Tidak hanya di Indonesia, Maulid Nabi sebagai perayaan untuk memperingati kelahiran figur sentral dalam Islam dirayakan secara meriah di berbagai negara. Di Mesir, Sudan, Aljazair, Yordania, Yaman, Pakistan, India, Malaysia, Brunei Darussalam dan negara lainnya, masyarakat tumpah ruah memenuhi jalan dan tempat ibadah untuk mengekspresikan rasa syukur, kecintaan dan kegembiraan karena telah dihadirkan sosok yang menjadi rahmat bagi semesta.
Memang ada sebagian kelompok dalam Islam yang tidak sepakat dengan perayaan ini. Namun, alasan Nabi dan Sahabat tidak pernah merayakan Maulid, tidak bisa menutupi dalil wajibnya kecintaan umat Islam terhadap Nabinya. Perayaan Maulid, yang konon dalam satu versi sejarah dilaksanakan untuk mengembalikan semangat umat Islam, telah menjadi tradisi umat di berbagai negara. Rasanya umat tidak perlu dalil yang muluk-muluk untuk sekedar mengeskpresikan cinta pada kekasihnya.
Tidak Butuh Dalil Mengekspresikan Cinta
Tidak butuh banyak dalil untuk menjustifikasi ekspresi kecintaan umat melalui perayaan maulid. Hanya berbekal : tidak sempurna iman seseorang hingga dia mencintai Nabi SAW melebihi cintanya kepada orang tuanya, anaknya dan semua orang. (HR. Bukhari). Sebuah hadist shahih yang benar-benar dimaknai sangat mendalam dalam lubuk hati umat Islam. Jika kurang dalil, ulama pun menambahkan Nabi saja memperingati hari kelahirannya dengan puasa di hari senin (HR Muslim).
Perayaan Maulid hanya bagian kecil dari ungkapan cinta. Banyak ulama, khususnya para sufi yang mendedikasikan puisi dan syair cinta untuk sang kekasih, Nabi yang mulia. Adalah Imam al-Busairi, seorang ulama dan penyair abad 13 berkebangsaan Mesir yang menggubah syair cinta yang indah bernama “Qasidah Burdah”. Kitab ini berisi pujian dan kecintaan mendalam seorang hamba kepada Nabinya. Mahakarya yang tulus ini telah diterjemahkan dalam berbagai Bahasa di seluruh dunia dan menjadi bacaan dalam mengiringi perayaan Maulid.
Tidak lengkap jika kita tidak menengok suatu mahakarya lainnya yang dikenal dengan Maulid al-Barzanji. Kitab yang bernama Iqdul Jauhar fî Maulidin Nabiyyil Azhar ditulis oleh seorang ulama dan penyair terkenal Kurdistan Abad ke-17 yang bernama Ja’far ibn Hasan al-Barzanji. Karya ini dipersembahkan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW dan telah menjadi salah satu teks penting dalam tradisi peringatan Maulid Nabi di berbagai komunitas Muslim di seluruh dunia.
Karya ini mengandung elemen-elemen syair, riwayat kehidupan Nabi, serta pujian dan kecintaan kepada beliau. “Maulid al-Barzanji” telah menjadi bagian dari kebudayaan dan tradisi Islam di berbagai negara. Kitab ini mencerminkan ekspresi spiritualitas dan kecintaan yang mendalam terhadap Nabi Muhammad. Penyair, Ja’far al-Barzanji, dengan indah menggambarkan keutamaan dan kebaikan Nabi dan mengundang umat Muslim untuk merenungkan pesan moral dan etika yang diajarkan oleh Nabi.
Tidak diragukan lagi, mengekspresikan cinta, meneladani dan selalu mengidolakan Sang Nabi adalah bagian penting dari perayaan Maulid. Inovasi yang baik ini (bid’ah hasanah) ini mengingatkan kita pada ucapan Khalifah Umar ketika menggalakkan shalat tarawih secara berjamaah. Beliau berucap: sebaik-baiknya bid’ah adalah ini. Shalat tarawih (qiamu ramadan) ada dalilnya, begitu pun mencintai Nabi ada sandarannya. Memeriahkan dan menggelorakan cinta melalui perayaan, mengajak semua umat berdzikir dan memahami sirah nabi, sungguh sekali lagi harus ditegaskan : ini bid’ah yang sangat baik yang tidak melabrak batasan syariat.
Persoalan ada yang tidak sepakat dengan perayaan Maulid, tentu harus disikapi secara bijak dengan memahami ini sebagai barang khilafiyah. Maulid adalah persoalan yang tidak boleh menjerumuskan para penikmat cinta Nabi untuk dijerumuskan dalam lembah kesesatan. Para penikmat cinta melalui Maulid hanya ingin menjadi kekasih yang dirindukan Nabi sebagaimana dalam Hadist Anas bin Malik, siapa kekasih Rasul yang dirindukan? Mereka yang tidak pernah melihat Rasulullah, tetapi menjalankan ajarannya dan tidak pernah pupus mencintai rasulnya.
