulit putih-kulit hitam tak ada beda dan berkedudukan setara. Terimbuh pula, permaafan senyatanya sebaik-baik cara memutus dendam yang bisa beranak-pinak.
Dalam rentang waktu jauh sebelumnya, tamsil permaafan telah dipraktikkan Nabi Muhammad Saw dalam Fathul Makkah. Momen ketika sang Nabi Saw mempunyai keluasan kesempatan untuk membalas pihak-pihak yang dulu pernah menyakiti dan mengusir. Namun, Nabi membawa petuah kasih sayang dan lakon permaafan sehingga kala itu Makkah tak ada hikayat tetesan darah. Nabi Saw melindungi mereka yang pernah memusuhi dirinya. Ajakan perdamaian dan kebersatuan merupakan poin utama ajaran agama sebagai manifestasi rahmatan lil ‘alamin.
Dalam konteks kekinian, kita pun bisa beroleh keteladanan dari para penyintas/korban aksi terorisme di Indonesia. Adalah permaafan, berjabat tangan, seraya menyunggikan senyum bersama para mantan pelaku teror. Terwartakan, beberapa keluarga korban mengunjungi rumah mantan pelaku teror di Lamongan untuk kemudian berlibur di Wisata Bahari Lamongan (Jawa Pos, 4/3/2018). Para korban itu lebih menempuh jalan permaafan ketimbang memupuk dendam tak berkesudahan. Meski demikian, bukan berarti kita melupakan dan memaklumi bahaya terorisme.
Ketika air mata penyesalan mantan pelaku teror telah tertumpah; dan saat mereka usai menjalani hukuman; kita tetap tidak boleh melupakan kejadian kelam itu. Kita perlu mengingat dampak aksi terorisme yang telah mencederai keamanan negeri ini dan sempat memunculkan sak-wasangka antarpemeluk agama. Mengingati akan aksi teror berarti senantiasa menanamkan kewaspadaan bersama dan kepedulian ekstra terhadap lingkungan sekitar (baca: keluarga-tetangga). Kehadiran masyarakat yang toleran, guyub, dan rukun kiranya berkontribusi besar mencegah timbulnya aksi terorisme.
Kepada mantan pelaku teror yang benar-benar bertobat, memang mesti dimaafkan. Perihal dampak kejahatan terorisme yang tinggalkan, kita tak boleh melupakan. Mengingati akan kerugian besar dari aksi teror menghasratkan pembelajaran berharga agar aksi banal tersebut tidak terulang. Maaf, ya! Lupa, Tidak!