Mungkin pula kita berada di posisi seorang badui yang hanya berbekal cinta menghadapi hari kiamat karena tidak ada bekal ibadah yang sempurna dimiliki. Namun, Rasulullah menegaskan orang yang mencintai, akan dikumpulkan bersama orang yang dicintai kelak di hari kiamat. Atau kita hanya mengharap dijadikan seperti orang badui yang berthawaf tanpa mengetahui bacaan thawaf selain melafalkan ungkapan cinta kepada Sang Nabi. Dari kecintaannya ia diampuni segala dosanya.
Sungguh, rasa cinta kepada Nabi itu adalah dalil yang sebenarnya.
Maulid, Islam dan Lokalitas
Energi cinta Rasulullah telah menyebar ke berbagai penjuru dunia. Melalui perayaan Maulid energi ini menjadi kekuatan dahsyat yang menyatukan hati umat kepada satu figur, Muhamad. Umat Islam dari berbagai negara menyapa Maulid dalam bingkai kultur yang beragam. Tradisi dan budaya dipadukan dengan semangat cinta. Lahirlah perjumpaan Islam dan lokalitas yang menarik dan menyejukkan.
Di Mesir, masyarakat mendekorasi rumah, jalanan, kota dan membagikan permen dan manisan khas. “Permen Maulid” yang terkenal terbuat dari wijen berlapis gula, pistachio, dan kacang almond. Ada pula boneka Maulid dan sultan di atas kuda terbuat dari gula dan kacang yang dihiasi dengan kertas berwarna sebagai kegembiraan anak-anak menyambut maulid.
Pembacaan puisi Qasida Burda menggema di berbagai sudut kota. Maulid telah menjadi parade sekaligus festival budaya dengan semangat agama yang begitu kental. Mencintai Nabi tidak perlu diajarkan dengan berbusa-busa hadist. Penanaman cinta lebih kekal dan berdampak dengan melibatkan budaya sebagai penanam semangat di sanubari anak dan generasi muda.
Selain Mesir, jangan lupa menengok Sudan. Negara penghasil emas terbesar ketiga di negara Afrika ini memiliki tradisi yang unik dalam merayakan Maulid. Peringatan Maulid dilaksanakan setiap malam dari tanggal 1 hingga 12 Rabiul Awal. Bertempat di masjid, peringatan ini dihiasi dengan dzikir, pembacaan sirah Nabi dalam Barzanji, ceramah dan diakhiri dengan makan bersama. Puncaknya tanggal 12, umat berkumpul di lapangan ibu kota dan Provinsi memanjatkan dzikir dan bershalawat berjamaah.
Beralih di negara yang dikenal kerajaan para wali, Maroko. Malam Maulid dihidupkan dengan dzikir bersama, bershalawat dan pujian untuk baginda Nabi. Uniknya, mereka datang dengan mengenakan pakaian tradisional baik laki-laki maupun perempuan. Gamis, jalabah, peci dan sandal tradisional khas magrib menjadi panorama khas masyarakat Maroko merayakan Maulid. Di beberapa daerah, peringatan juga disambut dengan pawai lilin keliling kota. Tidak ketinggalan, pesta keluarga melalui hidangan makanan, manisan dan berbagai menu siap santap di pagi hari menambah keintiman keluarga. Budaya silaturrahmi terjadi di sepanjang hari.
Muslim di Turki juga tidak kalah uniknya. Selain memenuhi masjid dengan aktivitas berdoa, dzikir, dan pujian, Turki juga memiliki tradisi khas dengan menampilkan tarian sufi, Darwis. Sementara Yordania, Maulid bahkan dirayakan hampir sebulan penuh dengan menghabiskan waktu untuk berdzikir, bershalawat dan berkumpul dengan keluarga di sore hari.
Di beberapa negara muslim di Asia Tenggara seperti Malaysia, Brunei Darussalam dan Indonesia, tidak hanya masyarakat, negara memiliki atensi penuh dalam perayaan ini. Malaysia dan Indonesia menetapkan Maulid Nabi sebagai hari libur nasional. Di Brunei Sultan turun langsung memeriahkan acara Parakan Agung dengan menyusuri seluruh kota Bandar Seri Begawan dengan mengenakan pakaian unik sambil melantunkan shalawat.
Di Indonesia, selain diselenggarakan di Istana Negara, di masjid, mushalla dan di rumah-rumah warga dengan doa bersama dan pujian, lokalitas kultural di berbagai daerah menyemarakkan perayaan ini. Pemaknaan kultural Maulid memunculkan ekspresi keagamaan yang unik di berbagai daerah. Beberapa daerah yang memiliki tradisi sejarah kerajaan dan kesultanan menampilkan perayaan yang lebih atraktif dan eskpresif seperti di Yogyakarta, Solo, Cirebon, Banten dan daerah lainnya di luar Jawa yang tidak kalah menariknya.
Sebagaimana Geerzt mengamati fenomena seperti Maulid ini sebagai proses akulturasi yang menghasilkan budaya baru yang mencerminkan elemen kedua sumber Islam dan budaya. Woodward yang agak berbeda pandang melihat ekspresi kultural itu sebagai bagian pemaknaan mistisisme Islam yang lebih adaptif yang berhadapan dengan pemaknaan Islam yang normatif. Namun, secara garis besar sebagaimana pengamatan Abdul Karim Soroush kita juga melihat proses “respesi” di mana Islam diterjemahkan dalam konteks budaya dalam interpretasi masyarakat lokal.
Dalam proses perjumpaan agama dan budaya ini, sebuah peristiwa keagamaan seperti Maulid tidak hanya mencerminkan laku ritual dan spiritualitas yang mendalam, tetapi juga menguatkan identitas keagamaan dan budaya yang saling merawat. Budaya mengkonservasi nilai-nilai spiritual, sementara agama mewariskan nilai-nilai suci kepada masyarakat.
Agama dan budaya tidak saling bertentangan. Agama tidak selalu berdiri menghukumi budaya dengan klaim-klaim sesat, tetapi budaya juga tidak ingin merusak nilai dan tidak memahami sebagai penghancur kebudayaan. Aspek spiritual seperti penguatan rasa cinta pada Nabi beriringan dengan proses edukasi pendidikan agama dan pewarisan nilai terhadap generasi muda. Amal kebajikan tumpah ruah yang dibingkai dengan kokoh dalam balutan budaya.
Pada akhirnya, perayaan seperti Maulid tidak hanya dimaknai sebagai festival keagamaan yang berdimensi spiritual, tetapi juga penguatan identitas kebangsaan di berbagai negara termasuk solidaritas sosial yang kuat di antara masyarakat. Artinya, pengalaman perjumpaan agama dan budaya seperti ini harus terus dirawat tidak hanya untuk kepentingan agama, tetapi juga kepentingan penguatan identitas kebangsaan.
Mensyukuri Kehadiran Rahmatan Lil Alamin
Perayaan Maulid Nabi dengan beragam versi di berbagai negara menunjukkan sesungguhnya Islam adalah agama yang adaptif dan relevan di ruang dan waktu yang berbeda. Islam tidak menjadi penghancur kebudayaan, tetapi menjadi rahmat bagi peradaban manusia. Manifestasi Islam rahmatan lil alamin salah satunya adalah ketika Islam tidak menjadi bencana kebudayaan bagi masyarakat lokal, tetapi justru ia menjadi penguat dan pengikat kebudayaan masyarakat.
Islam yang rahmat adalah corak beragama yang tidak mengandalkan klaim-klaim laknat dan sesat terhadap manusia. Ketika Rasulullah, dalam Riwayat Abu Hurairah, pernah diminta untuk melaknat orang-orang musyrik, beliau bersabda : Sesungguhnya aku tidak diutus sebagai orang yang melaknat, aku diutus hanyalah sebagai rahmat ( HR Muslim).
Kehadiran Rasulullah bukan hanya rahmat bagi orang yang beriman dan tidak beriman, tetapi juga rahmat bagi semesta alam baik tumbuhan, binatang dan makhluk lainnya. Karena itulah, menjadi wajar jika umat Islam dari berbagai negara menysukuri kelahiran itu dengan semarak dan bergembira dengan dzikir dan pujian tanpa henti. Semata kecintaan dan rasa syukur terhadap Tuhan yang telah menghadirkan sosok yang menjadi rahmat bagi semesta.
Rasulullah tidak hanya menyinari kegelapan masa jahiliyah yang penuh dengan fanatisme, kebencian, perbudakan, dan patriarki yang destruktif di masa lalu, dengan ajarannya dunia memahami arti toleransi, kebebasan, perdamaian dan persaudaraan kemanusiaan. Rahmat itu terus terpancar melalui praktek ajaran umat Islam yang secara konsisten meneladani Rasulullah.
Mencintai Nabi adalah dengan meneladaninya dalam memberikan rahmat bagi semesta. Umat Islam harus menampilkan Islam yang memancarkan rahmat bagi seluruh makhluk hidup. Manifestasi rahmat Islam adalah dengan cara umat Islam mempraktekkan akhlakul karimah. Akhlak yang baik dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan alam sekitar.
Akhirnya, pecinta Rasul bukan mereka yang teriak bela agama, tetapi menampilkan kerusakan di muka bumi dengan kekerasan dan teror. Bukan pula orang yang suka melaknat dan mengumbar klaim sesat dan kafir terhadap saudaranya. Mereka hanya sesekali perlu ikut perayaan maulid Nabi agar hatinya menjadi lembut, pemikirannya menjadi terbuka dan perilakunya santun sebagai pancaran energi cinta kepada Rasulullah.